Perlu Perjuangan Ekstra Melaksanakan Sahur di Norwegia

Rabu, 13 Juni 2018 | 19:01 WIB
0
667
Perlu Perjuangan Ekstra Melaksanakan Sahur di Norwegia

Alhamdulillah sejauh ini puasa kami sekeluarga lancar. Meski Norwegia sempat dilanda heatwave dengan suhu mencapai 30 Celcius selama hampir seminggu, akhirnya hari ini kembali normal di kisaran 19 Celcius. Alhamdulillah, alla kulli haal.

Tahun ini iklim musim panas Norwegia memang agak istimewa. Kami sempat merasa seperti di Indonesia dengan suhu panas yang cukup lembab. Bedanya kalau kami jalan ke pusat kota, kami harus siap dengan pemandangan orang berbaju sangat minim sambil menikmati matahari dan es krim. Insyaa Allah nggak akan tergoda, sih. Cuma harus menundukkan pandangan aja.

Keistimewaan lainnya adalah tahun ini kami menjalani puasa Ramadhan sebulan penuh di sini. Ini bakal jadi pengalaman pertama buat Fatih berlebaran di negeri orang. Kalau kami, terakhir berlebaran jauh dari tanah air adalah tahun 2003 ketika masih di Leeds, Inggris.

Bagaimana suasana Lebaran di sini, kami juga penasaran.

Satu hal yang saya syukuri sepanjang Ramadan ini adalah kami tak pernah melewatkan sahur, meski sebenarnya bangun sahur adalah perjuangan tersendiri.

Biasanya kami selesai semua sholat (maghrib, isya', dan tarawih) sekitar jam 12 tengah malam. Karena kami tidak terbiasa tidur siang, maka setelah semua sholat tadi kami berusaha untuk langsung tidur.

Saya bangun lagi jam 2 dinihari. Sholat tahajjud, witir, dan menyiapkan sahur, lalu saya akan makan duluan. Setelah itu baru saya bangunkan Fatih dan Pak Suami.

Sebetulnya saya kasihan dengan Pak Suami dan Fatih, karena dengan puasa yang panjang ini tidur mereka jadi sangat kurang (tapi kita memang disarankan nggak banyak tidur selama Ramadhan, kan). Pasti berat sekali bangun setelah tidur malam hanya 2-3 jam.

Fatih seringkali makan sambil memejamkan mata. Bukan karena saking enaknya makanan, tapi karena memang sangat ngantuk. Dia akan menyuap makanan ke mulut, lalu mengunyah dalam keadaan terpejam. Begitu terus sampai makanan habis.

Tiap hari. Kadang dia lupa menyendokkan makanan di piring, tapi langsung memasukkan tangannya ke mulut. Lalu dia kaget sendiri.

Lumayan sahur selalu ada hiburan.

Trik agar tidak terlewat sahur meski tidur minimal dan cuma dibantu alarm (4 kali berselang 3 menit) adalah saya selalu berdoa yang kencang agar Allah berkenan membangunkan saya sahur.

Karena kalau terlewat sahur bukan cuma lapar haus dan lemaz akibatnya.

Tapi kami juga akan melewatkan keberkahan yang ada dalam ritual sahur.

Nabi Muhammad sangat menganjurkan sahur meski hanya dengan segelas air putih. Sahurpun sebaiknya agak di akhir waktu (meski jangan terlalu mepet juga, sih).

Saya jadi ingat kebiasaan sahur ketika saya kecil di Dumai dulu. Almarhum ayah selalu tidur paling akhir karena beliau memang selalu berkutat dengan urusan kerja di meja kerjanya hingga larut malam. Maka setelah beliau selesai kerja, kami akan dibangunkan sahur sekitar jam 12 malam.

Biasanya ibu akan menyiapkan sahur (memanaskan hidangan, mengatur meja), dan membangunkan ketiga anaknya. Kami akan sahur sampai jam 1 dinihari, lalu tidur dan bangun lagi untuk sholat subuh.

Ritme itu sempat kami jalani selama belasan tahun, dan baru berhenti ketika kami anak-anaknya mulai merantau di kota lain.

Ah... Those good old days.

Jadi begitu cerita hari ini.

Ramadan kurang 9 hari lagi.

Dia akan terus berlari pergi.

Jangan mau rugi.

Ibadah dan doa tetap semangat sepenuh hati.

Semoga kemuliaan Laylatul Qodr bisa kita miliki.

***