JK Tetaplah Negarawan, AHY Generasi Muda Karbitan

Senin, 23 Juli 2018 | 15:47 WIB
0
692
JK Tetaplah Negarawan, AHY Generasi Muda Karbitan

Keniscayaan sebuah bangsa adalah terjadinya regenerasi yang diciptakan dengan matang."

Kalimat di atas  meluncur dari mulut Mayor (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam silaturahmi dengan media, Sabtu 21 Juli 2018.

Putra sulung Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono itu juga mengutip perkataan Bung Hatta bahwa pemimpin terbaik adalah yang menyiapkan penggantinya. Agus melontarkan dua kalimat itu untuk merespons langkah Jusuf Kalla (JK) mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan Perindo ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Perindo, pasal itu bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945.

Perindo meminta aturan yang membatasi masa jabatan presiden dan wapres maksimal dua periode tersebut hanya berlaku apabila presiden dan wapres itu menjabat secara berturut-turut. Dengan begitu, JK yang sudah dua kali menjadi wapres namun tidak berturut-turut bisa kembali mencalonkan diri di Pilpres 2019.

Sejatinya, MK telah memutuskan isu tersebut Juni lalu. Hanya saja, keputusan itu sama sekali belum masuk substansi materi gugatan. Sebab para pemohon dinilai tak punya kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi.

Kembali ke pernyataan Agus, apa yang dia sampaikan itu secara objektif benar adanya. Tapi secara subjektif, karena dirinya adalah juga Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, aromanya terasa lain. Ada nuansa kekecewaan dan rasa takut tersaingi sebagai figur yang juga digadang-gadang oleh ayahnya sebagai bakal cawapres.

Bahkan kalau boleh lebih nyinyir lagi, ada unsur tak tahu diri dari Agus, khusus saat dia melontarkan kalimat, “Terjadinya regenerasi yang diciptakan dengan matang.” Kenapa demikian?

Dari sisi usia, dia memang tergolong muda. Sisi pendidikan pun oke punya. Tapi ketika dia memutuskan mundur dari ketentaraan dengan pangkat mayor, lantas ikut kontestasi memperebutkan kursi gubernur, saya termasuk yang tak bisa menyebutnya sebagai bagian dari regenerasi muda yang matang. Apalagi setelah gagal dia malah coba diikutkan ke ajang kontestasi lebih tinggi, sebagai bakal cawapres, bagi saya dia masuk generasi muda karbitan.

Dalam kasus ini, terlepas dari kapasita pribadinya, saya lebih respek terhadap Puan Maharani. Seperti Agus, Puan juga pewaris partai. Tapi toh dia kemudian bersedia meniti karir politik dengan menjadi anggota DPR, lalu kini menteri. Atau kalau mau lebih ideal lagi, tengoklah Ilham Habibie. Dia membangun sendiri kapasitas, integritas, dan reputasi pribadinya tanpa mendompleng, atau didongkrak-dongkrak sang ayah.

Karena belum matang itulah barangkali kemudian Agus menilai langkah JK secara text book. Juga latah ikut mengidap amnesia selektif, layaknya dilakukan para politisi yang biasa abai terhadap etika. Belum genap sebulan, Agus sudah lupa pernah digadang-gadang oleh Partai Demokrat untuk diduetkan sebagai cawapresnya JK.

Tapi sekarang dia secara tak langsung menyebut sosok JK sudah kelewat sepuh, sehingga performanya bakal menurun. Tak cuma secara fisik, dengan lancang Agus juga menyebut potensi penurunan itu juga termasuk dalam hal integritas dan sebagainya.

Apakah kelancangan itu sekedar ekspresi ketidakmatangan atau kecewa karena JK telah menolak skenario untuk berduet dengannya? Apapun itu, kalau kata Bang Haji Rhoma, “sungguh terlalu!”.

Saya beruntung pernah mewawancarai JK untuk acara ‘blak-blakan’ Detik.com pertengahan Maret lalu. Saat itu secara terbuka JK menyatakan dirinya sudah berusia 75 tahun. Sudah waktunya bagi dia untuk rehat, menikmati sisa usia untuk sepenuhnya bercengkerama dengan para cucu. Dia sama sekali tak menunjukkan mengikuti jejak Mahathir Mohammad yang sudah berusia 90 tahun, waktu itu mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri Malaysia.

Selain itu, secara pribadi dia termasuk yang menyadari bahwa konstitusi tak memungkinkan dirinya untuk kembali menjabat sebagai wapres karena sudah dua kali. Bahwa kemudian ada pihak yang punya tafsir lain, dia menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk memutuskannya.

Karena pada gugatan uji materi yang pertama ditolak dengan alasan para pemohon tak punya kedudukan hukum untuk mengajukannya, kali ini JK dengan sukarela turut mengajukan diri sebagai pihak terkait. Saya percaya dia melakukan hal tersebut semata-mata bukan untuk dirinya, tapi untuk bangsa ini.

Dia ingin soal tafsir dua periode menjabat harus berurutan atau tidak dituntaskan. Hal ini agar di kemudian hari celah ini tak terus dipakai sehingga menguras energi. Tentu kepastian tafsir itu tak cuma untuk posisi wapres tapi juga presiden. Di situlah letak kenegarawanan JK.

Bila memang JK seorang yang ambisius, untuk apa dia ikut mengajukan uji materi. Toh, peluang sebagai calon presiden terbuka lebar. Cuma dia mengukur diri dan tahu diri. Berkaca pada pilpres 2009, dia tak ingin mengulang untuk kembali berhadapan dengan orang yang pernah didampinginya.

***