Repotnya Kampanye Calon Presiden yang Miskin Prestasi

Minggu, 26 Agustus 2018 | 19:45 WIB
0
720
Repotnya Kampanye Calon Presiden yang Miskin Prestasi

Ketika Capres belum dideklarasikan lantas Mardani Ali Sera dan Neno Warisman membuat deklarasi ganti presiden, saya maklum. Wong, memang Capresnya belum ada. Suara mereka bisa saya pahami. Namanya juga negeri demokrasi.

Meskipun lama-lama kelakuan mereka bikin eneg juga. Segala masjid digunakan untuk ontran-ontran kegiatan yang gak jelas itu. Padahal masjid milik umat Islam, yang beragam juga aspirasi politiknya. Kalau digunakan untuk satu tujuan politik, itu namanya memecah belah umat.

Maklum, Mardani dari PKS. Partai ini memang paling hobi mengasong agama untuk tujuan politik. Mimbar-mimbar masjid sering digunakan untuk kampanye politik.

Tapi masyarakat juga melihat, setiap bikin deklarasi banyak orang-orang HTI yang mendompleng mereka. Mardani teriak ganti presiden, HTI teriak ganti sistem menjadi khilafah.

Itulah yang membuat publik marah. Kebebasan pendapat wajar dan dilindungi UU. Tapi bebas menyuarakan ide untuk merusak NKRI tetap saja kurang ajar. Kalau alasannya kekebasan berpendapat, bukankah masyarakat juga punya kebebasan untuk menyatakan menolak ganti presiden, apalagi ganti sistem menjadi khilafah.

Makanya di Pekanbaru atau di Jawa Timur terjadi penolakan terhadap deklarasi ganti presiden. Masyarakat yang cerdas ogah dipecah belah.

Saya juga heran. Bukankah sekarang sudah ada dua orang Capres yang mendeklarasikan diri maju dalam Pilpres. Ada Jokowi yang masih menjabat presiden, ada juga Prabowo yang gak pernah terpilih sebagai presiden. Lagi pula anak kecil berpipi gembil berseragam Pramuka juga tahu, aktor-aktor deklarasi itu adalah pendukung Prabowo.

Jadi, deklarasi ganti presiden, sebetulnya hanya cara membodohi masyarakat untuk memilih Prabowo.

Jika saja mereka mendeklarasikan pembentukan relawan pendukung Prabowo, misalnya, itu lebih jentel. Jika ada masyarakat yang menolak dan menghalangi, saya pasti akan membela Neno atau Mardani. Sebab itulah hak politik setiap warga negara. Sama seperti banyak relawan yang mendeklarasikan mendukung Jokowi.

Tapi kenapa mereka gak langsung saja mendeklarasikan mendukung Prabowo? Kenapa harus muter-muter dengan slogan ganti presiden segala. Wong, Capres kita sekarang cuma ada dua: Jokowi atau Prabowo.

Saya akhirnya memahami kenapa mereka sukanya muter-muter begitu. Kenapa mereka tidak mengkampanyekan Prabowo langsung saja, tetapi lebih getol deklarasi ganti presiden.

Begini. Untuk sebuah kampanye, kita butuh menjelaskan prestasi Capres yang kita usung. Kita perlu menginformasikan segala kelebihannya. Persoalannya, saya rasa sampai sekarang mereka kesulitan menemukan prestasi Capres usungannya itu.

Mau dibanggakan karir miliernya, nyatanya dia pernah dipecat. Mau dibanggakan Capresnya bisa mensejahterakan buruh, lho, buruh yang bekerja di perusahaanya saja ada yang belum digaji. Mau membanggakan Capresnya adalah pejuang HAM, mereka khawatir arwah aktivis yang diculik akan menertawakan.

Mau membanggakan rumah tangga Capres yang harmonis, nyatanya cuma rujuk lima tahun sekali. Itupun rujuk congor atau rujuk cuma di omongan doang.

Mau membanggakan, capresnya juga bisa berjoget. Bukan hanya Jokowi yang bisa goyang dayung dan jadi viral itu. Eh, pas ditonton video goyangnya, gayanya malah ajrut-ajrutan begitu. Ada juga yang mirip tari kecak. Cak, cak, cak, cak....

Mau membanggakan Capresnya pernah mendapat Nobel perdamaian, mereka khawatir ditimpuk HP. "Lu, ngeledek, ya?"

Mau membanggakan Capresnya bisa membawa Indonesia maju, nyatanya Capresnya pernah berkata Indonesia bisa bubar 2030.

Mau membanggakan Capresnya direstui ulama, lho ijtimak ulama saja boro-boro didengarkan.

Jadi apa dong, yang bisa dijadikan bahan kampanye?

"Gimana kalau kemampuannya baca Quran saja yang ditonjolkan," ujar seorang pendukungnya. "Jokowi itu lidahnya medok Jawa, pasti bacaannya gak sebagus qori."

"Emang kamu yakin Capres kita bisa baca Quran?"

"Kan, bisa lip sync, mas..."

"Iya bener. Pak Jokowi pakai stuntman aja gak apa-apa, kok," celetuk Abu Kumkum.

***