Minoritas yang Menjadi Kebanggaan Negaranya

Selasa, 17 Juli 2018 | 19:00 WIB
0
837
Minoritas yang Menjadi Kebanggaan Negaranya

Setelah peristiwa penembakan di San Bernardino, California, Presiden Amerika Serikat kala itu, Barack Obama meminta agar rakyat Amerika menghentikan diskriminasi kepada umat muslim.

“Muslim-Americans are our friends and our neighbors; our co-workers, our sports heroes — and, yes, they are our men and women in uniform,” begitu katanya. Menurut pihak Google Translate yang penulis hubungi, terjemahan kalimat itu kira-kira begini: warga muslim Amerika adalah tetangga kita, rekan kerja kita, pahlawan olahraga kita, laki-laki dan perempuan bagian dari kita dalam seragam yang sama.

Tak lama setelah pidato yang menyejukkan itu, seorang pria tua berambut oranye, tubuh tambun, dan pipi tembem mempertanyakan maksud Obama. "Obama said in his speech that Muslims are our sports heroes. What sport is he talking about, and who? Is Obama profiling?" Begitu kicau orang tersebut dalam akun twitternya, @realDonaldTrump, 7 Desember 2015 lalu.

Ya, dia adalah Presiden Amerika sekarang. Ketika itu tak mengerti muslim Amerika berprestasi di bidang apa. Selang enam bulan berikutnya, pada 4 Juni 2016, ia menuliskan perkataan dukacita atas wafatnya Muhammad Ali melalui twitter. "Muhammad Ali is dead at 74! A truly great champion and a wonderful guy. He will be missed by all!"

Kita tahu, Muhammad Ali adalah seorang olahragawan muslim warga Amerika. Trump pernah bertemu dengannya pada Ali’s Celebrity Fight Night XIII tahun 2007. Begitu juga Shaquille O'neal, Karim Abdul Jabbar yang merupakan pebasket. Trump pernah berfoto bersama O'Neal pada ajang "celebrity golf tournament" di the Trump National Golf Club tahun 2007. Entahlah apa Trump memang tidak tahu, lupa, atau pada dasarnya menganggap muslim Amerika tidak punya kebaikan apa-apa sehingga mempertanyakan keabsahan perkataan Obama.

Di banyak negara juga terdapat kalangan minoritas yang membanggakan dengan prestasi di bidang olahraga.

Yang terkini adalah Perancis yang baru saja menjadi juara dunia sepakbola. Akun twitter @KhaledBeydoun milik seorang professor hukum dan pengarang buku tentang Islamophobia, Khaled Beydoun, menulis: "Dear France, Congratulations on winning the #WorldCup. 80% of your team is African, cut out the racism and xenophobia. 50% of your team are Muslims, cut out the Islamophobia. Africans and Muslims delivered you a second World Cup, now deliver them justice."

Ia menyampaikan (saya usaha sendiri menerjemahkan tanpa bantuan google translate): Wahai Perancis, 80% tim Prancis dihuni oleh atlet keturunan Afrika, dan 50% dipunggawai oleh muslim. Sehingga hentikanlah rasisme, kebencian pada warga pendatang, dan islamophobia. Orang Afrika dan muslim telah mengantarkan piala dunia kedua kepada kalian. Maka, berikanlah keadilan kepada mereka. (Semoga benar begitu terjemahannya)

Saya tidak bisa memvalidasi jumlah 50% atlet muslim. Tapi bahwa mayoritas dalam tim nasional Perancis adalah keturunan Afrika, bisa dibilang begitu.

Ketika menjuarai Piala Dunia tahun 1998 pun ada atlet muslim yang menjadi pahlawan bagi negara yang terkenal dengan Menara Eiffel tersebut. Yaitu Zinadine Yazid Zidane. Dan dari tahun ke tahun, timnas Perancis tak pernah sepi dari atlet beragama Islam.

Di negara Eropa lain juga terdapat pesepakbola muslim. Mereka berjuang untuk kebanggaan negaranya.

Di sini lah olahraga menghadirkan keindahan hubungan umat manusia. Menjadi jalan untuk mengaplikasikan pesan dalam Al Qur'an surat Hujuraat ayat 13, bahwa manusia diciptakan dengan variasi suku, etnis, ras untuk saling mengenal. Melalui olahraga kita sadar bahwa orang dari etnis lain juga punya potensi yang bisa kita manfaatkan dalam simbosis mutualisme.

Mengenal adalah sebuah langkah awal untuk menghilangkan kebencian akibat ketidaktahuan. Pepatah mengatakan bahwa manusia cenderung membenci apa yang tidak ia ketahui. Karena itu dari olahraga manusia mendapat jalan menghargai prestasi orang, membunuh prasangka dan sikap sinis kepada sesama.

Di negeri sendiri, jangan lupakan Susi Susanti dan Alan Budhikusuma peraih emas pertama dan kedua untuk Indonesia di ajang Olimpiade, pada tahun 1992. Di cabang bulutangkis yang mereka geluti, sejak dulu memang menghadirkan atlet dari kalangan keturunan Tionghoa yang tak hentinya memberi piala dan kebanggaan buat Indonesia.

Karena itu jangan pelihara sikap tidak suka hanya karena menemukan orang yang berbeda etnis. Sebagaimana kita menginginkan Eropa bersikap ramah kepada umat muslim yang minoritas, kita juga ada perintah berbuat adil dalam Al Qur'an. Bahkan bila rasa tidak suka tak dapat lenyap, tak jadi alasan untuk berlaku zhalim. (QS Al Maidah: 8)

Minoritas layak mendapat perlakuan sepadan. Dan ini tak berlaku hanya untuk etnis Tionghoa, keturunan Arab di Indonesia juga begitu. Jangan benci mereka karena rasnya. Mereka pun punya jasa untuk kemerdekaan bangsa ini. Dan pula kepada etnis lain.

Nah, kepada minoritas saja tak boleh berlaku diskriminatif, apalagi kepada mayoritas. Umat muslim tidak pantas disepelekan. Ulamanya tak boleh dikriminalisasi. Haknya menjalankan kewajiban agama dalam syariat Islam tak boleh dihalangi. Karena bangsa ini diperjuangkan dengan darah jutaan umat yang bersyahadat.

***

Zico Alviandri