Akhirnya, Pidato “Berantem” Presiden Diadukan Aktivis Jogjakarta

Selasa, 7 Agustus 2018 | 15:01 WIB
0
701
Akhirnya, Pidato “Berantem” Presiden Diadukan Aktivis Jogjakarta

Dugaan pidato “berantem" Presiden Joko Widodo di Bogor itu, akhirnya menjadi bumerang. Organisasi masyarakat sipil di Jogjakarta, Indonesia Court Monitoring (ICM) mengadukan Presiden Jokowi terkait pidatonya di hadapan relawan, Sabtu (4/8/2018).

ICM mengadukan Presiden ke empat lembaga negara sekaligus, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawan Pemilu (Bawaslu), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Mengutip CNNIndonesia.com, Senin (6/8/2018), aduan itu disampaikan ICM melalui surat yang dikirimkan lewat Kantor Pos Besar Jogjakarta, Senin (6/8/2018). Pasalnya, masyarakat dan relawan hingga masyarakat mempunyai penafsiran berbeda atas pernyataan Jokowi.

Menurut Direktur ICM Tri Wahyu KH, pernyataan Jokowi dikhawatirkan bisa menciderai semangat Pemilu Damai dan dapat memicu konflik horizontal di antara anak bangsa. ICM mengaku sangat prihatin dengan pernyataan Jokowi ini.

“Bagi kami ini sangat berbahaya karena Bapak Joko Widodo dimandatkan sebagai Presiden Republik Indonesia sampai 2019. Beliau adalah panglima tertinggi TNI-Polri. Beliau pula yang mengangkat Kepala Badan Intelijen Negara,” kata ucap Wahyu.

Wahyu menambahkan ada dua pertimbangan utama yang mendasari aduan ini. Pertama, alinea keempat UUD 45 bahwa pemerintah Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Kedua, Nawa Cita Presiden RI di Perpres 2 Tahun 2015 butir pertama, yaitu negara hadir memberi rasa aman dan nyaman. Sesuai kewenangannya, kata Wahyu, Kapolri diharapkan mampu mencegah supaya tak terjadi konflik horizontal.

Wahyu mengatakan kalau konflik terjadi, Kapolri harus memproses hukum Jokowi dengan pasal penyertaan dan penganjur. Selain itu, ia meminta Komnas HAM memantau pemenuhan hak rasa aman warga negara.

Sedangkan pada KPU dan Bawaslu, diminta untuk menjaga Pemilu 2019 tetap damai sesuai kewenangannya masing-masing. “Jangan deklarasi damai basa-basi, tapi kok di dalamnya menyimpan bara api,” kata Wahyu.

Dalam rapat umum relawan Jokowi di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Sabtu (4/8/2018), Presiden Jokowi hadir dan berpesan supaya para relawan tidak perlu mencari musuh dalam masa kampanye, tetapi juga siap jika harus terlibat baku hantam.

“Jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang lain. Tapi kalau diajak berantem juga berani,” kata Presiden Jokowi.

Seperti ditulis CNNIndonesia.com, seruan itu pun disambut riuh tepuk tangan dan teriakan puluhan ribu relawan yang hadir. “Jangan ngajak. Kalau diajak?” tanya Jokowi ke relawan. “Berantem!” balas para relawan.

Sayangnya, tak banyak media massa yang mengabadikan momen itu. Sebagian besar media massa dipaksa keluar ruangan sesaat sebelum Jokowi mengumandangkan seruan itu. Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi mengonfirmasi seruan Jokowi tersebut.

Menurutnya, media massa sengaja diajak keluar karena seruan tersebut cukup sensitif. “Pak Presiden hanya ingin sampaikan relawan siap berkelahi jika diajak berkelahi. Tapi, jangan mengajak perkelahian. Tapi itu mungkin sensitif di depan awak media,” ucap Budi.

Budi juga menceritakan Jokowi sempat kaget karena para relawan semangat menyambut seruan itu. "Bahkan Pak Jokowi ngomong 'Kok kalian disuruh berkelahi kok malah senang?' Kami jawab, 'Karena kita semua petarung, Pak',” lanjut dia.

Setelah sempat menjadi polemik, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) membela Presiden Jokowi terkait pidatonya yang menyebut agar para relawan berani jika diajak 'berantem'. Menurut JK, pernyataan Jokowi itu adalah imbauan untuk mempertahankan diri.

“Artinya kalau Anda diserang mesti mempertahankan diri. Masa’ diserang saja tidak mau mempertahankan diri,” ujar JK, ditemui di gedung MUI, Jakarta, Senin (6/8/2018), seperti dilansir CNNIndonesia.com.

JK menilai pernyataan Jokowi itu wajar dan sesuai dengan aturan hukum. Siapapun yang diserang, kata dia, berhak untuk mempertahankan diri. “Kan Pak Jokowi tidak mengatakan hantam, cuma mempertahankan diri,” katanya.

Presiden Jokowi sendiri meminta semua pihak memahami pidatonya itu secara keseluruhan dan tidak sepotong-potong. Dalam pidato itu, Jokowi memberi arahan kepada relawan, salah satunya tidak mencari musuh namun berani jika diajak berkelahi.

Jokowi meminta semua pihak melihat arahan itu dipahami secara konteks dari awal pidato. “Coba dirunut dari atas. Jangan diambil sepotongnya saja. Nanti enak yang mengomentari kalau seperti itu. Dilihat semuanya, konteksnya akan kelihatan,” katanya, Senin (6/8/2018).

Pernyataan ini langsung menarik perhatian terutama pihak yang berada di luar pemerintahan, seperti Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono yang menilai hal itu bisa meresahkan masyarakat.

Menurut Ferry Juliantoro, arahan atau menyemangati menggunakan pilihan diksi 'berantem' dapat memotivasi penggunaan kekerasan. Sementara itu, Juru Bicara Presiden Johan Budi menyatakan pernyataan Jokowi tak bernada provokatif terhadap pihak lawan.

Wakil Ketua DPR Fachri Hamzah malah meminta agar Presiden Jokowi “belajar pidato”. Belakangan, Jokowi seolah “tidak ingat” lagi perihal pidatonya yang membuat masyarakat resah dan khawatir akan ucapannya tersebut.

Bahkan, Pengurus MUI Pusat Anton Tabah Digdoyo menyesalkan pernyataan Presiden Jokowi itu. “Jika Jokowi benar bilang begitu sangat disesalkan,” tegas purnawirawan Polri berpangkat Irjen, seperti dikutip SuaraMerdeka.id, Minggu (5/8/2018).

“Bukan hanya tidak etis, tidak pantas, dan tidak lazim, tetapi juga bisa kena pidana. Apalagi omongan pejabat bisa masuk kategori penganjur, untuk melakukan tindak pidana (bila terjadi apa yang dianjurkan) ini terkena KUHP pasal 55 ayat 1 dan 2,” ujarnya .

Menurutnya, karena itu sangatlah mengherankan seorang presiden koq sembarangan bicara? Apalagi tidak ada fakta sama sekali ada pihak yang mengajak berkelahi. “Seandainya ada fakta pun tidak bisa menghalangi unsur pasal tersebut apalagi tanpa fakta,” lanjutnya.

“Selama ini kubu #2019GantiPresiden tidak pernah bicara seperti itu dan tidak pernah pula ajak berantem, bahkan tokoh-tokoh aksi #2019GantiPresiden tidak pernah bilang seperti yang dikatakan Jokowi maupun Ngabalin,” ungkap Anton Tabah Digdoyo.

“Jangan dibalik menuduh yang konstitusional dibilang provokasi dan radikal, tapi yang radikal dan provokatif dibilang konstitusional. Ojo dumeh kuasa, ini adalah tugas pokok anggota MUI harus dan wajib (mengingatkan) siapapun yang lalai,” ujarnya.

Rasanya ucapan Anton Tabah itu tak berlebihan. Apalagi, menjelang pendaftaran Pilpres 2019 ini, pernyataan Jokowi itu justru bisa jadi “amunisi” tambahan untuk menjegalnya. Jangan sampai hal ini dinilai koalisinya sebagai “sangat bahaya”.

Ingat, meski 9 parpol koalisi Capres Petahana ini sudah sepakat mengusung Jokowi sebagai Capres pada Pilpres 2019, namun secara resmi hingga menjelang pendaftaran berakhir, 10 Agustus 2018, pukul 24.00 WIB, Jokowi belum kantongi SK parpol koalisi.

Bukan tidak mungkin, PDIP sebagai “komandan” koalisi 9 parpol akan menyerahkannya kepada calon lain di luar parpol, seperti Jenderal Purn. Moeldoko atau Jenderal Purn. Gatot Nurmantyo, yang sama-sama pernah menjabat Panglima TNI.

Atau malah akan menyerahkan kepada Jenderal Polisi Budi Gunawan yang kini menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang dikenal dekat dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Itu semua bisa saja terjadi dalam politik.

Ingat, PDIP pernah punya Gubernur Jateng Bibit Waluyo, purnawirawan TNI berpangkat Mayjen, mantan Pangdam Jaya yang sebelumnya diusung oleh PDIP, sebelum akhirnya dikalahkan oleh Ganjar Pranowo yang juga diusung PDIP pada Pilkada 2013.

PDIP juga pernah punya Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, purnawirawan Polri yang menang Pilkada Bali 2008. Ia menjabat Gubernur Bali (2008-2013). Namun, pada periode kedua (1013-2018) PDIP meninggalkannya dan mengusung orang lain.

Akankah PDIP melakukan hal yang sama dengan mengganti Jokowi supaya tetap memperoleh kemenangan dalam kontestasi Pilpres 2019 nanti? Ingat, bagi PDIP, bukan sesuatu “hil yang mustahal” untuk mengusung calon di luar kader partainya.

***