Dikeruk atau Dilebarkan, Lain Penanganan Kali di Solo dan Jakarta

Senin, 30 Juli 2018 | 17:51 WIB
0
709
Dikeruk atau Dilebarkan, Lain Penanganan Kali di Solo dan Jakarta

Sebagian besar kota-kota di Jawa terletak di dataran rendah. Jakarta, Semarang, Surabaya, Surakarta, contohnya. Belum lagi kota-kota kecil yang membujur sepanjang jalur Pantura dari Banten hingga Jawa Timur sana.

Karena berada di dataran rendah, sungai-sungainya sudah dekat dengan muara. Endapan dan sedimentasi dari hulu menumpuk di muara. Arus di muara juga lebih lemah dibandingkan di hulu. Jika tidak diurus dan dikelola, sungai-sungai ini bisa jadi masalah.

Masalah pertama adalah menjadi sumber banjir di musim hujan. Jika jalur air terhambat, ia akan cepat merangsek ke kawasan-kawasan rendah di sekelilingnya, menimbulkan mala bagi warga di sekitarnya.

Masalah kedua, ia bisa menjadi sumber pencemaran udara. Bagaimana ceritanya air bisa jadi sumber pencemaran udara?

Itu karena bau tak sedap. Air yang menggenang, apalagi berbulan-bulan, akan membuat bakteri-bakteri menari-nari kegirangan. Tingkah polahnya membuat mereka "berkeringat", lalu bikin bau tak sedap yang menguar ke wilayah sekitar.

Solusinya adalah pengerukan atau pelebaran badan sungai. Bukan ditutupi permukaan sungainya.

Pengerukan dan pelebaran itulah yang dilakukan di kota Surakarta. Kota Solo atau Surakarta merupakan dataran rendah dan menjadi pertemuan beberapa sungai, yakni Kali Pepe, Kali Gajah Putih, Kali Anyar, Kali Premulung dan Sungai Bengawan Solo.

Pengendalian banjir Kota Solo sangat penting karena sebagai Kota Pusaka, Surakarta merupakan pusat peninggalan budaya yang telah lama menjadi tujuan wisata. Aset pusaka Kota Solo antara lain Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, Kampung Batik Laweyan dan Pasar Tradisional Klewer.

Saat ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI tengah menyelesaikan pembangunan sejumlah infrastruktur pengendali banjir di Kota Solo seperti pekerjaan normalisasi Kali Pepe dan rehabilitasi Bendung Karet Tirtonadi.

Rehabilitasi Bendung Karet Tirtonadi menjadi selebar 60 meter dari sebelumnya 20 meter akan meningkatkan tampungan air pada musim kemarau dan mengendalikan debit banjir pada musim hujan.

"Pada saat musim kemarau, pintu Bendung akan ditutup, sehingga menjadi long storage yang dapat menampung 1 juta m3 air. Pada musim hujan akan dibuka dengan kapasitas pengaliran air 1.048 m3 per detik, atau lebih besar dari debit awal 390 m3 per detik," jelas Pak Basuki Hadimuljono, menteri dengan panggilan Pak Bas tapi sukanya menggebuk Drum itu.

Rehabilitasi Bendung Karet Tirtonadi yang dilakukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai(BBWS) Bengawan Solo, Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air (SDA) menggunakan teknologi gate panel yang pertama di Indonesia.

Keunggulan teknologi tersebut di antaranya waktu pengoperasian yang relatif singkat, mampu melindungi air blader dari material sungai, tahan terhadap perubahan suhu ekstrim dan vandalisme.

Kegiatan normalisasi Kali Pepe dilakukan baik di Kali Pepe bagian Hulu maupun Kali Pepe Hilir. Rehabilitasi Bendung Tirtonadi merupakan bagian dari pekerjaan normalisasi Kali Pepe Hulu sepanjang 1.566 meter. Normalisasi termasuk perkuatan tebing-tebing kali yang kritis, pemasangan pintu air dan pompa.

Nantinya akan kita lengkapi dengan dermaga, sehingga bisa untuk wisata air di tengah kota. Dulu lebarnya cuma 20 meter, sekarang menjadi 60 meter," terang Menteri Basuki.

Penanganan Kali Pepe Hulu diharapkan dapat memberi manfaat dalam mengurangi risiko banjir seluas kurang lebih 110 hektar di Kecamatan Banjarsari. Sementara di daerah hilir, cara ini akan mengurangi risiko banjir seluas kurang lebih 80 hektar di Kecamatan Pasar Kliwon dan Laweyan.

Sementara untuk pekerjaan Kali Pepe Hilir di antaranya berupa pekerjaan tebing beton sepanjang 10.115 meter di sisi kanan dan kiri mulai dari pintu inlet di ruas Kelurahan Gilingan hingga Pintu Air Demangan, perbaikan pagar, penataan bantaran, dan pengerukan badan sungai.

***