Ronaldo, Kutu Loncat, dan Bursa Transfer Caleg

Rabu, 18 Juli 2018 | 16:56 WIB
0
572
Ronaldo, Kutu Loncat, dan Bursa Transfer Caleg

Seiring kepindahan CR-7 dari Real Madrid ke Juventus dengan nilai transfer triliunan rupiah, bursa transfer pun berlangsung di kalangan politikus di Tanah Air. Menjelang pengajuan daftar calon anggota legislatif (caleg), beredar daftar sejumlah nama pesohor (artis dan atlet nasional) yang berpindah dari sebuah partai ke partai lainnya.

Di era Orde Baru kepindahan para politikus semacam itu dikenal dengan sebutan ‘kutu loncat’. Tapi kali ini, salah satu alasan atau motif yang mewarnai kepindahan tersebut adalah fulus. Baiklah disebut contoh kasus ini adalah artis Lucky Hakim yang sebelumnya bernaung di Partai Amanat Nasional (PAN), kini di Partai Nasdem.

Setelah para petinggi Nasdem menepis soal tuduhan adanya iming-iming uang kepada Lucky, dan yang bersangkutan juga membantahnya, Ketua Umum PAN Zulkfili Hasan justru mengkonfirmasi hal itu.

Melalui layanan Whatsapps, Lucky mengaku mendapat iming-iming Rp5 miliar dan baru dibayar Rp2 miliar untuk hijrah dari PAN ke Nasdem. “Transfer lima miliar rupiah, tapi baru diterima dua miliar rupiah. Dia SMS saya. Ada WA-nya, selain PAW," kata Zulkifli yang juga Ketua MPR itu.

Lain halnya dengan mantan peragawati kenamaan Okky Asokawati. Dia sempat disebut mendapatkan biaya transfer tertinggi, Rp10 miliar saat meninggalkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke Nasdem. Dia meyakinkan, dirinya bukan tipe seperti pesepakbola Christiano Ronaldo yang setiap kepindahan selalu terkait dengan fulus. "Hijrahnya politisi ke partai lain itu karena ide dan gagasan yang dibawanya," lanjutnya kepada Detik.com.

Sementara Yohannes Christian John (Chris John) yang pernah menjadi juara dunia tinju kelas Bulu versi WBA meninggalkan Demokrat karena merasa tak diwongke. Petinju kelahiran Banjarnegara, 14 September 1979 itu akhirnya tercatat sebagai caleg Nasdem.

Terlepas dari isu-isu tersebut, ada satu hal yang penting dicatat karena nyaris tak ada perbaikan dari masa ke masa. Pola rekrutmen para caleg oleh partai-partai politik nyaris semuanya menggunakan rumus instan berbasis popularitas.

Sejauh dari pemberitaan media massa, sepertinya baru Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mau bersusah payah melakukan rekrutmen terbuka. Mereka yang datang mendaftar tak cuma diperiksa persyaratan adminstrasi, juga kemampuan akademis dan integritasnya. Ada sejumlah panelis yang terdiri dari para pakar berbagai bidang untuk menguji mereka.

[caption id="attachment_19063" align="alignleft" width="518"] Tsamara (Foto: Tribunnews.com)[/caption]

Tsamara Amany, pengurus PSI yang aktif di media sosial dan pernah menulis buku pun tak luput dari uji tersebut. Perempuan berusia 21 tahun yang baru meraih gelar sarjana dari Universitas Paramadina itu menghadapi penguji antara lain mantan Menteri Perdagangan dan Pariwisata Mari Elka Pangestu, dan pakar psikologi politik Prof Hamdi Muluk.

Begitu juga dengan vokalis band ‘Nidji’, Giring Ganesha. Dia menjalani seleksi di hadapan panelis pada 5 November 2017. Saat memutuskan akan berkiprah di dunia politik, dia mengaku tak cuma membekali dirinya dengan pendidikan selama di kampus, tapi juga mengambil banyak kelas politik, short course, hingga kelas public speaking.

Kepada panelis dia antara lain memaparkan persoalan pendidikan budi pekerti, budaya, dan nasionalisme. Andai kelak terpilih menjadi anggota DPR, penyanyi berambut keriting ini ingin mengubah Ujian Nasional menjadi ujian bakat.

Giring merujuk pengalaman pribadi dan kakaknya, selain membandingkan sistem pendidikan di luar negeri. Ia mencontohkan saat kuliah sempat diminta mengambil jurusan Hubungan Internasional. Tapi ibunya juga tak melarang menggeluti musik. “Saya dan kakak adalah produk bakat. Alangkah bagusnya jika semua anak Indonesia hidup di jalan bakat,” ujarnya.

Tapi berapa banyak pribadi yang punya kesadaran seperti Giring dan Tsamara?

Di pihak lain, parpol pun sepertinya enggan melakukan kaderisasi secara telaten karena memang tak murah. Jangankan melakukan kaderisasi, sekedar mematuhi Peraturan KPU yang melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk dicalonkan saja, mereka banyak yang merutukinya.

Jadi, selama tak ada perubahan substansial dalam perekrutan para caleg, jangan berharap bakal ada perubahan kinerja dari DPR kita.

Percayalah…

***