Jangan Jadikan Film sebagai Media Propaganda!

Senin, 16 Juli 2018 | 09:17 WIB
0
643
Jangan Jadikan Film sebagai Media Propaganda!

Banyak cara memberikan pemahaman suatu ide atau gagasan. Sejauh gagasan bertujuan kebaikan dan mengajarkan spirit moral keagamaan yang benar, bisa melalui pendidikan dan dakwah keagamaan. Tujuan dari dakwah agar masyarakat/jamaah menjadi lebih baik dan akhlaknya sesuai tuntunan agama. Karena tidak ada agama yang mengajarkan keburukan.

Beda halnya dengan propaganda. Leni Riefenstahl seorang Nazi yang berprofesi sebagai pembuat film, terseret dalam sidang pengadilan Nuremberg 20 November 1945 di Pengadilan Militer Internasional. Dia membuat film propaganda. Streicher seorang penulis propaganda Nazi di vonis hukuman mati karena melakukan propaganda yang menyebakan kebencian terhadap yahudi. Media seperti film atau koran paling sering digunakan, sekarang sosial media dan media online.

Propaganda bertujuan mensetting pemikiran audiens dengan tujuan yang sudah ditentukan (mirip doktrinasi). Sama halnya propganda yang dilakukan Nazi. Saat ini Amerika melakukan propaganda aksi terorisme dan radikalis, dan jahatnya disudutkan ke umat muslim.

Mereka bangun stigma bahwa militan muslim adalah radikal dan berpotensi menjadi teroris. Padahal radikalis ada di semua agama. Budha di Myanmar yang membunuh hingga ribuan, Hindu di India dan Kristen dibeberapa negara Eropa.

Cuman saat ini propaganda radikal dan teroris equivalen muslim yang konsisten menjalankan ajarannya. Jelas ini menyesatkan.

Semoga pemerintah dan aparat negara negeri ini tidak ikut-ikutan masuk dalam pusaran permainan propaganda dunia. Saya belum menonton film yang dibuat Kepolisian, namun dari lini berita yang ada, Kepolisian sedang membuat film bertema TERORISME. Dan semoga kepolisian yang menjadi bagian dari masyarakat sipil tidak menggunakan cara-cara otoritarian Nazi dan Orde Baru (G30S PKI) memaksakan film yang di inisiasikan Kepolisian tersebut.

Semoga menjadi film dokumenter yang bernilai sejarah. Tidak perlu ada 1500 orang dan 4500 orang wajib menonton di tiap Kabupaten dan Kotamadya seluruh Indonesia. Bersainglah dengan film lain secara sportif. Jika kewajiban dan mobilsasi dilakukan, lalu apa bedanya dengan penjelasan diatas.

Tapi kita tetap sepakat bahwa terorisme harus diberantas, namun jangan menyudutkan bahwa terorisme ada di domain keagamaan saja. Teror terhadap keutuhan negara seperti di Papua harusnya bisa bersikap yang sama. Teror politik dengan transaksi permasalahan hukum harus dimusnahkan.

Dan teror ekonomi yang dilakukan mafia kartel harus di tumpas karena merekalah yang memainkan harga. Dan terakhir teror yang dilakukan bandar narkoba yang membunuh rakyat negeri ini, jauh lebih membahayakan.

***