Salafi dan Hizbut Tahrir dalam Diskursus Politik Islam Internasional

Rabu, 27 Juni 2018 | 16:33 WIB
0
778
Salafi dan Hizbut Tahrir dalam Diskursus Politik Islam Internasional

Jika Anda muslim yang cerdas.

Maka jangan terlalu banyak ngurusin salafi dan kawan kawannya.

Ada tidak adanya mereka gak ngaruh banyak dalam perkembangan politik umat Islam, ikuti aja pengajiannya.

Ambil yang baik ilmunya, tinggalkan yang meragukan, jangan dengar fatwa mereka khususnya masalah politik dan negara.

Salafi sendiri kalau dalam tesis politik internasional punya 2 blok: Blok salafi literalism dan blok salafi reformism, di Indonesia mayoritas mereka adalah salafi literalism, hanya di Mesir ada salafi reformism.

Tapi meskipun begitu, baik salafi literalism maupun salafi reformism, jika merujuk ke tesis nya Prof Tariq Ramadhan, kedua jenis salafi ini gak banyak membawa maslahat buat umat Islam kecuali sebatas taklim semata, di luar taklim, terkhusus masalah negara dan politik, mereka justru lebih banyak mudhorot ketimbang manfaat.

Oleh sebab itu, umat Islam dan sarjana Islam jangan terlalu banyak ngurusin mereka, secara jumlah pun, kalau digabung antara kelompok salafi literalism dan salafi reformism, jumlah mereka tidak sampai 10 juta pengikut di seluruh dunia.

Jadi, jangan buang energi, para sarjana dan para ulama juga pemikir Islam fokus saja ngurusin agama dalam bingkai politik, dan politik dalam bingkai agama tanpa dipisah pisah, sampai agama dan politik benar benar berdaulat, abaikan semua fatwa mereka dalam hal politik dan tatanegara.

Begitu juga masalah dengan Hizbut Tahrir, jangan terlalu banyak mengurus mereka, hampir sama dengan salafi, Hizbut Tahrir juga tidak banyak membawa maslahat dalam kehidupan politik umat Islam dunia dan Indonesia khususnya, makanya wajar Hizbut Tahrir sampai saat ini sudah dibubarkan di lebih 17 negara di dunia.

Dalam tinjauan lebih dalam lagi, mereka justru menjadi residue dan anti tesis politik Islam, dan jika bisa, dan atau kalau gak mau disebut sebagai "pengganggu" perjuangan umat dalam politik.

Konsep khilafah yang disepakati ulama Islam dunia hari ini juga bukan konsep khilafah ala Hizbut Tahrir, jadi pemahaman ini mohon agar jangan dibuat kabur, dalam fikih demokrasi, bentuk khilafah Islam bisa saja dalam bentuk federalisme atau negara konfederasi, jadi konsep khilafah ala HT bukan konsep final yang harus dipaksakan bagi semua umat islam era sekarang.

Baik salafi atau Hizbut Tahri bukanlah kelompok yang spesialis bisa berbicara tentang politik dan demokrasi, apalagi legitimate bicara masalah khilafah, mereka gak punya perangkat yang cukup untuk mewakili umat Islam dalam hal ini.

Salafi maupun HT dalam ranah politik Islam internasional, justru lebih tepat disebut sebagai gerakan revivalisme Islam ketimbang sebagai gerakan politik atau gerakan pemikiran Islam, apalagi disebut sebagai gerakan politik Islam, kalau mereka gak mau disebut gerakan politik, seharusnya mereka tidak menyentuh tema khilafah, karena tema khilafah adalah tema politik tanpa dualisme makna.

Salafi maupun HT kalau di analisa dari daerah kelahiran mereka Arab Saudi dan Yordania sejak awal, justru adalah bukan termasuk kelompok yang punya fokus dalam hal politik dan demokrasi, secara jumlah pun, HT seluruh dunia tidak memiliki pengikut yang besar, angkanya di bawah 3 juta follower saja.

Maka jangan heran, konsep mereka tentang bentuk pemerintahan Islam jangka panjang mereka gak punya dan tidak jelas, khususnya tentang tema khilafah dan demokrasi, mereka justru sangat buram dalam hal ini, padahal dua tema ini adalah tema sangat besar dalam internal umat Islam hari ini.

Oleh karena itu, jangan terlalu banyak membuang waktu untuk membahas mereka, berdebat dengan mereka, bernarasi dengan mereka, ataupun punya banyak waktu mengkonter mereka, akan mubazir.

Fokus saja berjuang membesarkan Islam politik sebagai payung paling legitimate umat Islam zaman sekarang di dunia, Islam politik model AKP Turki, FJP mesir, An Nahdhah Tunisia, Al Ishlah Yaman, FJD Maroko, PKR Malaysia atau Model PKS Indonesia.

Diskurus ini harus lebih kita fokuskan, tidak ada diskresi, toleransi, dan negosiasi yang lebih lanjut, ini sifatnya mutlak dan darurat jika umat islam benar benar ingin besar, kuat dan berdaulat dalam menghadapi blok besar kebatilan Barat, Eropa, Zionis disisi kiri. juga kaum lieberal dan sekuler disisi kiri jauh.

***

Tengku Zulkifli Usman,

Analis GeoPolitik Dunia Islam Internasional, Jakarta.