Kita hidup di masyarakat yang banjir gelar akademik. Gelar-gelar akademik, seperti S.H. (Sarjana Hukum), M.M (Magister Manajemen) dan Dr. (Doktor), dipertontonkan di berbagai acara, mulai dari pemilihan legislatif, pilkada sampai dengan undangan perkawinan.
Gelar akademik menjadi semacam lambang kebangsawanan. Penggunanya dianggap lebih cerdas dibanding dengan orang-orang yang tanpa gelar.
Gejala ini juga terjadi di Jerman. Pemikir asal Muenchen, Julian Nida-Rümelin, bahkan menulis buku dengan judul Der Akademisierungswahn (delusi akademik) pada 2014 lalu. Di dalam buku itu, ia berpendapat, bahwa masyarakat Jerman dilanda kegilaan akademik. Semua orang ingin masuk universitas dan mendapat gelar akademik, walaupun mereka, sesungguhnya, memiliki bakat di bidang lain, selain bidang akademik.
Ada kesalahpahaman tentang makna dari gelar akademik. Sejatinya, gelar akademik menyentuh tiga hal mendasar.
Pertama, gelar akademik adalah lambang dari niat dan tindakan seseorang untuk mengembangkan dirinya. Gelar akademik adalah lambang dari perjuangan yang telah menguras kemampuan intelektual, emosional dan bahkan fisik seseorang untuk mengembangkan dirinya.
Dua, gelar akademik juga adalah lambang dari penguasaan satu bidang ilmu tertentu. Kedalaman penguasaan ilmu ini semakin meningkat, ketika orang telah meraih gelar magister ataupun doktor di satu bidang tertentu.
Dengan gelar akademik yang ada, ia memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan bidang ilmu pengetahuannya. Dua hal ini, yakni pengembangan diri dan pengembangan ilmu, sudah cukup diketahui masyarakat luas. Namun, ada satu hal yang terlupakan, yakni tanggung jawab politik.
Tiga, gelar akademik mengandung tanggung jawab politik, yakni untuk memberikan pendapat terkait dengan hal-hal yang penting di dalam kehidupan politik. Tanggung jawab politik berarti keberanian untuk terlibat dalam berbagai peristiwa politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat luas.
Dengan kemampuan analisis dari sudut pandang keilmuan masing-masing, orang yang bergelar akademik memiliki tanggung jawab untuk membagikan analisisnya terkait dengan urusan-urusan politik yang lebih luas.
Di Indonesia, banyak orang yang bergelar akademik tidak memiliki tanggung jawab politik, ataupun tanggung jawab untuk mengembangkan bidang keilmuannya. Mereka menggunakan gelar akademik demi meningkatkan kehormatan diri semata, tanpa ada isi yang jelas.
Inilah kesalahpahaman di dalam memahami makna dari gelar akademik. Kehormatan yang sebenarnya muncul bukan dari gelar akademik yang disandang, melainkan dari keterlibatan total dan jernih di dalam urusan-urusan masyarakat luas dari orang yang mengenakan gelar akademik tersebut.
Gelar akademik akan menjadi tanpa arti, ketika pemegangnya tak punya kepedulian untuk bersuara secara jernih terkait dengan persoalan-persoalan politik yang ada. Gelar itu juga akan menjadi kosong, tanpa upaya untuk mengembangkan ilmu yang telah didalami. Sayangnya, itulah yang kini banyak terjadi.
Jika gelar akademik hanya menjadi hiasan belaka, lebih baik, ia dibuang jauh-jauh.
Setuju?
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews