Sejarah Akan Selalu Berulang, Terlalu Melihat Musuh daripada Pendukung

Minggu, 12 Agustus 2018 | 07:39 WIB
0
673
Sejarah Akan Selalu Berulang, Terlalu Melihat Musuh daripada Pendukung

Marilah kita belajar sejarah, yang sebenarnya belum lagi "menyejarah" karena belum lagi 10 tahun berlalu. Para pelakunya masih hidup, masih usrek (bergerak bagai pendekar silat karatan), dan bagian terburuk masih ambisius.

Jangan lupa lima tahun pertama pemerintahan SBY adalah hal yang tampak "gilang gemilang", sedemikian gemilangnya SBY memilih wapres-nya yang sangat "nggugu karepe dewe", menurut maunya sendiri.

Pada saat itu, konteksnya juga sama, situasi ekonomi dunia sedang baik-baiknyanya: harga nyaris semua komoditi unggulan kita lagi bagus-bagusnya. Kelapa sawit, batubara, tekstil, hingga ada istilah SBY seolah jadi Raja Midas. Apa pun yang disentuhnya jadi emas.

Tapi itu hanya situasi 6 bulan pertama, tiba-tiba ekonomi dunia terguncang. Dimulai dari situasi ekonomi China yang mendadak tumbuh terlalu tinggi, hingga justru berbalik "kepanasan".

Singkat kata: harga banyak komoditi jatuh, dan cerita selanjutnya mudah ditebak. SBY dan Budiono kelimpungan, dan apa yang biasanya dilakukan oleh orang panik. Menyelamatkan nasib masing-nasib. Dan kalau dalam realitas 5 tahun terakhir SBY adalah rayahan, saling menjarah duit-duit yang semsetinya dipakai untuk pembangunan.

Itu adalah periode paling buruk dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Bila dulu tahun 1998, yang menjarah uang rakyat adalah para bankir. Maka di empat tahun terakhir masa pemerintahan SBY, siapa pun tak terkecuali. Korupsi sedemikian masifnya, hingga sebenarnya siapa pun yang berkepala dan punya jabatan, atau minimal akses kepadanya semestinya harus berakhir pada hukuman yang sama.

Inilah akar persoalan ini: hukum masih tetap tebang pilih! Dan itu yang konon, akan diperbaiki oleh Jokowi dengan Revolusi Mental-nya.

Saya sebagai orang belajar Marxisme, tentu sejak awal ngerti betul bahwa itu tak lebih bull-shit politik. Tapi sebagai sebuah kesadaran berbangsa OK-lah kita dukung. Revolusi itu sebagaimana selalu diingatkan oleh Tan Malaka, hanya akan berakhir memakan anak-anaknya sendiri. karena ketika revolusi tahap pertama selesai. Cara mempertahankannya adalah dengan merangkul (itu kalau halus) pihak lawan kepadanya. Dia akan menganggap sepi para pendukungnya, yang susah payah dan sukarela mendukungnya.

Begitulah kira-kira revolusi dijalankan. Saya pikir, demikian pulalah yang terjadi di Indonesia pada babak kedua pemerintahan Jokowi. Saya sangat bisa paham, bukan sekedar paham. Tapi telah lama mencurigainya...

Saya sudah sangat tidak nyaman, ketika Tim Sukses Jokowi (siapa pun mereka) berhasil mengumpulkan sembilan partai politik. Sebagian partai bangkotan, selebihnya partai baru. Apa beda yang baru dan yang lama? Tidak ada. Keduanya punya mimpi yang sama: kekuasaan lalu kemakmuran. Semuanya tentu berbalut atas nama rakyat, walau dalam konteks Jokowi lebih minimal terdengar bawa-bawa nama Tuhan dan agama. Tapi situasinya tetaplah sama.

Sialnya sebagaimana "petahana-compleks", biasanya mereka akan lebih melihat musuhnya daripada siapa pendukungnya. Mereka akan selalu melihat semut di seberang lautan, dibanding menepuk-nepuk bahu gajah yang ada di sampingnya. Ketakutan akan kalah, ketakutan bila programnya terhenti di tengah jalan, kekhawatiran semakin menguatnya fundamentalisme dan perpecahan, dst dst.

Berbagai hantu-hantu yang dibangun, yang menunjukkan bahwa pada akhirnya seorang pemimpin besar-pun juga manusia. Ia tampak kuat walau sebenarnya gak kuat-kuat amat. Tapi bagian paling menyebalkan dalam politik di Indonesia adalah keinginan bersikap bijak. Mencoba memahami, tapi kehilangan elan vital dan relevansi.

Itu sebabnya kita ini bangsa pemaaf, tapi sekaligus pelupa. Yang ujungnya adalah bangsa yang mudah mengamuk, hingga di suatu kala Kepulauan Nusatara ini sering juga disebut Nusa Amuk. Diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Island of Amok!

Jokowi telah memilih cawapresnya, para pendukung fanatiknya telah bisa memahaminya. Mencari seribu satu pembenaran, lumrah, dan itu baik-baik saja. Saya hanya berpikir sederhana, lebih baik Jokowi menang dengan selisih satu suara, dengan cara yang paling elegan dan terhormat. Daripada sekedar bla bla bla, sim salabim abakadabra menang telak.

Menang telak, terlalu besar itu justru yang harusnya ditakutkan. Kita tidak mau belajar Pemilu 1997, lalu 2009 lalu? Apa akhir semua itu?

Kalau saya menjadi yang tampak "picik" karena berpatokan pada satu hal yang saya pikir elementer dan fundamental. Itu juga bagian dari bagaimana saya membangun dan menjaga integritas dan independensi saya.

Masalahnya cuma sederhana, pendukung Jokowi garis keras dan harga mati itu adalah sebaik-baiknyanya orang sebagai pemaaf, sedangkan karena saya seorang pencatat dan pendukung harga teman maka saya menolak lupa. Itu saja!

Saya akan berdiri di pojok paling belakang, di sudut paling sunyi dengan kesendirian saya, dan tidak akan menuliskan apa-apa lagi tentang Jokowi.

Salam 2 Jari, bukan 2 Periode!

***