"Anda melecehkan lulusan SMA," kecam seseorang yang membaca tulisan saya.
Tulisan itu berisi nasihat untuk anak saya. Intinya, saya nasihati anak saya untuk tidak kuliah asal-asalan. Kuliah hanya punya makna kalau melalui kuliah ia mengumpulkan banyak kompetensi yang bisa dipakai untuk bekerja kelak. Kalau tidak mengumpulkan kompetensi, tidak ada bedanya dia dengan lulusan SMA.
Daripada kuliah setamat SMA, mending mulai bekerja, sebagai buruh, pelayan restoran, atau apapun. Begitu tulisan saya. Entah dari mana sumbernya dia anggap tulisan itu melecehkan lulusan SMA.
Melecehkan lulusan SMA tidak mungkin saya lakukan. Prinsipnya saya tidak suka melecehkan orang, lulusan apapun dia. Terlebih, saya pernah punya bos yang lulusan SMA. Tidak hanya seorang, tapi nyaris tiga orang.
Saya lho, doktor. Lulusan Jepang pula. Kok bisa punya bos lulusan SMA?
Bos pertama saya adalah pemilik perusahaan produsen obat nyamuk di Jepang. Perusahaannya terbesar nomor 3 di Jepang untuk industri itu. Perusahaan itu punya sejumlah cabang di Asia, termasuk di Indonesia. Saya dulu bekerja di satu perusahaan itu.
Dia memang orang kaya. Dia mewarisi bisnis dari bapaknya yang kaya sejak muda. Tapi yang saya lihat, ia bukan sekadar pewaris bisnis saja. Ia seorang pebisnis sejati. Di tangannya perusahaan bapaknya membesar berlipat-lipat.
Waktu saya hendak bergabung ke perusahaannya, saya masih berstatus visiting associate professor di Tohoku University. Setelah tanda tangan kontrak di Jakarta, ia meminta saya datang ke kantornya di Tokyo. "Kamu adalah orang paling elit yang pernah saya rekrut. Kamu sensei di Tohoku. Saya masuk kuliah ke situ saja mungkin nggak lulus," katanya menyanjung.
Ia bercerita tentang usahanya membangun bisnis. "Dulu pasar obat nyamuk Jepang ini dikuasai oleh perusahaan Amerika. Mereka memperlakukan kita seperti monyet. Pestisida pertanian yang di Amerika dilarang dipakai sebagai bahan aktif pestisida rumah tangga, mereka pakai di Jepang," kenangnya. "Saya tidak terima. Saya kembangkan produk, saya lakukan berbagai efisiensi. Perlahan produk-produk Amerika itu berhasil saya kalahkan."
Ia sangat ahli dalam hal desain mold (cetakan) untuk produk plastik. "Dari desain mold ini kita profit kita ditentukan," katanya. Ia sendiri yang memimpin proses desain produk. Itulah salah satu kunci sukses bisnisnya. "Inovasi, Hasan. Inovasi. Kalau kita berhenti melakukan itu, bisnis kita mati," katanya.
Ia juga sangat peduli pada karyawannya, termasuk para buruh. Suatu hari ia memberi perintah pada saya untuk memasang AC di pabrik. "Pabrikmu panas, kasihan para buruh," katanya. Perintah itu saya tolak, karena biayanya terlalu tinggi. "Kalau begitu kamu cari solusinya," perintahnya. Peritah itu saya laksanakan. Saya buat sistem pendinginan tanpa AC.
Bos saya yang kedua adalah anak didik bos yang saya ceritakan tadi. Ia masuk kerja sebagai lulusan SMA.
Berawal dari operator, selama belasan tahun ia belajar teknologi injeksi plastik di lapangan. Mulai dari soal operasi mesin, parameter setting, mold, dan bahan plastik (resin). Berbagai produk sudah ia kerjakan. Dari pengalaman itu ia menjadi pakar dalam produksi barang plastik.
Ia juga belajar manajemen produksi, sehingga menjadi deputy factory manager di kantor pusat. Lalu dia ditugaskan menjadi managing director di perusahaan cabang di Indonesia, di mana saya waktu itu menjadi direktur. Setelah selesai masa tugas di sini, ia kembali ke Jepang dan menjadi managing director di sana. Bawahannya di sana banyak yang bergelar sarjana.
Ia tak hanya mahir dalam soal-soal teknis produksi. Ia juga punya cukup pengetahuan dalam soal lain, seperti keuangan. Saya waktu itu bertaggung jawab atas soal finance dan accounting. Ia meminta saya membersihkan account receivable kami yang punya beban berat, tagihan dari perusahaan satu grup yang jumlahnya menggunung. "Tagih, pastikan mereka bayar setiap bulan. Bisnis itu tidak hanya memproduksi barang dan menjualnya. Bisnis baru punya makna kalau tagihan kita sudah dibayar," katanya.
Bos saya yang ketiga sebenarnya tidak tepat disebut bos. Lebih tepat disebut nyaris bos. Tahun 2011 saya pernah ditawar untuk jadi presiden direktur di sebuah perusahaan joint venture Malaysia-Indonesia, yang bergerak di bidang produksi komponen otomotif (autopart).
Wawancara awal saya dilakukan dengan pemilik dari Malaysia. Sambil santai di sebuah restoran, wawancara lebih mirip obrolan biasa. Heran juga saya ketika akhirnya saya dipanggil untuk wawancara berikutnya, mengalahkan beberapa kandidat lain yang lebih berpengalaman dalam bidang industri otomotif.
Wawancana kedua dilakukan dengan pemilik Indonesia. Terus terang, kesan saya orang ini tidak tampak terpelajar. Tapi pada saat yang sama saya sadar, dia pemilik perusahaan. Dia bukan orang sembarangan. Setelah wawancara saya cek profil orang ini. Ia memulai bisnisnya dari sebuah bengkel di Yogya. Bisnis itu berkembang besar, sehingga ia punya banyak perusahaan otomotif. Boleh dibilang dia adalah pemain utama industri karesori tahun 80-90-an.
Proses wawancara waktu itu tidak berlanjut sampai ke kontrak kerja, karena ada hal-hal yang tidak kami sepakati. Tapi saya merasa beruntung bisa mengenal sosok hebat itu.
Doktor, jadi bawahan lulusan SMA? Sering orang menyebutnya orang pintar jadi karyawan orang bodoh yang berduit. Bagi saya itu sebutan keliru. Keliru banget. Orang-orang yang saya sebut tadi tidak bodoh. Mereka sangat pintar di bidangnya, yaitu bisnis. Mereka hanya tidak punya gelar saja. Gelar memang tidak ada kaitannya dengan kepintaran.
Saya bergelar doktor dalam bidang fisika. Di bidang itu bolehlah saya mengaku pintar dan pakar. Tapi dalam bidang bisnis, kepintaran saya kalah jauh dibanding orang-orang tadi. Maka saya rela menjadi bawahan mereka, belajar dari mereka.
Ingat, bukan gelar yang membuktikan seseorang pintar, melainkan pengetahuan, keterampilan, dan karyanya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews