9 Capres PKS, Karena Rakyat Berhak Peroleh Pemimpin yang Lebih Baik

Minggu, 29 Juli 2018 | 07:18 WIB
0
712

Tidak kali ini saja PKS mengajukan sederetan kadernya sebagai calon Presiden. Bila tahun ini ada 9 orang, tahun 2008 yang lalu ada 8 orang. Mereka adalah Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, Salim Segaf Al Jufri, Anis Matta, Irwan Prayitno, Suharna Surapranata, M Sohibul Iman dan Surahman Hidayat.

Tahun ini, nama yang kembali digadang-gadang menjadi calon pemimpin dari partai itu adalah: Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring, Anis Matta, Salim Segaf Al Jufri, Irwan Prayitno, dan M Sohibul Iman. Dan nama baru adalah: Ahmad Heryawan, Al Muzammil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.

Lebih dari satu nama yang diajukan kepada masyarakat itu menandakan ciri partai kader. Dibanding partai lain yang hanya satu nama yang dijajakan. PKB hanya nama Cak Imin yang dijual, Partai Demokrat membawa nama Agus Harimurti Yudhoyono dalam penjajakan koalisi, PAN mengusung Zulkifli Hasan, Golkar menggadang Airlangga Hartarto.

Ketika di-launching nama-nama itu, diharapkan tiap calon beserta tim bisa memasarkan namanya untuk menambal kelemahan PKS selama ini, yaitu penokohan, sekaligus mengangkat popularitas partai. Partisipasi kader juga diharapkan untuk memperkenalkan para kandidat dalam perbincangan di dunia nyata maupun dunia maya.

Tiap mereka punya keunggulan masing-masing. Andai nama-nama itu berhasil dipasarkan ke masyarakat, maka rakyat Indonesia akan mengerti bahwa mereka punya kesempatan untuk mendapat pemimpin nasional yang berkualitas baik.

Rakyat Indonesia sebenarnya bisa dipimpin oleh sosok yang prestasinya nyata, bukan prestasi hasil polling. Dua ratus delapan puluh satu penghargaan yang diraih Ahmad Heryawan selama memimpin Jawa barat cukup menunjukkan kesuksesannya mengembangkan sebuah daerah. Teruji di provinsi terbesar di Indonesia, maka sangat layak kang Aher, begitu beliau dipanggil, menjadi mengemban amanah yang lebih besar: mengurus 260 juta rakyat Indonesia.

Model pemimpin yang sederhananya tidak dibuat-buat bisa didapat pada figur Hidayat Nur Wahid yang di awal menjadi ketua MPR (2004-2009) menolak pengadaan mobil dinas baru yang mewah. Beliau tak perlu membuat baliho yang menampilkan harga pakaian yang disandangnya. Itu cara pencitraan yang terlalu norak. Hidayat Nur Wahid adalah seorang negarawan yang berpengalaman memimpin lembaga tinggi negara.

Rakyat Indonesia juga pantas mendapat pemimpin yang punya retorika hebat. Pertanyaan soal film anak muda, atau trend sepatu, bukan menjadi levelnya lagi. Ajak ia bicara gagasan besar bagi bangsa ini! Di situ lah levelnya berada. Dia adalah Anis Matta. Ia adalah jawaban bagi rakyat yang gelisah atas pemimpin yang belepotan saat bertutur kata dan malu-maluin.

M Sohibul Iman pernah menjadi wakil ketua DPR. Dan saat ini ia menjabat sebagai Presiden PKS. Tentu wajar bila sebuah partai ingin mengusung ketua umumnya untuk menjadi pemimpin nasional. Latar belakang akademisi memberi jaminan kapasitas beliau. Lama di Jepang, ia paham bagaimana bangsa itu mencapai kemajuan, dan siap mentransformasikannya ke negara kita.

Mendekati masa pilpres, ada calon Presiden yang dipoles oleh tim pencitraannya sedemikian rupa. Kadang ia tampil mengendarai motor besar. Kadang ia tampil sedang berlatih tinju. Pernah juga nge-rap. Tapi sosok satu ini bukan polesan pencitraan bila ia menggenggam sabuk hitam karate Dan VI Inkanas.

Bukan sekali dua kali ia ke pelosok Sumatera Barat, daerah yang dipimpinnya, mengendarai motor trail. Dan ia tidak canggung nge-band dengan bermain drum. Ia adalah Irwan Prayitno, gubernur Sumatera Barat sekarang, yang sedang mengejar angka penghargaan yang pernah diraih Kang Aher. Sosok multitalenta. Mantaplah, masak enggak pula.

Dokter syaraf namanya Atun, mohon maaf saya tidak bisa berpantun. Tapi Tifatul Sembiring jago! Dia adalah calon Presiden dari PKS yang punya semangat muda. Mantan menteri komunikasi dan informatika di zaman SBY ini telah menggunakan wewenang yang ia punya untuk mencegah kemungkaran dengan memblokir ribuan situs porno.

Ia juga tegas menghadapi asing, walau sikapnya tak popular saat itu. RIM sebagai produsen BlackBarry digugatnya. Di zamannya pula Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Kominfo melonjak. Nah, kalau rakyat Indonesia rindu pemimpin yang tegas terhadap asing dan mampu melejitkan pendapat negara tanpa hutang, bisa dicoba pria berdarah Batak-Minang ini.

Habib Salim Segaf Al Jufri tak pernah masuk gorong-gorong. Tapi bukan berarti ia tidak kerja keras. Ciri kesahajaannya adalah tidak canggung tidur di rumah warga ketika kunjungan ke daerah atau pesantren saat menjabat sebagai Menteri Sosial di zaman SBY. Pengalamannya sebagai duta besar dan menteri sudah cukup untuk menjadi pemimpin nasional.

Al Muzammil Yusuf merupakan anggota DPR yang vokal dan berpihak kepada umat muslim. Salah satu momen heroiknya adalah interupsi di tengah sidang paripurna mempertanyakan penangkapan Nurul Fahmi, pengebar bendera merah putih yang bertuliskan lafazh Laa ilaaha illallaah. Sikapnya menjadi jaminan penegakkan supremasi hukum di negara kita.

Di antara 9 nama itu, terdapat nama yang sedang menjadi primadona. Dia adalah Mardani Ali Sera. Doktor lulusan Malaysia ini berani menggulirkan sebuah slogan yang kemudian massif menjadi aksi yang diikuti banyak masyarakat. Yaitu #2019GantiPresiden.

Dalam keberaniannya mengkritik rezim, ia tidak kehilangan kesantunan. Kata-katanya cadas tapi tetap penuh hormat. Dan ia juga orang di balik kemenangan Anies Baswedan di pilkada Jakarta kemarin. Jadi ia punya bekal berani, santun, dan ahli strategi, selain juga akademisi. Sangat layak diberi kesempatan memimpin negara ini.

Tapi sepengamatan saya memang pencapresan 9 nama ini tidak terlalu optimal. Ada calon yang gencar memasarkan dengan balihonya terpasang di mana-mana. Ada yang sama sekali tak terdengar geraknya. Padahal mereka semua potensial.

Kalau semua berani tampil, rakyat Indonesia bisa tersadarkan bahwa mereka bisa kok punya pemimpin yang punya kemampuan retorika alih-alih tutur kata belepotan, yang berani terhadap asing, yang prestasinya jelas dalam mengelola daerah, yang tak canggung berbahasa asing, yang tak perlu melakukan pencitraan norak, yang kesederhanaannya tidak artifisial, dan yang lebih baik dari yang sudah ada.

***

Zico Alviandri