Pada hari Selasa, 24 Juli 2018 malam, dua jenderal purnawirawan TNI (Dulu ABRI), Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono berdiri di hadapan puluhan wartawan dari berbagai media cetak, online dan televisi. Dua tokoh militer yang berkarier di rezim Soeharto ini, tampil gagah perkasa dengan mengenakan batik berwarna yang hampir sama namun berbeda corak.
Di sisi kiri dan kananya serta di belakangannya, berdiri pula sejumlah tokoh termasuk di antaranya, Mayor (purn) Agus Harimurti Yudhoyono yang juga mengenakan batik dengan warna yang hampir sama dengan corak berbeda dengan Prabowo dan SBY.
Dua tokoh militer tersebut baru saja bertemu untuk menyamakan visi tentang bagaimana mengelola Indonesia yang lebih baik pada masa yang akan datang. Dalam acara jumpa pers, sejumlah kritik dan evaluasi disampaikan -terutama oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan gayanya yang khas, SBY mengevaluasi pencapaian-pencapaian yang sudah dilakukan pemerintahan Jokowi Widodo, mulai dari masalah ekonomi, budaya, pendidikan hingga kritik terhadap penegakan hukum dari berbagai kasus, termasuk kasus-kasus korupsi dan terorisme.
Susilo Bambang Yudhoyono juga meminta agar Pemilu Presiden 2019. "Kami berkomitmen ikut mencegah jangan sampai politik identitas, politik SARA, secara ekstrem mendominasi pemilu, agar demokrasi kita tumbuh berkembang, makin berkualitas," ujar SBY.
Sepekan kemudian, Senin 30 Juli, kedua mantan petinggi militer ini kembali bertemu. Kali ini di Jalan Kertanegara--kediaman Prabowo Subianto. Kedua tokoh ini juga menggunakan batik tapi corak dan warnanya sangat kontras. SBY mengenakan batik bewarna yang mirip warna dominan Partai Demokrat, sementara Prabowo Subianto mengenakan batik yang didominasi warna coklat.
Susilo Bambang Yudhoyono tidak ditemani Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), melainkan didampingi Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), adik AHY. Ibas juga mengenakan batik yang warnanya hampir sama dengan SBY namun bermotif berbeda. Saya kira, perbedaan warna batik yang kontras ini merupakan sebuah “pertanda” bahwa kesepakatan yang akan dibangun tidak tercapai.
Namun perkiraan saya meleset. Kedua mantan petinggi militer dan pemilik partai ini bersepakat untuk berkoalisi dan mengusung Prabowo sebagai Calon Presiden. Lantas siapa wakilnya? Bukan itu yang akan dibahas, tapi soal “ngototnya” dua pensiunan jenderal ini untuk menghentikan langkah Jokowi agar tidak lagi menjadi Presiden untuk periode kedua, 2019-2024. “Sipil tidak boleh berlama-lama menjadi presiden”, mungkin itu kesepakatan lain yang tidak pernah disampaikan kepada pihak lain, kecuali di antara mereka berdua.
Supremasi Sipil VS Militer
Jokowi bisa jadi akan ciut jika kedua jenderal ini berkoalisi. Tapi jika dia mampu memenangkan pertarungan pemilihan presiden pada April 2019, mendatang –tentu saja dengan lawan yang sama (Prabowo—militer), maka mantan pengusaha mebel ini adalah orang sipil pertama dalam sejarah demokrasi di Indonesia yang paling lama menjabat sebagai Presiden Indonesia yakni selama 10 tahun atau dari 2014-2024.
Sejarah mencatat, sejak rejim Soeharto jatuh, militer (ABRI—sekarang TNI) seperti tabu mendekati areal politik. Militer benar-benar terlihat seperti “ayam sayur” dan berkomitmen untuk back to barak dilaksanakan dengan baik. Itu sebabnya ketika Soeharto lengser, militer tidak ikut cawe-cawe untuk menentukan pemimpin nasional. “Terbaik Untuk Rakyat, Terbaik untuk ABRI”.
Pengganti Jenderal (Purn) Soeharto adalah Prof BJ Habibie. Teknokrat (sipil) yang super genius ini hanya satu setengah tahun menjabat sebagai presiden. Habibie yang single fighter (tidak memiliki wakil presiden) hanya berkuasa dari 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999. Salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan BJ Habibie adalah lepasnya Timor Timur dari bagian Indonesia, menyusul keputusan Habibie menggelar jajak pendapat atau referendum bagi Prpopinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Lepasnya Timor-Timur mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkan Habibie. Upaya ini berhasil. Dan dalam Sidang Umum 1999, ia memutuskan tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR.
Setali tiga uang, orang sipil ketiga yang menjadi presiden adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Presiden Gus Dur menjabat dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Prosesi pelengseran Gus Dur dari tampuk kekuasaan presiden menjadi kontroversial.
Ada yang menyebutkan kasus pelengseran ini berkaitan dengan kasus korupsi yang dikenal dengan Buloggate atau Bruneigate, tapi ada pula yang menyebut pelengseran ini berkaitan dengan ketidakhadiran Gus Dur ketika harus memberi pertanggungjawaban di Sidang Umum MPR. Tapi ada juga yang mengatakan Gus Dur lengser lantaran mengeluarkan dekreit presiden.
Supremasi sipil atas militer masih berlangsung di era Megawati Soekarno Putri dan Hamzah Haz. Usai Presiden Gus Dur lengser, Megawati Soekarnoputri ditunjuk sebagai Presiden pada 23 Juli 2001. Putri Soekarno ini berhenti sebagai presiden setelah dikalahkan “anak asuhnya” Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu Presiden 2004.
Kini setelah hampir empat tahun menjalankan posisinya sebagai presiden—dan dipastikan maju dalam pemilu presiden 2019, Jokowi harus melawan “kekuatan” besar yang didesign oleh dua orang tokoh militer yang sangat tangguh, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto.
Kekuatan besar ini akan bertambah super besar lagi apabila Prabowo bersama calon wakilnya memainkan politik identitas—yang sejatinya ditakuti kubu Jokowi. Tapi kita akan melihat, siapa yang jadi pemenang. Di satu sisi ada keiginan untuk mempertahankan supremasi sipil, tapi di sisi lain supremasi militer atas sipil ingin ditegakkan kembali.
Kita tinggal memilih, Terbaik Untuk Rakyat, Terbaik TNI. Atau Terbaik Untuk TNI juga Terbaik Untuk Rakyat.
***
Catatan sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/07/23/catatan-serius-untuk-presiden-5-wapres-cermati-komposisi-lawan/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews