Seorang tersangka memang dapat di SP3. Kasusnya bisa dihentikan kalau kurang bukti. Itu kata kata aturan hukum. Sampai di sini saya setuju saja, gak ada yang harus diperdebatkan.
Tapi ketika mendengar kasus chat mesum Rizieq di SP3, ada rasa muak yang saya rasakan. Bukan apa-apa. Firza orang yang jadi objek sudah ditetapkan sebagai tersangka juga. Dia melakukan chat mesum dan melepas bajunya untuk lawan chatnya.
Nah, kini lawan chatnya secara hukum gak terbukti. Lalu kita berkesimpulan Firza memang horny sendirian melepaskan bajunya dan foto-foto sendiri. Entah untuk siapa.
Alasan polisi gak bisa menemukan penyebar chat dan foto porno itu sungguh gak masuk akal sama sekali. Banyak kasus yang menjelaskan kemampuan tim Cyber Polri punya kemampuan seperti itu kalau mereka mau. Persoalannya, mau gak?
Entah apa yang menjadi alasan Polisi sebenarnya.
Jadi sudahlah, Pak Polisi. Gak usah ngomong kasus ini bisa dibuka lagi kalau ada bukti baru. Wong menelisik yang lama saja ada kesan ogah kok, apalagi nanti mau membuka kasus ini lagi. Gak usah basa-basilah.
Akhirnya, dengan SP3 kasus ini, Polisi seperti mencoreng wajahnya sendiri. Ini bisa dianggap sebagai bukti tudingan bahwa memang ada kriminalisasi ulama.
Coba pikirkan. Rizieq sudah dinyatakan tersangka, berkali-kali statemen polisi menjelaskan bukti itu valid, lalu keluar juga daftar DPO. Eh, tetiba kasusnya di-SP3 karena kekurangan bukti. Lha, selama ini mereka mengeluarkan statemen meyakinkan tentang kasus itu buat apa?
Kalau GNPF menuding ada kriminalisasi rasanya wajar. Emang kesan yang ditangkap publik begitu. Mau gimana?
Jadi kita gak perlu memendam kekecewaan dengan berkata bahwa ini murni koridor hukum. Kalau murni koridor hukum, buat apa polisi kemarin mengeluarkan statemen meyakinkan kita bahwa kasus ini valid. Buktinya jelas. Lho, sekarang tetiba berbalik arah.
Publik sekali lagi disuguhi permainan gak menarik. Norak dan koplak.
Yang bisa diingat adalah, hukum di Indonesia terkesan takut dengan tekanan masa. Ini membuat kepercayaan orang pada hukum melorot. Jika kepercayaan masyarakat pada tertib hukum anjlok, gak akan banyak guna juga infrastruktur yang kita bangun.
[irp posts="15784" name="Aa Gym, Habib Rizieq, Ustad Abdul Somad, dan PKS"]
Lalu apakah dengan kondisi SP3 ini, saya berubah haluan politik? Kayaknya rasionalitas saya masih berkata, saya harus tetap berdiri sebagai pendukung Jokowi. Sampai saat ini belum ada pilihan lain yang lebih baik untuk masa depan bangsa ini. Tapi bukan berarti saya harus melecehkan rasionalitas saya dengan memandang keluarnya SP3 itu semata persoalan teknis hukum.
Bagi saya nuansa keluarnya SP3 Rizieq adalah hasil pergumulan kepentingan yang terjadi di lorong-lorong gelap hukum. Ada banyak sisa pertanyaan yang menggantung.
Begini penilaian saya tentang pemerintahan ini. Pembangunan ekonomi, bagus. Soal pertahanan, ok. Soal politik luar negeri, great. Kebudayaan dan pengembangan SDM, perlu lebih serius.
Tapi soal penegakkan hukum? Hmmm..., gimana kalau dikasih nilai memble? Ini yang perlu terus kita desakkan. Sebab kekuasaan, bagaimanapun, tetap butuh kontrol yang sehat.
"Mbang, setelah dapat SP3, Rizieq bisa dicalonkan jadi Presiden?" tanya Abu Kumkum kepada Bambang Kusnadi.
"Kalau saya lebih mendukung Ariel Peterpan atau Aryo. Tapi mereka emang mau jadi Capres?" jawab Bambang kalem.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews