Kodok Bohay dan Sejarah Lahirnya Cebong versus Kampret

Senin, 30 Juli 2018 | 21:43 WIB
0
1071
Kodok Bohay dan Sejarah Lahirnya Cebong versus Kampret

Orang Indonesia itu kelewat kreatif. Saking kreatifnya, bahkan hajatan demokrasi Pilpres 2014 lalu melahirkan kata atau istilah baru yang kebangetan kalau tidak masuk kamus politik. Kata apa lagi kalau bukan "Cebong" dan "Kampret".

Memang sih dua kata ini di kamus sudah ada. "Cebong" ya bayi kodok, sedang kampret sejenis codot yang bisa tidur bergelantungan di pohon. Semua orang tau itu. Tapi "Cebong" dan "Kampret" dalam rimba perpolitikan mutahir Tanah Air beda makna.

"Cebong" adalah sindirian atau lebih tepatnya hinaan pendukung Prabowo Subianto buat pendukung Presiden Joko Widodo yang sukses memenangi Pilpres 2019, eh... Pilpres 2014. Sebaliknya, "Kampret" adalah olok-olok pendukung Jokowi kepada pendukung Prabowo.

Asal mulanya bisa ditelusur dengan mudah. Seusai Jokowi menang versi hitung cepat dan Prabowo sujud syukur mencium lantai, dua kata ini belumlah lahir. Keduanya lahir setelah itu, bahkan setelah Jokowi membentuk kabinet dan Koalisi Merah Putih Prabowo menguasai Parlemen meski kalah di Pilpres.

Kata "Cebong" lahir karena para pendukung Prabowo yang masih keki melihat Jokowi punya hobi aneh, yaitu memelihara kodok di Istana. Ya, di Istana Bogor itu memang ada danau di mana kodok bisa dilepas. Kodok biasa bernyanyi pada malam hari. Suara kodok inilah yang disukai Jokowi karena bikin suasana menjadi tenang dibanding mendengar musik klasik.

Nah, karena Jokowi suka memelihara kodok dan anak kodok itu disebut kecebong, maka tidak lama kemudan istilah "Cebong" pun disuarakan pendukung Prabowo bagi para follower Jokowi.

Sedangkan kata "Kampret" hadir karena sekadar plesetan kreatif saja. Koalisi Merah Putih itu kalau disingkat jadi KMP yang kalau diucapkan jadi "ka-em-pe". Nah oleh para Cebong, eh... para pendukung Jokowi, diplesetkanlah jadi Kampret, sampai sekarang.

Sebenarnya ga apple to apple Cebong versus Kampret. Tapi pendukung Jokowi ga peduli, ndilalah kampret suka tidur dengan kepala di bawah dan kaki mgglantung di dahan. Dari kebiasaan ini lantas Cebong suka mencap pikiran dan otak kampret kebalik-balik.

Uniknya lagi, Cebong jarang marah atau tersinggung kalau pendukung Prabowo memanggil "woiii... Cebong". Mereka nyantai saja, bahkan disebut "Bong" yang merupakan kependekatan dari cebong. Ada seorang profesor beneran (bukan profesor gadungan) yang sering mendungu-dungukan Cebong sebagai IQ200 Sekolam.

Maksud si profesor gadungan, eh... profesor beneran itu, kalau di kolom itu ada 200 cebong, ya masing-masing cebong IQ nya cuma 1. Padahal yang sering terjadi di kolam banyak cebong jomblo yang cuma sendirian sekolam. Kalau IQ200 dibagi ke 1 cebong, ya IQ cebong di atas rata-rata jadinya, IQ 200 beneran!

Kebalikannya dengan pendukung Prabowo yang suka marah-marah kalau dipanggil Kampret. Mereka maunya dipanggil agak kerenan dikit, misalnya "Batman". Tapi mana ada Batman bergelantungan dengan otak ke balik, bukan? Mungkin kalau tidak mau dibilang kampret, ya panggilan "Codot" mungkin lebih cocok.

Saking panggilan Cebong dan Kampret merusak tatanan pergaulan, ada seorang ustad besar yang mengusulkan "gencatan senjata" agar kedua istilah itu tidak digunakan lagi karena tidak produktif. Besar kemungkinan sang ustad sempat dikata-katain "Kampret".

Lha kok bisa langsung menuduh begitu!? Lha 'kan sudah dibilang, orang cenderung marah dan ga suka kalau dibilang "Kampret". Jadi, ga mungkinlah ustad itu diteriakin "Cebong, lu!" Kalau ini terjadi, sang ustad pasti tidak akan marah atau protes, nyantey aja....

Ke depan, masih dalam konteks politik Indonesia mutakhir, kemungkinan bakal lahir lagi istilah baru, yaitu KODOK dan BOHAY. Kodok masih ada kaitannya dengan cebong. Tetapi istilah Kodok di sini baru kemungkinan akan lahir jika Joko Widodo memilih salah satu 10 nama cawapres yang direkomendasikan PDIP.

Di antara 10 nama itu, tersebutlah Jenderal Moeldoko yang kini menjadi Kepala Staf Kepresidenan. Nah, kalau Jokowi benar-benar memilih Moeldoko, tentu saja panggilan yang pas buat pasangan ini adalah KODOK, yaitu Jokowi-Moeldoko.

Kodok lebih memungkinkan dibanding KOCAK, yaitu Jokowi-Cak Imin, yang oleh Muhaimin Iskandar disebut JOIN. Belakangan PKB dengan relawannya mempromosikan pasangan Jokowi-Moeldoko dengan sebutan BERJODO.

Prabowo juga tidak lepas dari singkatan ini jika nanti berpasangan dengan siapa saja. Pada Pilpres 2014 saat berpasangan dengan Hatta Rajasa, sebenarnya singkatan yang pas itu PRAHARA, tetapi entah kenapa tidak digunakan dan tetap lebih nyaman dipanggil Prabowo-Hatta.

[irp posts="19971" name=" Clear" Sudah, Prabowo Maju Lagi sebagai Capres!"]

Di Pilpres 2019, kalau benar-benar Prabowo jadi maju sebagaimana sinyalemen Susilo Bambang Yudhoyono, maka Ijtima Ulama yang memasangkan Prabowo-Ustad Abdul Somad (UAS) sebenarnya sangat bagus, sebab kalau disingkat menjadi PUAS.

Tetapi agak lucu juga kalau ternyata Prabowo berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang biasa disingkat AHY. Nah, para Cebong yang berendem di kolam sudah siap-siap nongol ke permukaan untuk menyebut pasangan ini dengan sedikit maksa, yaitu BOHAY.

BOHAY pasti dusukai para pemilih lelaki dewasa. Yang ga suka harus diperiksa kadar kenormalannya. Pun demikian pemilih remaja dan dewasa perempuan. Daripada badan kurus-kering,  mereka lebih suka BOHAY, bukan?

Nah, apakah KODOK dan BOHAY akan menjadi kenyataan dan mendominasi percakapan?

Ya, kita lihat saja barang 10 hari ke depan.

***