Paslon Walikota dan Wakil Walikota Madiun Harryadin Mahardika – Arief Rahman mengajukan gugatan pilkada ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU Kota Madiun, 4 Juli 2018 lalu.
“Iya, kami mengajukan gugatan. Berkas gugatan sudah dimasukkan ke MK pada 6 Juli 2018,” kata Cawali Madiun Harriyadin Mahardika di Madiun, Senin (9/7/2018), seperti dilansir AntaraNews.com.
Mahardika menilai, ada kejanggalan dalam pilkada kemarin. Upaya hukum itu ditempuh karena pada pilkada, 27 Juni 2018, disinyalir ada praktik politik uang oleh tim pemenangan paslon lain.
Ia menilai ada kejanggalan dalam pilkada yang pemungutan suaranya berlangsung 27 Juni 2018 lalu. Pihaknya menduga ada praktik politik uang oleh tim pemenangan paslon Maidi – Inda Raya Ayu Miko Saputri (Mada).
Paslon dengan sebutan Madiun Mahardika itu menggugat keputusan KPU Kota Madiun Nomor 44/PL.03.Kpt/3537/KPU-Kot/VII/2018 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Walikota Madiun Tahun 2018 diduga sarat pelanggaran.
Terdapat sejumlah poin pokok permohonan yang diajukan Mahardika – Arief, di antaranya terkait dengan selisih penghitungan suara yang dilakukan KPU dengan tim paslon nomor urut 2.
Berdasarkan penghitungan KPU, paslon Mahardika – Arief Rahman berada di posisi kedua dengan perolehan 35.352 suara. Sesuai dengan hasil penghitungan tim paslon nomor 2, dan hasil perolehan suara tetap berada di urutan kedua dengan perolehan 35.958 suara.
Menurut Mahardika, selisih tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain, KPU dianggap tidak memasukkan daftar pemilih tetap (DPT) yang sebenarnya, karena saat pemilihan berlangsung ada indikasi 3.008 pemilih ganda atau invalid.
Seperti ganda nama, NIK, dan alamat. Selain itu, adanya dugaan praktik politik uang yang dilakukan paslon lain. Melalui gugatan ini, tim paslon Mahardika – Arief dengan nomor 2 meminta MK membatalkan keputusan KPU Kota Madiun tersebut.
Yakni, tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Walikota Madiun Tahun 2018 dan menyatakan tidak sah serta membatalkan berita acara rekapitulasi hasil pemilihan tersebut.
Selain itu, Arief menambahkan, meminta KPU melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Kota Madiun paling lambat 30 hari setelah putusan MK.
Seperti diketahui, hasil rapat pleno terbuka penetapan rekapitulasi, paslon nomor 1 Maidi – Inda Raya ditetapkan sebagai pemenang Pilkada Kota Madiun 2018 dengan memperoleh sebanyak 39.465 suara atau 38,53 persen.
Di posisi kedua ada paslon nomor 2 Harriyadin Mahardika – Arief Rahman melalui jalur perseorangan dengan raihan suara sebanyak 35.352 suara atau 34,51 persen. Posisi ketiga diraih paslon nomor 3 Yusuf Rohana – Bambang Wahyudi yang diusung koalisi Gerindra, PKS, dan Golkar dengan raihan 27.610 suara atau 26,96 persen.
Menurut Mahardika, sebagai paslon pada Pilkada Kota Madiun 2018, di Kota Madiun dengan jumlah penduduk 209.809 jiwa, sehingga perbedaan perolehan suara Mahardika – Arief dengan paslon peraih suara tertinggi adalah paling banyak sebesar 2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPUKota Madiun.
Total suara sah hasil penghitungan tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kota Madiun adalah sebesar102.427 suara, sehingga perbedaan perolehan suara antara Mahardika – Arief dengan paslon peraih suara terbanyak adalah 4,02% x 102.427 suara (total suara sah) = 4.113 suara.
Mahardika – Arief memperoleh 35.352 suara, sedangkan Maidi – Inda Raya (peraih suara terbanyak) memperoleh 39.465 suara. Sehingga selisih perolehan suara antara kedua paslon itu terdapat selisih sejumlah 4.113 suara atau 4,02%.
Menurut Arief, selisih tersebut belum didasarkan pada pemohonan paslon Mahardika – Arief untuk dilaksanakannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 8 TPS di Kecamatan: Kartoharjo, Manguharjo, Taman seperti yang diajukan dalam permohonan.
Paslon nomor urut 2 itu menuding, perolehan suara yang diraih oleh paslon nomor urut 1 (Drs. H. Maidi,SH,MM,MPd dan Inda Raya Ayu Miko Saputri, SE,MIB) sebanyak 39.465 suara, diperoleh dengan banyak melakukan kecurangan serta pelanggaran.
KPU Kota Madiun juga dituding berpihak kepada paslon nomor urut 1 tersebut. “Jelas, bahwa pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan ini adalah kejahatan Pemilu yang sangat merusak sendi-sendi demokrasi,” ungkap Arief kepada Pepnews.com.
Menurut Arief, pihaknya telah berusaha memenuhi ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juncto Pasal 7 ayat (2) huruf a PMK 1/2016 sebagaimana telah diubah dengan PMK 1/2017.
“Pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif itulah yang menyebabkan kami tidak bisa memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juncto Pasal 7 ayat (2) huruf a PMK 1/2016 sebagaimana telah diubah dengan PMK 1/2017,” ungkap Arief.
Selain itu, menurutnya, KPU Kota Madiun juga melakukan banyak pelanggaran yang dilakukan secara tersturktur, sistematis, dan massif sehingga sangat merugikan kami, dan menguntungkan paslon Maidi – Inda Raya,” lanjutnya.
Sehingga, hal itu menyebabkan Mahardika – Arief kesulitan untuk dapat memenuhi ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juncto Pasal 7 ayat (2) huruf a PMK 1/2016 sebagaimana telah diubah dengan PMK 1/2017.
Sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi pada pentahapan pemungutan dan perhitungan suara begitu banyak pelanggaran yang dilakukan paslon Maidi – Inda Raya dan KPU Kota Madiun (mulai dari KPPS, PPK, hingga KPU) sebagai penyelenggara Pilkada.
Meski semua itu telah dilaporkan kepada Panwas Kota Madiun dan jajarannya, tetapi sampai dengan waktu rekapitulasi di tingkat KPU Kota Madiun, Panwas Kota Madiun dan jajarannya tak pernah melakukan tindak lanjut maupun pengkajian atas laporan itu.
Padahal, sebagaimana diatur dalam Pasal 134 ayat (5) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menyebutkan:
“Dalam hal laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dikaji dan terbukti kebenerannya, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima”.
Atas kelalaian, ketidak-patutan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Panwas Kota Madiun dan jajarannya tersebut dan demi Hak Konstitusional paslon Mahardika – Arief, “Maka kami mengajukan gugatan melalui MK ini,” ungkap Arief.
Menurutnya, dalam permohonan aquo ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU 10/2016 juncto Pasal 7 ayat (2) huruf a PMK 1/2016 sebagaimana telah diubah dengan PMK 1/2017 tidaklah dapat diberlakukan secara mutlak.
“Karena perolehan suara yang diraih oleh peraih suara terbanyak pertama yaitu 39.465 suara (paslon nomor urut 1) dilakukan dengan banyak kecurangan dan keberpihakan KPU Kota Madiun,” jelas Arief.
Jelas, apa yang dilakukan KPU Kota Madiun itu merupakan kejahatan Pemilu yang sangat merusak sendi-sendi demokrasi yang menyebabkan paslon Mahardika – Arief kesulitan untuk dapat memenuhi ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU 10/2016 juncto Pasal 7 ayat (2) huruf a PMK 1/2016 sebagaimana telah diubah dengan PMK 1/2017.
Menanggapi gugatan tersebut, mengutip AntaraNews.com, anggota KPU Kota Madiun Sukamto mengakui, paslon Mahardika – Arief mengajukan gugatan pilkada ke MK. Pihak KPU juga telah menerima tembusan salinan gugatan tersebut pada 6 Juli 2018.
Menurut Sukamto, pihak KPU siap dan akan menghormati proses hukum yang ditempuh paslon nomor 2, Mahardika - Arief. Benarkah KPU Kota Madiun melakukan kecurangan untuk memenangkan Maidi – Inda Raya? Kita tunggu saja hasil sidangnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews