Jenderal Kardus yang Jenius

Jumat, 10 Agustus 2018 | 10:06 WIB
0
550
Jenderal Kardus yang Jenius

Judul di atas ini sebenarnya hanya sok melodius, sebenarnya gak berarti apa-apa. Tapi ketika Andi Arief yang merasa kecewa, karena konon Prabowo Subianto (PS) lebih memilih Sandiaga Uno (SU) sebagai cawapres-nya, lalu ia mengumpat PS sebagai jendral kardus.

Saya geli, mungkin ini aplikasi baru penempatan termonologi "kardus" untuk menghina, setelah sebelumnya untuk menyebut manusia kardus, turun menjadi laki-laki kardus lalu lebih menukik lagi jadi perempuan kardus, dst dst. Lalu apa sih makna manusia kardus sebenarnya?

Manusia kardus adalah manusia yang kehilangan kemanusiaannya. Ia telah menjadi komoditi yang bergerak liar tanpa integritas. Mudah sekali berpaling dari niat semula. Karena memang niatannya adalah harga yang murah meriah yang bisa diperoleh dari kucuran duit sebagai patokannya. Di sini, Andi Arief menyebut SU menyetor Rp500 miliar ke PAN-PKS untuk jadi cawapres Prabowo.

Di sini ceritanya jadi lucu? Karena dengan membeli PAN dan PKS, keduanya tidak lagi memaksakan kadernya untuk menjadi cawapres PS. Akan halnya, Partai Demokrat kok gak harus "dibeli", masak SU sebodoh itu mau menggarami samudra. Nguyahi segara kalau kata orang Jawa!

Apakah kita harus percaya tentang hal itu? Saya kok tidak!

Dalam "ilmu maling" bahkan kepada istri sendiri pun jangan mudah percaya, apalagi sama kawan, apalaginya lagi dengan lawan. Saling mengkhianati adalah hal yang lebih abadi, sedang loyalitas itu berkisar pada "untungku apa dan berapa" atau dalam bahasa gaul hari "wani pira".

Di dunia politik negara yang di luar sana masih dianggap "random" ini, kita harus berhadapan dengan realitas jual beli kekuasaan yang sangat absurd. Dimana di dalamnya agama menjadi komoditi panas yang paling laku diperjualbelikan. Sayang agama semulia Islam kadang jadi jatuh harga di tangan orang-orang yang nafsu jadi kuasa dan kayanya sungguh luar biasa.

Terakhir ada kabar "nggilani" orang yang teriak-teriak bikin sayembara untuk menggantung kepala Ahok, tertangkap di rumahnya sebagai produsen pil koplo. Reproduksi dan pemassal-an orang sejenis ini makin kencang dan eskalatif. Beribadah tampak rajin, bersikap dermawan dan sopan, selalu menggunakan syariat sebagai baju sergamnya: tetapi sebenarnya tak lebih kriminal sampai menunggu waktunya.

Di tengah pusaran absurd inilah PS berada! Dia harus dipaksa menerima klausul "itjima ulama" tentang nama cawapres yang direkomenadasikan dari langit. Pasal seperti ini harusnya mudah patah, kok ulama ngurusi politik, yang praktis lagi! Tapi nyatanya ia laku juga...

Sekali lagi, saya tidak yakin PS akan menjadikan SU sebagai wakilnya. Sejelek-jeleknyanya PS tentu ia masih cukup waras, tidak mengorbanan tanah airnya jatuh sebagai pertaruhannya. SU ini tak lebih baik dari AHY, yang sebenarnya tak lebih anak mami yang masih dikempongin bapaknya. Keduanya tidak memiliki karakter kenegarawanan, yang sebenarnya "bau"-nya sudah mudah tercium dari jauh waktu.

Kenegarawanan itu tidak dibentuk, itu generik dari dalam diri. Ia dilahirkan dan bisa berasal dari latar belakang apa saja. Tidak harus politikus (kelompok ini selalu paling mendaku, tapi sebenarnya paling jauh kemana-mana). Ia bisa saja seorang guru, pegawai, pedagang, buruh, tentara atau siapa pun yang memiliki sifat equalibrium.

Pendidikan, atau pengalaman organisasi, apalagi kekayaan atau latar belakang keluarga itu tidak ada korelasi-nya apa pun dengan kenegarawanan. Kenegarawanan itu urusannya dengan bagaimana ia tahu batas (artinya ia harus berani bersikap sederhana dan rendah hati), berdiri di tengah (artinya integritas dan sikap toleransi jelas), dan seorang pengabdi (artinya ia tak gila hormat, jabatan, atau kekuasaan).

Sehingga, bila ada trik dan intrik, gerak-gerik kembalikan saja pada parameter di atas. Akan mudah menilai siapa yang sebenarnya pantas memimpin negara, siapa yang pantas ditendang jauh. Catat: negara, bukan provinsi atau kota atau kelurahan!.

Lalu dimana jenius-nya PS, kalau jujur sih gak ada. Kalau dia jenius, ia sudah jadi presiden sejak ia bisa bikin partai. Sekali lagi itu cuma judul mengada-ada. masak ia jatuh dipermalukan jadi jendral kardus?

Lalu saya hanya diam, dan tak berupaya membuatnya lebih berimbang. Biar kardus asal jenius. Jenial karena sebenarnya ia juga sangat mengenal kawan maupun lawannya. Dan dalam konteks ini ia sedang mempraktekan apa yang sering disebut "politik dagang sapi", siapa yang berani bayar lebih mahal tentu ia yang akan dipilih.

Masalah PS itu sebenarnya tetap sama dan masih juga sederhana: ia tidak dikendaki alam, ia bukan kehendak zaman-nya. Tapi ia dibutuhkan zamannya sebatas sebagai pembanding untuk memberi tempat siapa yang lebih pantas. Bukan selalu yang terbaik, tapi sebatas yang "lebih baik".

Dulu SBY tampak lebih baik, nyatanya tidak. Sekarang Jokowi pun demikian, walau sekarang tampaknya ia sukses jadi "pemborong partai". Maunya semua berada di bawah kaki dia.

Saya sangat khawatir, menyedihkan juga bakalnya....

***