"Eropa dalam hal ini Perancis, memperlihatkan ambisinya untuk mengambilalih karate dari tradisi Jepang."
Pada 1975 terjadi perpecahan dalam dunia karate. Diawali dari kejuaraan dunia kedua WUKO di Perancis pada 1972. Tiga tahun kemudian, pada 1975 itu, WUKO pecah.
Kongres WUKO di Los Angeles melahirkan IAKF (International Amateur Karate-do Federation (IAKF) atau Federasi Amatir Karate-do Internasional. Di sisi lain juga terjadi kongres WUKO di Long Beach, California. Karate tradisional berafiliasi ke IAKF dan karate umum berafiliasi ke WUKO.
Pada PON 1973 karate dipertandingkan dengan peraturan karate tradisional. Pada 1975, FORKI mengikui kongres IAKF di Los Angeles.
FORKI mengikuti kedua badan tersebut, baik WUKO maupun IAKF yang kemudian berubah menjadi ITKF. Sejak 1975 hingga 1984, Inkai atas nama FORKI berkiblat ke IAKF/ITKF. Inkai dan FORKI juga mengikuti WUKO.
Nah, pada kongres FORKI di Lampung 1984, Jenderal Rudini terpilih menjadi ketua umum FORKI. Terjadi perbedaan pendapat dalam rumusan AD/ART FORKI, terutama soal peran majelis lembaga aliran dan pengertian federasi. “Majelis Lembaga Aliran mestinya tetap sebagai penasehat saja, sebab yang dimaksud federasi itu wilayah daerah, bukan federasi aliran,” ujar Sabeth.
Sabeth dipecat dan kemudian diasingkan ke Jepang oleh Pertamina, tempatnya bekerja. Pimpinan Pertamina memberitahu untuk mengasingkannya ke Jepang. Tujuannya menghindari perbedaan pendapat dalam FORKI.
“Padahal perbedaan pendapat itu biasa dan saya lebih paham karate daripada orang yang memecat saya. DNA saya karate, tapi di era Orde Baru, saya dianggap bersalah” ujar Sabeth mengenang delapan tahun pengasingannya dari FORKI.
Standar karate
Suami dari Suraya Hiroko itu, pada 1985 mendirikan Persatuan Karate Standar Indonesia (PKSI). Inilah cikal bakal FKTI.
Bukan cuma Sabeth yang mendapatkan perlakuan seperti itu. Profesor Nakayama pun diperlakukan tidak layak di Prancis. Nakayama dihalang-halangi masuk gedung pertandingan, karena tetap memperjuangkan karate standar dalam pertandingan.
“Karate standar atau karate tradisional itu sama seperti judo, kempo, kendo atau jujitsu. Mengacu pada shobu ippon kumite. Ippon diberikan untuk teknik yang menentukan. Gerakannya bersih, bentuknya baik, dan sedikit kesempatan bagi lawan untuk mempertahankannya,” ungkap Sabeth, sambil memperlihatkan bentuk pukulan dan posisi kuda-kuda.
Jadi, lanjutnya, bukan sekadar cari poin dengan teknik yang melupakan tradisi beladiri Jepang. Tekniknya harus standar. Bukan seperti colak-colek, tapi dapat poin. Cara-cara seperti itu merusak tradisi karate. Hanya karena mencari poin sebanyak-banyaknya dan memuaskan penonton.
“Suatu teknik tanpa kime, tidak dapat dianggap sebagai karate yang benar. Tidak peduli betapa besar kemiripannya dengan karate. Termasuk dalam hal pertandingan kumite sekalipun,” ujar Sabeth seperti dalam buku karate ‘Best Karate’ karya Nakayama.
Sebenarnya, lanjut Sabeth, sudah diupayakan penyatuan kembali WUKO (didominasi Prancis) dengan ITKF agar karate diakui IOC. Organisasi olimpiade internasional itu juga dikuasai Prancis.
Ia memperlihatkan surat dari IOC tertanggal 3 September 1993 kepada Presiden WUKO Jacques Delcourt (Prancis) dan Presiden ITKF Hidetaka Nishiyama (Jepang). Surat IOC ditandatangani Keba Mbaye dan Francois Carrard.
IOC menyarankan dibuat organisasi baru, yakni WKF, gabungan dari WUKO dan ITKF. WKF dibentuk agar diakui IOC dan karate segera dipertandingkan dalam olimpiade Tokyo 2020.
Namun kemudian perwakilan dari ITKF ditendang dari WKF. Inilah yang kemudian memunculkan istilah WKF-T atau tetap ITKF. Jadi, sejak awal WUKO dan ITKF sama-sama memperjuangkan karate agar bisa dipertandingkan di olimpiade.
Dengan masih adanya perbedaan pandangan, kata Sabeth, kemungkan jalan keluarnya pun akan menjadi WK (World Karate-do). Hal yang mirip dinamika yang terjadi di taekwondo. Dari International Taekwondo Federation (ITF) sebagai taekwondo tradisional dan World Taekwondo Federation (WTF) sebagai taekwondo umum, sepakat menjadi WTF. Lalu berubah lagi menjadi World Taekwondo (WT).
Untuk Indonesia, menurut kuasa hukum FKTI Kuspramudjo, FKTI adalah induk organisasi cabang olahraga karate tradisional dan merupakan federasi nasional dari WKF (tradisional).
FKTI memenuhi semua persyaratan Undang Undang No.3 Tahun 2005 tentang SKN (sistem keolahragaan nasional) dan PP No.16 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan keolahragaan sebagai induk organisasi cabang olahraga prestasi.
Ada pun Yayasan Inkai Karate-do Tradisional (Inkai), lanjut Kuspramudjo, adalah badan hukum yang menaungi FKTI. Sekaligus berfungsi sebagai Badan Standarisasi dan Akreditasi Nasional Karate Tradisional (BSAKN) dan menjadi pemegang standar nasional dari cabang olahraga karate tradisional.
Menuju Olimpiade
Karate tradisional memiliki karakteristik dan kekhasan tersendiri dibandingkan karate umum. Persyaratan utama keanggotaan IOC, selain jaminan atas keselamatan atlet dan jumlah anggota yang sudah dipenuhi minimum 25 negara pada tiga benua.
Karate tradisional, kata Sabeth, dapat menunjukkan dengan jelas tiga karakteristik dalam lima jenis pertandingan. Tiga karakteristik itu adalah; shobu ippon, tanpa kelas, dan prinsip bela diri (Budo karate-do).
Lima jenis pertandingan itu adalah; 1) Fukugo (kombinasi); 2) Peragaan kata (jurus); 3) Peragaan Enbu (peragaan beladiri); 4) Jiyu kumite (tarung bebas); 5) Koogo kumite (tarung bergantian).
Saat ini, lanjut Sabeth, karate tradisional diakui oleh IOC dalam wadah WKF, namun harus bersama karate lainnya. Ia berharap, perjuangan para perintis karate dapat terwujud di Olimpiade Tokyo 2020 mendatang.
Kepada Menpora, Sabeth mengaku menginformasikan karate tradisional justru tidak diakui KONI. Sebab KONI hanya mengakui FORKI saja. Padahal karete tradisional memang berbeda dengan karate umum. Ibaratnya, seperti banteng dengan kerbau.
Di Jepang pun diakui adanya karate tradisional dan karate umum (dipengaruhi Eropa, khususnya Prancis). IOC pun mengakui adanya karate umum dan karate tradisional. Bahkan di dunia karate pun, selain karate umum dan karate tradisional, ada juga karate full contack.
“Seperti softball dan base ball. Serupa tetapi tidak sama. Seperti sepakbola dan futsal. Karate tradisional itu unsur olahraganya sangat dominan, mengapa tidak diakui KONI?. Padahal diakui kemenpora. Dansa atau cabang lain yang nilai olahraganya sangat sedikit, malah diakui KONI. Ini aneh!” ujar Sabeth.
Jalan keluar untuk karate Indonesia, Ketua Umum FKTI Prof Dr Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh mengusulkan dibentuk Gabungan Karate Nasional Indonesia (GKNI) yang menaungi FORKI dan FKTI.
***
Tulisan sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/08/06/tradisi-karate-3-belajarlah-dari-taekwondo-dan-badminton/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews