Menemukan Sisi Asketis Ahok

Kamis, 12 Juli 2018 | 16:29 WIB
0
635
Menemukan Sisi Asketis Ahok

Para pembenci Ahok akan selalu mengenangnya sebagai manusia bermulut kotor. Begitulah cara berpikir para penonton sinetron. Mereka terbiasa sekali nonton televisi gratis, yang diselang-seling dengan iklan mass product. Yang barangnya bisa gampang didapat di warung atau supermarket terdekat. Mereka sama sekali tidak memiliki kedalaman, tapi merasa paling pandai.

Sebuah laporan paling muthakir yang disampaikan mbak Arum Kusumaningtyas, yang beruntung diundang dalam forum terbatas Forum Sustainable Trade Index melaporkan bahwa posisi Indonesia masih sangat rendah dalam produktivitas masyarakat. Gen milineal yang melek dan akrab dengan teknologi informasi ternyata masih rendah untuk memanfaatkannya sebagai alat kerja. Kalah jauh dari Vietnam dan Srilanka, yang belum lama damai setelah sekian lama porak poranda akibat perang saudara.

Kita hanya tampak menonjol dalam sosial media, menunjukkan bahwa kita ini memang masih terbatas pada kultur resek, budaya iyik, crigis (untuk menunjukkan tukang ribut, tapi gak bermutu). Dan dalam suasana, sikon seperti itulah kita mempergunjungkan Ahok hari-hari ini.

Ia menolak bebas bersyarat, kemungkinannya jadi menteri bahkan cawapres. Yang membenci justru lebih riuh mempergunjingkannya, sembari masih tetap saja mengolok-olok perkawinannya yang berantakan. Dan bagian yang paling mengerikan, para suporter fanatiknya, sampai kepleset-pleset membelai dan menyanjungnya hingga menyamakannya dengan Gusti Yesus. Aih, aih....

Saya lebih suka membahas Ahok dari sisi dia menikmati masa-masa dia di penjara. Di mana ia sedang dicuci habis, sehabis-habisnya.

Dulu ketika Leo Tolstoy, sastrawan terbesar Rusia (dulu Uni Soviet), ketika dibebaskan dari Gulag (kamp kerja paksa), ia justru merasa tak bisa lagi menulis bagus. Ia rindu kembali ke rumah tahanan di Siberia yang dingin menggigit. Tapi sekaligus tungku panas yang memberinya energi, bahan bakar bagi kekuatan kreatif dan imajinatifnya.

Pun Pramoedya Ananta Toer yang rindu Pulau Buru, yang membuatnya bisa menghasilkan Tetralogi dahsyat Bumi Manusia.

Saya juga ingin menyebut Kahlil Gibran, yang banyak orang tidak tahu bagaimana ia justru menghasilkan karya-karya klasiknya saat tinggal di New York dan Paris. Justru saat hidupnya tampak berantakan dan kacau balau, patah hati berkali-kali. Saat ia kembali ke Beshari, tanah kelahiran di Lebanon, ia justru merasa terasing dan beku.

Bagi banyak orang baik (apalagi imajinatif), penjara itu tempat tetirah yang paling asyik. Jauh dari kesan menyeramkan apalagi tempat yang paling ingin segera ditinggalkan. Banyak orang salah paham, ketika Ahok ditempatkan di Kelapa Dua, dan bukan di Cipinang. Konon kalau di Cipinang, mungkin ia telah lama dibunuh. Lebay! Justru di Kelapa Dua-lah ia bisa melakukan banyak hal secraa jernih dan itu adalah dengan menulis.

Konon selama lebih dari setahun ini, ia telah menghasilkan tiga buku. Jumlah yang tidak sedikit untuk seorang yang tidak biasa menulis.

Coba bandingkan dengan para maling duit negara itu? Mereka bikin warung di dalam penjara, di mana mereka ingin memindahkan suasana rumah di balik jeruji besi. Itulah watak masyarakat kelas kambing: memelihara kebodohan bahkan sampai ke rumah prodeo!

Ahok tidak!

Tak lama setelah ia masuk penjara, ia ikhlas menceraikan istrinya. Saya yakin, ia telah lama tahu "preseden busuk" itu. Tapi tentu ia bersabar!

Bagi pembencinya itu double kesialan, hukuman ganda. Tapi bagi orang yang bening sanubari: ya begitulah cara membersihkan diri!

Selama di penjara, ia tidakk merepotkan siapa-siapa, tidak pernah kasak-kusuk. Ia tidak lagi berbicara politik, tak sekalipun ia terlihat mau diwawancarai televisi, tak sekalipun ia mengomentari orang-orang yang telah menggiringnya masuk penjara. Bahkan yang paling mulia, tak sekalipun ia mau berbicara tentang hasil kerjanya, apalagi kedua penggantinya yang terbukti hanya para pemburu kuasa dan alat balas dendam belaka.

Apa yang dilakukan para pembenci Ahok itu seolah menggelindingkan bola salju, yang mula-mula kecil, tapi terus membesar tanpa mereka mau. Kita harus berterimakasih kepada mereka, selama mereka masih mengatakan Ahok sebagai penista agama, justru merekalah yang sedang merendahkan agama sendiri!

Selama mereka mengatakan Ahok pelindung pengusaha reklamasi, berati mereka sedang melakukan negosiasi bagi untung dengan mereka. Jadi untuk para supporter setia Ahok, para Ahokers sekali-kali pahamilah rasa sakit yang terus mendera para haters Ahok: mereka sedang meninju angin, berkelahi dengan bayangannya sendiri, dan yang terburuk sedang merusak akal sehatnya sendiri tanpa lelah. Matian-matian untuk menutup hati nuraninya sendiri.

Dan kalian masih mengejeknya. Kalian itu kejam! Jauh lebih jahat Huh!

Saya pikir, Ahok itu tidak sedang kehilangan apa-apa, ia enjoy sekali di penjara. Apa yang sedang dilakukan Ahok saat ini adalah belajar sisi asketisme dalam hidup. Apa itu asketisme? Ia sedang berusaha mencari jati dirinya dengan menentang, melawan arus yang bercirikan segala hal keduniawian.

Ia sedang banyak berpantang, melakukan banyak penyangkalan, dan terus menerus belajar memaafkan. Ia mungkin sudah tidak butuh lagi jabatan, tidak butuh sorak sorai dielu-elukan, tak butuh disalibkan apalagi menyalibkan orang lain. Ia tidak sedang menanggung dosa orang lain. Ia tidak rindu lagi pada apa-apa, kita yang merindukannya setengah mati!

Jadi gambar di atas itu salah, norak, dan lebay sekali. Provokatif, intimidatif dan justru merendahkan sisi-sisi baik Ahok! Sisi asketisme Ahok!

Cih!

***