Jokowi Tidak Prioritaskan Olahraga di Program Nawacita

Minggu, 19 Agustus 2018 | 16:20 WIB
0
555
Jokowi Tidak Prioritaskan Olahraga di Program Nawacita

Ibarat etalase -maka peragaan keragaman budaya, etnik dan musik di pentas Opening Ceremony Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno Senayan Sabtu 18 Agustus 2018 kemaren serasa panorama miniatur Indonesia. Momentum yang akan lama terulang, setelah terakhir kali Stadion yang sama dipakai untuk gelaran Asian Games 1962.

Tontonan pembukaan ini dipuji media di berbagai negara. Dan di Korea, Presiden RI Jokowi yang sempat naik motor ketika menuju Stadion GBK karena terhambat macet? Menjadi pembicaraan hangat media massa di Negeri Ginseng itu.

Toh komentar nyinyir tetap saja meluncur: “Sudahlah, pakdhe hentikan pencitraannya, nanti malah dibilang riya loh...,” Padahal, yang namanya pencitraan itu adalah bagian tak terpisahkan dalam politik jelang Pilpres. Siapapun calonnya. Nggak percaya? Tanya Prabowo Subianto...!!!

Asian Games 2018 ini pun Jokowi hanya “keruntuhan gawe”. Padahal yang menyodorkan Indonesia sebagai tuan rumah adalah pemerintahan SBY, hanya tiga bulan menjelang usai jabatan periode keduanya. Dan bahkan kepastian Jakarta dan Palembang jadi tuan rumah puncak pesta olahraga Asia ini, terjadi pada masa Menpora Roy Suryo –hanya sebulan sebelum jabatan SBY berakhir. Apa tidak menggelontorkan tanggung jawab berat pada pemerintah berikutnya?

Dengan segala lintang-pukang persiapannya, pemerintahan baru Jokowi ternyata mampu menyelesaikan gawe besar olahraga ini. Setidaknya berhasil di awal. Bahkan, dari pembukaannya saja sudah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh Jokowi, sebagai prolog kampanye menjelang Pilpres 2019. Katakanlah, pencitraan yang efektif menuju kursi kepresidenan mendatang. Kalau terpilih lagi, tentunya....

Pencitraan Jokowi melalui Opening Ceremony Asian Games – yang digarap apik Direktur Kreatif Wishnutama dengan iringan musik Addie MS ini -rupanya dipuji masyarakat luas Indonesia, dan juga internasional. Tidak hanya bisa menggambarkan “citra gebyar” Nusantara dengan kebhinnekaannya. Akan tetapi juga prestasi yang luar biasa, dengan menyatukan Korea Utara dan Korea Selatan melalui olahraga.

Seperti juga Sukarno dulu di Asian Games 1962 dulu, maka Jokowi pun menggarap isu politik internasional yang tengah hangat. Penyatuan dua Korea. Dalam parade para atlet peserta Asian Games kali ini, kontingen Korea untuk pertama kalinya dalam sejarah tiga perempat abad, tampil dalam satu barisan.

Pakai bendera “unifikasi”, bersisian. Bahkan dua pemimpin Korea di tribun GBK pun berjabat mengangkat tangan tinggi ke atas, menyambut defile atlet Korea bersatu. Terlihat, Perdana Menteri (PM) Korea Selatan, Lee Nak-yon dan Wakil PM Korea Utara, Ri Ryong Nam, bergandengan tangan dengan tangan terangkat di deretan tribun VIP.

Sementara di barisan pawai atlet, terlihat pemain basket Korea Selatan Lim Yung-hui dan pemain sepak bola Korea Utara, Ju Kyong Chol membawa bersama bendera “Korea Unifikasi” yang berlatar warna putih, logo biru keliling gelanggang Gelora Bung Karno. Luar biasa...

Ini merupakan sebuah isyarat manis, dari penyatuan Korea – yang sudah terpisah dalam jurang permusuhan selama hampir tiga perempat abad. Praktis, Korea Utara dan Korea Selatan yang sedarah-seibu itu, terpisah oleh politik sejak 1953 pasca gencatan senjata Perang Korea. Posisi saat ini masih berperang, dan terus bermusuhan baik dalam politik, kehidupan sehari-hari, maupun olahraga.

Indonesia, melalui Jokowi tentunya, memanfaatkan momentum olahraga Asia ini untuk “menyatukan” Korea. Apakah tanpa upaya? Tentunya pakai. Beberapa saat sebelum bergulirnya Asian Games 2018, Indonesia mengirimkan secara khusus Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Menko PMK) Puan Maharani, guna menyerahkan undangan secara langsung ke Pyongyang. Dan rupanya gayung pun bersambut.

Jokowi rupanya menangkap momentum olahraga ini. Tidak beda, misalnya, Sukarno pun dulu juga memanfaatkan momentum Asian Games 1962 untuk kepentingan “politik mercusuar”nya melalui olahraga. Indonesia, pada awal 60-an itu baru menggeliat dan belum dipandang di kawasannya.

Sukarno memang selalu memanfaatkan event internasional untuk tujuan politik, seperti pesta olahraga Asian Games, Ganefo (Games of the New Emerging Forces diikuti 36 negara) tahun 1963, maupun event konferensi seperti Konferensi Asia Afrika (KAA) pada bulan April 1955. Dengan segenap daya, termasuk mengerahkan potensi prestasi atletnya, Sukarno berupaya menggembleng niat untuk mencapai tujuannya.

Sebelum menjadi tuan rumah Asian Games, Sukarno menyiapkan tak hanya membangun prasarana baru (kini Stadion GBK dan komplek sekitarnya dengan menggusur lokasi padat penduduk di jantung kota), akan tetapi juga menggladi matang atlet-atletnya.

Hasilnya, Indonesia bisa meraih peringkat kedua Asian Games 1962 – suatu hal yang akan sulit terulangi lagi. Upaya mencapai prestasi olahraga itu, Sukarno membentuk Kementerian Olahraga tersendiri, tidak disatukan dengan Kepemudaan seperti sekarang ini. Kementerian olahraga waktu itu ditangani mantan kiper sepak bola, Menteri Olahraga Maladi.

Juga, Sukarno intens mengirimkan atlet-atlet untuk bertanding ke luar negeri. Di samping juga mengirimkan tokoh-tokoh olahraga, seperti MF Siregar, Harsuki dkk untuk sekolah olahraga di luar negeri. Sehingga nantinya, mereka ini menjadi teknokrat-teknokrat olahraga yang menggerakkan potensi olahraga.

Kiprah para teknokrat Siregar dkk ini, terasa sampai Olimpiade Barcelona 1992. Indonesia meraih emas pertamanya di Olimpiade semenjak ikut Olimpiade Helsinki 1952! Bayangkan setelah empat puluh tahun. Susi Susanti dan Alan Budikusuma, yang kini suami isteri, mencapai prestasi yang belum pernah dicapai atlet Indonesia, meraih medali emas Olimpiade melalui bulu tangkis.

MF Siregar adalah teknokrat yang dikirim bersekolah di AS sampai bergelar master, ia arsitek di balik prestasi emas pertama Olimpiade Barcelona 1992. Mendiang Siregar, yang juga memacu hebat prestasi Indonesia sehingga merajai di cabang renang pada era 1970-1980-an di Asia, adalah Pimpro Indonesia menuju prestasi Olimpiade Barcelona 1992.

Nah, inilah yang tak dilakukan Indonesia yang target prestasi olahraga di Asian Games 2018 kali inipun begitu rendah hati, kalau tidak boleh dibilang rendah diri. Cukup masuk 10 besar saja. Dan itupun akan melalui jalan yang sulit, lantaran supremasi olahraga Asia seperti Cina, Jepang dan Korea. Belum termasuk sempalan-sempalan eks negara Uni Soviet.

Prestasi olahraga Indonesia, dalam satu dasawarsa terakhir sangat merosot. Bulu Tangkis pun, yang dulu seperti semboyan Julius Caesar – Veni, Vidi, Vici – aku datang, aku lihat, aku memang? Kini tak lagi terjadi. Di keseluruhan cabang pun relatif terpuruk. Tidak mampu menjuarai lagi Asia Tenggara, SEA Games seperti masa Siregar masih hidup. Apalagi Asian Games...

Program pemerintahan Jokowi, yang dituangkan dalam program Nawacita empat tahun silam, tidak memperhatikan khusus olahraga sebagai upaya menunjukkan prestasi bangsa pada dunia. Bahkan dalam Nawacita berikut, andaikata terpilih lagi, prestasi olahraga pun tidak dalam skala prioritasnya.

Padahal, membangun olahraga nasional tidak hanya perwujudan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Akan tetapi juga menjadi wahana pencitraan yang efektif dan positif untuk Indonesia di kawasannya, maupun dunia. Olahraga juga bisa menjadi pemersatu bangsa. Keluhan kalangan olahragawan maupun atlet, perlu didengar juga oleh Jokowi, apabila ia ingin memperpanjang masa jabatannya setelah Pilpres 2019.

Ayolah, Indonesia. Belum terlambat meraih prestasi dunia melalui olahraga...

***

Jimmy S Harianto, wartawan senior tinggal di Jakarta