Mudah memuji, juga gampang mencaci sambil tuding sana-sini. Begitulah saya. Dalam kasus Zohri, misalnya. Saya tersentak, terpukau, dan menyanjungnya.
Sejurus kemudian, untuk menunjukkan diri paling peduli, paling punya empati, saya merutuki ketiadaan bendera Merah Putih. Sejumlah pihak diprasangkai seolah tak peduli. Seolah cuma saya yang menyaksikan cuplikan video berdurasi beberapa menit itu yang paling peduli, paling nasionalis. Tak mau tahu kondisi yang terjadi sebenarnya.
Hal paling konyol, ketika Zohri tampak sudah mendapatkan Merah Putih, saya pun berfantasi dan menyebutnya bahwa itu sebetulnya bendera Polandia, meski negara itu tak ikut jadi peserta lomba.
Pemberitaan media kemudian berpindah, menyoroti kondisi rumah Zohri yang amat sederhana. Emosi saya langsung meledak. “Gila ya, pemerintah sama sekali gak peduli sama Zohri,” begitu saya merutuk. Saya alpa, bahwa seringkali seseorang memberikan yang terbaik, membuat prestasi, karena termovitasi oleh serba kekurangan, oleh keprihatinan hidupnya. Semua itu melecutnya untuk berlatih keras, berbuat yang terbaik!
[caption id="attachment_18685" align="alignnone" width="780"] Lalu Muhammad Zohri (Foto: Detik.com)[/caption]
Bak seorang filantropi sejati, saya mengusulkan agar menteri X memberi anu, menteri Y menghadiahi itu, dan seterusnya. Seolah saya yang paling paham apa yang harus diperbuat. Seolah saya yang paling tahu apa kebutuhan utama Zohri.
Hingga kemudian saya tersadar ada Bob Hasan. Sejak era 1980-an namanya identik dengan dunia atletik. Dialah pencetus "Bali Ten K" atau Bali 10 Kilometer. Lomba lari dengan hadiah paling besar kala itu, sehingga diminati para pelari dunia. Bob menggelar hajatan itu bukan sekedar ingin memasyarakatkan dan memajukan atletik, tapi juga dunia pariwisata kita.
Apa kaitan Bob Hasan dan Zohri? Rupanya dialah ‘Sang Dewa’ sebenarnya!
Tanpa banyak publikasi, dia yang meminta ke para pengurus atletik di daerah-daerah mencari bibit-bibit unggul atlet ke sekolah-sekolah. Zohri adalah salah satu yang disodorkan. Bob dan jajaran pengurusnya yang membinanya kemudian. Tak cuma memperhatikan kebutuhan fisik, gizinya, juga isi kepala, dan jiwanya.
Tanpa belas kasih dan campur tangan Bob Hasan, Zohri mustahil menjadi juara dunia. Kenapa? Dia tak mendapatkan visa dari kedutaan Finlandia, karena masalah kelengkapan administrasi.
"Dia hampir tak bisa berangkat karena anak yatim piatu. Saya yang mesti tanggung semua. Jika tidak, ya tidak dapat visa," kata Bob seperti diwartakan Detikcom. Lalu Ahmad Yani dan Saeriah, kedua orang tua Zohri sudah berpulang sejak anak bungsunya itu masih di bangku sekolah dasar.
Di tengah euforia, Bob segera menyadarkan kita, khususnya saya, agar tak memuji Zohri berlebihan. Sebab dalam beberapa pekan ke depan, atlet kelahiran Lombok Utara, 1 Juli 2000 itu harus menghadapi Asian Games. Dan tentu ditarget meraih medali emas.
Bob yang berpuluh tahun bergaul dengan para atlet paham betul, pujian berlebihan dapat melenakan si atlet. “Jangan dipuji-puji nanti kepalanya besar, jadi tegang, malah kalah," katanya.
Soal imbauan agar Zohri mendapatkan bonus, hadiah, dan sejenisnya, Bob menyatakan semua sudah dalam perhitungannya. Berkaca pada pengalaman di masa lalu, hadiah atau bonus tak akan diberikan gelondongan begitu saja, serta-merta.
Masa jaya seorang atlet biasanya amat singkat. Apalagi seorang Zohri masih tergolong amat beliau. Dia masih harus melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Karena itu, bonus untuk Zohri, bisa dicairkan hanya jika digunakan sebagai modal investasi. "Biasanya kami kasih tapi itu tabungan untuk hari depan. Seperti, Emilia Nova (atlet lari gawang dan sapta lomba). Dia mendapat bonus Rp 1 miliar. Tapi, dia tidak dapat ambil kecuali untuk usaha atau investasi," ujar Bob.
Makasih Pak Bob. Saya paham, Anda lebih paham untuk memberikan segala yang terbaik bagi Zohri. Juga atlet-atlet lain yang berprestasi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews