Kekuasaan seringkali membutakan segalanya, jadi mempertahankannya adalah sebuah keharusan. Segala carapun dilakukan. Tak peduli dahulu adalah musuh politik jika itu demi kepentingan kekuasaannya tak mengapa asalkan bisa melanggengkan kekuasaan tersebut.
Jelang pilpres 2019 yang akan datang, elektabilitas Jokowi masih tertinggi dibandingkan dengan lainnya bahkan survei terakhir dari berbagai lembaga elektabilitasnya hampir mencapai 60 persen.
Namun ada semacam ketakutan yang melanda di tubuh penguasa dan partai pendukung dengan maraknya gerakan #2019GantiPresiden yang semakin hari menjadi semakin "booming". Dari sumber data #2019GantiPresiden dan varian hashtagnya yang cuap-cuap di Twitter sudah mencapai 63.817 dan #Jokowi2Periode dengan varian hashtagnya mencapai 17.110 per 17 April 2018.
Sementara di Facebook #2019GantiPresiden mencapai 110.000 dan #Jokowi2Periode mencapai 18.000 per 10 April 2018 dengan berbagai variannya.
Tagar #2019GantiPresiden sangat marak dan masif sejak Presiden Jokowi menanggapinya saat pertemuan dengan para pendukungnya di Bogor dengan mengatakan, "Masa kaos bisa ganti presiden?"
Kenaikannya hingga mencapai 300% sejak #2019GantiPresiden dimunculkan awal Januari 2018 padahal #Jokowi2Periode sudah duluan dimunculkan sejak 2017.
Inilah ketakutan awal pemerintah Jokowi yang selanjutnya mengajak Ali Mochtar Ngabalin untuk bergabung sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP) di bawah naungan Jenderal purnawirawan, Moeldoko padahal dulunya beliau tim sukses Prabowo pada pilpres 2014.
Seorang tokoh Amien Rais pun tak lepas dari pujian yang menurut saya juga sebagai bentuk ketakutan yang sedang menghantui seorang Jokowi, belum lagi dengan menggandeng aktivis 212 yang diundang khusus ke Istana sampai akhirnya di hari Raya Idul Fitri pemerintah mengeluarkan SP3 terhadap kasus Habib Rizieq Shihab (HRS).
Ini menunjukan ada langkah politik untuk menarik simpati rakyat Indonesia untuk memilihnya padahal adalah bentuk rasa ketakutan yang sedang menggerogoti tubuh pemerintah. Oposisi yang sejak berakhirnya pilpres 2014 sudah solid untuk kemenangan 2019 terus berusaha dengan sekuat tenaga dan telah siap untuk Pilpres 2019.
Tidak menutup kemungkinan oposisi bisa memenangkan pesta demokrasi di tahun 2019, jika pemerintah dan pendukungnya hanya berkutat dengan menanggapi kritik tanpa ada inovasi baru untuk mempertahankan kekuasaannya, merangkul semua demi melanggengkan kekuasaan bukan jaminan kemenangan, namun ketakutan yang terus menerus akan menjadi do'a yang terkabul.
Isu ekonomi yang terus bergerak turun di tingkat bawah, juga membanjirnya tenaga asing di Indonesia jika tidak ditangani secara serius bisa jadi menjadi ancaman serius bagi pemerintah untuk bisa memenangkan Pilpres 2019, ancaman dolar dan pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan dari awal pemerintahan Jokowi sampai saat ini padahal untuk menyelesaikannya butuh tidak lebih dari setahun bisa jadi juga pemicu kekalahan pemerintah di Pilpres 2019 yang semakin hari semakin terasa dekat.
Jokowi dari awal pemerintah seakan-akan hanya berkutat dengan lobi-lobi politik semata sampai-sampai janjinya tidak bisa terpenuhi. Mungkin infrastruktur saja yang baru terpenuhi dengan segala kekurangannya sebab belum terasa manfaatnya langsung bagi pertumbuhan ekonomi kita.
Sambil berharap ada yang tulus mau memimpin negeri ini dengan berbagai ketertinggalannya bukan yang tulus semata karena kekuasaan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews