Dilihat dari sudut manapun, apa yang dilakukan massa berseragam PDIP terkait pemberitaan tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, yang isinya menyinggung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Laskar Pembela Islam (LPI) yang merupakan sayap dari Front Pembela Islam (FPI) tentang karikatur yang dianggap menghina Rizieq Shihab, sama saja alias sami mawon.
Bedanya, massa berseragam PDIP menggeruduk kantor Radar Bogor, sementara massa LPI mendemo kantor Majalah Tempo di kawasan Palmerah. Bedanya lagi, massa berseragam PDIP merasa ketua umumnya dihina sedemikian rupa atas pemberitaan Radar Bogor, sementara massa LPI merasa majalah Tempo telah menghina imam besarnya lewat karikatur.
Yang menyamakan tindakan keduanya adalah sama-sama bertindak di luar jalur hukum, di luar jalur media dan cenderung persekusi. Padahal, keberatan atas pemberitaan media massa resmi bisa dilakukan lewat hak jawab yang wajib dimuat media. Jika hak jawab tidak bisa ditempuh, maka jalur "perdamaian" ditempuh di Dewan Pers. Jika masih mentok juga, barulah hukum bicara.
Dan, apa yang dilakukan baik oleh massa berseragam PDIP yang menggeruduk kantor Radar Bogor dan massa LPI yang mendemo kantor majalah Tempo disertai ultimatum, sama-sama dilakukan di luar hukum.
Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto, biasa dipanggil Bambang Pacul, di Jakarta, Kamis 31 Mei 2018, terkesan menyalahkan Radar Bogor dengan mengatakan, Radar Bogor tidak paham dengan apa yang diberitakannya. "Radar Bogor memberitakan kayak gitu di Jawa Tengah, saya khawatir itu kantornya rata dengan tanah," katanya.
Jelas, ada ancaman atau setidak-tidaknya menakut-nakuti dalam pernyataan Ketua DPD PDIP Jateng ini. Ia menyebut Megawati Soekarnoputri, sang ketua umum, bukan sekadar ketua umum di partai, melainkan sudah seperti seorang Ibu di partai.
Sehingga, ada ikatan emosional antara kader partai dengan Megawati. Bambang menyebutnya sebagai Ibu Kita. "Kalau ibu kami itu dihina dan dilecehkan, kira-kira apa yang terjadi pada kau?" katanya dengan nada bertanya.
Bambang menyesalkan pemberitaan Radar Bogor yang menurutnya tidak berimbang karena tanpa penjelasan yang komprehensif terkait dengan pemberitaan yang menyebutkan hanya dengan goyang-goyang kaki saja Megawati mendapat Rp112 juta dari uang rakyat. Jika pemberitaannya seperti itu, kata Bambang, Radar Bogor bisa menyusahkan PDIP.
Pertengahan Maret 2018 lalu, aksi massa dilakukan dengan mendatangi kantor majalah Tempo karena FPI merasa majalah itu telah melecehkan imam besar mereka, yaitu Rizieq Shihab melalui sebuah karikatur dalam Majalah Tempo edisi 26 Februari 2018.
Saat itu Komandan LPI Maman Suryadi mengatakan pihaknya berencana menduduki kantor Majalah Tempo ayng ia nilai perlu dilakukan bilamana pemimpin redaksi Majalah Tempo tidak mau menemui perwakilan peserta aksi untuk menjelaskan maksud karikatur. Maman menyebut massa yang akan menggeruduk kantor majalah Tempo 500 sampai 1000-an orang.
Aksi massa LPI alias FPI menuntut dua hal; pertama, meminta pemimpin redaksi Majalah Tempo agar memberi penjelasan terkait karikatur yang bernada melecehkan Rizieq Shihab, kedua, pemimpin redaksi harus meminta maaf dan mengakui telah berbuat salah karena memuat karikatur bernada melecehkan Rizieq. Permintaan maaf harus dipublikasikan dalam satu halaman di majalah Tempo.
Selain itu, Pemimpin redaksi Majalah Tempo juga harus membuat surat pernyataan berisi pengakuan telah berbuat salah di atas materai Rp6 ribu.
Dari dua kasus yang sama-sama melibatkan aksi massa dan sama-sama menggunakan kekuatan kelompok penekan dengan objek yang sama, yaitu media massa, keduanya menempuh cara "di luar" hukum yang berlaku. Padahal sesuai peraturan perundang-undangan, tahap-tahap keberatan, melalui mediasi Dewan Pers, sampai ke tuntutan hukum diatur dengan jelas.
PDIP seharusnya yang lebih tahu soal hukum, sebab anggotanya ada di parlemen yang bersama pemerintah membuat Undang-undang, termasuk undang-undang yang mengatur seluk-beluk pers atau penyiaran. Bahkan kalau hal itu terjadi melalui media online atau media sosial, sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Namun, cara persekusi model Ormas rupanya masih diminati oleh PDIP yang lebih tahu undang-undang.
Meninggikan derajat tokoh atau seseorang yang ditokohkan adalah hak segala bangsa. PDIP memuja Megawati, FPI memuja Rizieq Shihab, itu boleh-boleh saja.
Yang harus dihindari adalah, pengkultusindividuan semacam itu tetap jangan mengabaikan hukum yang berlaku. Toh kalau tokoh yang dipujanya dianggap dihina atau direndahkan, maka terbuka jalur hukum untuk mereka tempuh, bukan main persekusi dan asal geruduk.
Ala kadarnya saja kalau memuja atau memuji sosok manusia. Namun, sepenuh hati dan imanlah dalam memuja Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Setuju, Bro?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews