Setidaknya ada dua ramalan atau harapan yang tak terkabul dari final Piala Dunia 2018 yang berakhir tadi malam. Pertama soal tidak terbuktinya siklus juara baru dalam 20 tahun. Menyimak penampilan Kroasia di ajang Piala Dunia ini memang sangat mempesona. Negara bekas wilayah Uni Sovyet ini berhasil melalui enam laga, tiga di fase grup, dan tiga fase gugur dengan gemilang.
Di fase grup, Kroasia menyingkirkan Nigeria (2-0), Argentina (3-0), dan Islandia (2-1). Di babak berikutnya, tim asuhan Zlatko Dalic itu mengalahkan Denmark lewat drama adu penalti, 3-2. Begitu pun di perempatfinal, Luka Modric dan kawan-kawan mampu mengatasi tuan rumah Rusia lewat adu penalti, 3-2. Lalu di semifinal menyisihkan Inggris yang difavoritkan banyak orang dengan skor, 2-1.
Ketika masuk final, banyak orang lantas berharap bahwa siklus 20 tahun akan tercipta lewat Kroasia. Siklus juara Piala Dunia baru ini dimulai pada Piala Dunia 1958 sewaktu timnas Brasil menjadi juara untuk pertama kali dengan mengalahkan tuan rumah Swedia 5-2.
Sejak Piala Dunia pertama berlangsung pada 1930, Uruguay dan Italia mendominasi ajang ini dengan masing-masing dua kali juara, lalu Jerman Barat. Kemudian pada Piala Dunia 1998, Perancis menjadi juara usai menang telak atas Brasil 3-0. Sebelumnya, pada 1978, Argentina menjadi juara dunia setelah mengalahkan Belanda, 3-1.
Kedua adalah simbol bakal terjadinya perubahan kepemimpinan di tanah air. Bagi sebagian politikus di tanah air, rekam jejak Kroasia itu coba diasosiasikan menjadi psywar menuju Pilpres 2019. Mereka berkhayal atau bermimpi bila Kroasia menang, juga akan lahir pemimpin baru.
"Kita lihat saja kalau Kroasia menang, itu isyarat bahwa di dalam banyak negara akan lahir kekuatan baru, semangat baru, dengan mentalitas baru," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kepada para wartawan, Jumat 13 Juli 2018.
Sehari sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melontarkan harapan semacam itu. Dia mengaitkannya asa bagi kemenangan Kroasia itu sebagai pesan perubahan. "Kalau untuk pesan perubahan saya pilih Kroasia," ujarnya.
Padahal andai benar Kroasia menjadi juara dunia pun, sejatinya klaim perubahan atau pemimpin baru itu sebetulnya tidak orisinal sama sekali. Sebab calon yang disebut-sebut bakal diusung untuk menantang Jokowi sejauh ini masih merupakan stok lama.
Di sisi lain, kemenangan Perancis atas Kroasia 4-2, di Stadion Luzhniki, Moskow yang merupakan kemenangan kedua kalinya sejak 1998, tak serta-merta bisa disimpulkan bahwa Jokowi juga akan memimpin NKRI untuk dua periode. Baik Prabowo maupun Jokowi, juga calon ketiga jika memungkinkan, harus bekerja keras menyusun strategi dan meyakinkan rakyat bahwa memang mereka rakyat dipilih.
Asosiasi atau permainan logika lewat pertandingan sepak bola semacam itu hanya asyik sekedar untuk hiburan. Asyik bila harapan atau ramalan itu menjadi kenyataan. Tapi bila sebaliknya, bersiaplah menerima dibuli. Anies Baswedan, mantan menteri pendidikan yang dipecat Jokowi di tahun kedua itu saat ini harus menerima buli dari netizen. Pemicunya? Ya soal kekalahan Kroasia itu. Malah rupanya, semua tim kesebelasan yang dijagokannya di ajang Piala Dunia ini menderita kekalahan.
Di babak penyisihan grup, ketika ada yang mengasosiasikan pertandingan antara tuan rumah Rusia versus Arab Saudi, 14 Juni, sebagai perseteruan komunisme melawan wahabisme, Anies menjagokan Arab Saudi. Para wartawan tak menjelaskan apa alasannya. Apakah karena Arab Saudi masuk ‘tim seiman’ atau sekedar sentimen leluhur? Tapi yang terjadi kemudian di Stadion Luzhniki, Moskow itu tim tuan rumah menak telak tampa balas, 5-0.
Selain Arab Saudi, rupanya Anies juga mengaku menjagokan Jerman, lalu Belgia, Ingggris. Semuanya sudah tersingkir. Mengetahui fakta ini, mantan wartawan yang menjadi aktivis di media sosial Ulin Yusron pun melontarkan ledekan lewat akun tiwtternya, @ulinyusron, “Besok-besok kalau ada Piala Dunia, Mas Anies Baswedan gak usah dikasih tahu. Semua yang dijagokannya keok: Jerman, Belgia, Kroasia."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews