Militer, Artis dan Sipil dalam Pemilu 2019

Kamis, 26 Juli 2018 | 21:21 WIB
0
708
Militer, Artis dan Sipil dalam Pemilu 2019

Fenomena politisi pindah partai sedang marak menjelang pileg dan pilpres 2019.

Tentu yang memilih pindah partai kalkulasinya bukan soal ideologi, tapi lebih ke arah pragmatis dalam upaya mengamankan jabatan atau keinginan menjabat sebagai legislator.

Arus demokrasi kita saat ini masuk arus liberalisasi politik, gak peduli itu partai islam atau partai haluan nasionalis, semua hampir mengalami hal serupa.

Dalam kaitan dengan arus utama politik dunia dalam hal tipikal politisi dan model pemimpin, secara umum dibagi 3 fase: Fase Militeristik, Fase Selebritis dan Fase Rakyat biasa.

Fase militeristik sudah selesai di era 80an dan 90an, namun masih ada sisa sisanya sampai saat ini walupun sudah sedikit berkurang.

Rakyat suka sama pemimpin dengan latar belakang militer, hal ini banyak ditemukan di negara negara ketiga seperti di indonesia ada soeharto, jenderal pinochet di cile, jenderal muhammadu bukhari bahkan sampai sekarang masih menjabat sebagai presiden nigeri, dan masih banyak lagi.

Fase selebritis juga masih mendominasi panggung politik dunia sampai saat ini, makanya jangan heran Filipina pernah punya presiden seorang Joseph Estrada, ada Arnold di amerika yang jadi gubernur dst.

Fase rakyat biasa dari kalangan sipil, ini sekaligus menandakan babak baru demokrasi di dunia, di mana sebuah demokrasi yang matang, pemimpinnya kebanyakan kalangan sipil yang kuat dan demokratis, paham masalah, dan mengerti tatakelola negara, erdogan, obama, rouhani, kurz, tredeu, anwar ibrahim dst bisa mewakili tokoh kuat dalam fase ini.

Yang membingungkan adalah model Presiden Indonesia saat ini seperti Joko Widodo, dia selebritis bukan, militer juga bukan, sipil yang cakap juga bukan, rakyat Indonesia tertipu dengan narasi kerakyatan semu ala Jokowi.

Sebenarnya Jokowi ingin meniru gaya pemimpin sipil yang sukses seperti Presiden Uruguay yang sederhana dan merakyat Jose Mujica, tapi sayang, Mujica dan Jokowi beda gaya beda narasi, Mujica tidak pencitraan, Mujica bisa dikatakan benar benar mewakili kalangan bawah rakyat secara substansial bukan citra semata.

Fase presiden sipil yang sukses juga banyak di negara lain saat ini, Evo Morales di Bolivia, Hugo Chavez mantan presiden Venezuela, Nicolas Maduro Presiden Venezuela saat ini, Duterte di Filipina, Michel Temer di Brazil, Macron di Prancis dan yang paling fenomenal adalah Narendra Modi di India.

Fase Presiden sipil inilah yang saat ini yang paling ngetrend di dunia, makanya Indonesia seharusnya sudah lompat dari fase militer dan selebritis ke fase sipil murni yang kuat apalagi usia reformasi kita saat ini sudah melewati 20 tahun, di Eropa, usia 20 tahun adalah usia demokrasi mapan di sebuah negara.

Dengan alasan inilah mengapa saya berharap Presiden Indonesia ke depan harus tipikal Anies Baswedan, Anis Matta dst, ingat ya sipil tapi harus yang punya narasi, karena kalau sipil hanya sekedar sipil, maka nanti akan jadi Jokowi baru yang neyebelin.

Di mana-mana di dunia saat ini, trend-nya saat ini adalah presiden dari kalangan sipil yang punya narasi yang kuat, demokrasi model inilah yang dulu pernah diramalkan oleh Abraham Lincoln dalam pidatonya di Gettysburg tahun 1800-an.

Banyak Presiden sipil di dunia mampu membawa negara kearah lebih maju, terutama negara negara yang menganut sistem presidensialisme dalam konstitusi, ini sangat pas seebenarnya buat indonesia, yang gak pas justru, kita punya sistem presidensialisme tapi di saat yang sama kita punya presiden sipil yang lemah dan belepotan kayak sekarang, sistem presidensialisme kita akhirnya pincang dan rusak, inilah PR Indonesia.

Di Era sekarang, logika bernegaranya sudah banyak berubah, dulu kita mengenal Fungsi DPR hanya legislasi, kontrol dan budget.

Saat ini fungsi DPR bahkan sudah lebih luas merembet ke Komunikasi, Diplomasi bahkan sampai fungsi representasi, maka butuh anggota DPR yang cerdas ke depan, karena akan percuma jika DPR secara lembaga sudah maju mindset berpikirnya, namun kualitas anggota dewan nya masih model Adian Napitupulu dan Model Model sejenisnya.

Lebih celaka lagi kalau anggota DPR periode yang baru nanti 2019-2024 adalah model Giring Nidji, Angel Karamoy, Krisdayanti, Adly Fairuz, Tsamara Amany, Guntur Romly dll. Bisa kacau logika gedung parlemen kita.

Maka di sinilah fungsi partai politik bekerja dalam mengontrol calon anggota DPR-nya yang akan dikirim ke Senayan nantinya. Maka sangat sayang selevel Fahri Hamzah dibuang hanya karena ego dan mungkin saja takut tersaingi pamornya, plus pake acara melawan hukum lagi, kan kerdil itu cara mikirnya yang terlalu "Gue" sentris bukan negara sentris.

Disini juga fungsi partai dalam menyeleksi capres cawapres yang berbobot untuk disuruh urus negara, yang masih level dosen, pengurus yayasan, level lokal dst, apalagi yang hanya level ngurus bank syariah atau konsultan agama, jangan terlalu dipaksakan didorong jadi capres atau cawapres, kalau mazhabnya adalah mazhab ngotot, apa bedanya sama pendukung Jokowi?

Lalu di mana edukasi politiknya buat rakyat.? Kita butuh standar yang baik dalam demokrasi kita.

***

Tengku Zulkifli Usman, Analis Politik.