Hijrah dengan Jilbab

Senin, 30 Juli 2018 | 13:15 WIB
0
770
Hijrah dengan Jilbab

Jilbab kini dianggap sebagai tanda hijrah. Hijrah dari mana ke mana? Dari kehidupan sekuler ke muslimah kaffah. Minaz dzulumaat ilan nuur. Dari kegelapan kepada terang.

Seorang perempuan sekarang akan terus didorong untuk pakai jilbab. Dorongannya bisa berupa kata-kata ajakan halus yang memotivasi. Tapi tidak jarang pula berupa ancaman kasar, bahkan makian. Sering saya terpaksa tersenyum getir melihat serangan perempuan berjilbab yang kasar kepada perempuan yang tidak berjilbab.

Di situlah letak persoalan utamanya. Banyak orang berprinsip, yang penting berjilbab dulu, yang lain bisa menyusul kemudian. Faktanya yang terjadi adalah, yang penting berjilbab, yang lain ketinggalan. Artinya, ada orang yang benar-benar hanya berjilbab. Hanya jilbabnya yang menunjukkan bahwa dia muslimah, kelakuan lainnya bikin kita geleng-geleng kepala.

Karena prinsipnya yang penting jilbab dulu, maka orang tidak akan dinilai kebaikannya sebelum ia berjilbab. Seakan semua kebaikan pada seseorang menjadi luntur kalau ia tidak berjilbab. Sebaliknya, seakan semua jadi termaafkan kalau seseorang berjilbab.

Gagasan Islam kaffah itu prinsipnya adalah jalankan kehidupan dalam setiap aspeknya berdasar pada prinsip Islam, termasuk pakaian. Tapi yang terjadi adalah, jalankan prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan, terutama pakaian.

Banyak sekolah Islam, misalnya, mewajibkan siswinya berjilbab. Tapi konyolnya, dalam pengajaran di kelas siswa dan siswi dicampur. Apa masalahnya? Bercampur itu disebut ikhtilat, sesuatu yang dilarang dalam Islam. Kenapa jilbab diperhatikan, sedangkan ikhtilat tidak?

Beberapa hari lalu saya lagi-lagi terpaksa tersenyum getir melihat acara pengajian di TV. Pengajian itu dihadiri oleh beberapa artis yang berdandan menor. Demikian juga para wanita yang hadir. Ustaz yang berceramah menyitir ayat tentang tabarruz, cara berdandan jahiliyah. Bagaimana itu? Ya dandanan menor tadi.

Perempuan berdandan menor, hadir dalam majelis bercampur antara laki-laki dan perempuan, di situ penceramahnya bicara soal ayat yang melarang dandanan menor. Tapi tak seorang pun tampak menyadarinya. Jangan-jangan si ustaz sendiri pun tak menyadari. Sungguh sebuah komedi yang kocak.

Kalau kita bahas seperti ini, biasanya mereka akan berdalih, ”Minimal kan sudah mulai. Nanti akan diperbaiki pada aspek lain.” Kenyataannya, perbaikan pada aspek lain itu tidak ada.

Orang memang cenderung menjadikan jilbab itu sebagai patokan kebaikan. Berjilbab baik, tidak berjilbab buruk. Jangankan aspek yang jauh-jauh seperti akhlak dalam berkata atau berinteraksi, yang masih terkait langsung dengan jilbab pun masih banyak yang ditinggalkan, seperti dicontohkan di atas. Tapi semua itu bisa diabaikan. Yang penting sudah berjilbab.

Banyak orang lupa bahwa ada banyak perempuan berjilbab karena tidak tahan dengan kerewelan orang-orang di sekitarnya. Itu tidak masalah, pokoknya ia sudah berjilbab, ia sudah hijrah. Ada pula yang berjilbab karena diwajibkan oleh sekolah atau kantor. Itu juga tak masalah, yang penting ia sudah berjilbab, ia sudah hijrah. Juga ada yang berjilbab sekadar mengikuti mode. Itu pun tak masalah, pokoknya ia sudah berhijrah.

Penyederhanaan itu mengaburkan makna hijrah.

***