Beda Menghina Imam Besar dengan Menghina Presiden RI

Kamis, 31 Mei 2018 | 14:03 WIB
0
977
Beda Menghina Imam Besar dengan Menghina Presiden RI

Menyandang nama Imam Besar atau tokoh agama yang sangat dihormati alias disegani oleh pengikutnya menjadikan keuntungan tersendiri bagi sang tokoh, yaitu Rizieq Shihab.

Habib Rizieq, demikian sosok ini biasa dipanggil, yang saat ini masih menyepi di Arab Saudi, sekalipun nan jauh di sana tetapi banyak tokoh-tokoh yang mendatanginya baik sekedar silaturahmi atau minta dukungan politik. Karena pesan dan kata-katanya sangat di dengar oleh para pengikutnya.

Di mata para pengikutnya, Rizieq adalah tokoh ulama kharismatik yang sangat dihormati dan tidak boleh dicela, dijelek-jelekan, atau digambarkan yang buruk tentang dirinya. Kalau ada orang berani mencela, mengkritik atau menghina bisa-bisa ketentraman jiwanya tidak akan selamat, paling minimal kena perkusi. Para pengikutnya sangat loyal dan militan. Siap bergerak kapan saja.

Para pengikutnya sangat menjaga marwah atau kehormatan sang Imam Besar, mirip seperti "Ratu Lebah Madu" yang selalu dilindungi oleh lebah pekerja dan lebah prajurit. Ia siap menjaga 24 jam penuh.

Seperti yang pernah terjadi belum lama ini, yaitu "Tempo" yang membuat karikatur seorang yang duduk menghadap ke belakang dengan seorang wanita, tetapi memakai sorban dan disertai kata-kata rindu atau kangen. Gara-gara karikatur itu, para pengikutnya tidak terima dan karikatur itu seakan ditujukan kepada Habib Rizieq yang bersifat menghina atau melecehkan sang Imam besar.

Kantor "Tempo" akhirnya didemo oleh ribuan orang dan memaksa masuk ke kantor Tempo untuk ketemu dengan pimpinannya. Di situ para pendemo memaksa pimpinan Tempo untuk meminta maaf atas terbitnya karikatur itu. Bahkan suasananya sangat mencekam karena disertai kata-kata ancaman.

Dan beberapa hari lalu media online Kumparan menurunkan berita Liputan Khusus tentang Habib Rizieq dengan judul atau bertajuk "Menjinakkan Rizieq". Gara-gara judul ini hampir saja wartawan dan media Kumparan mau dilaporkan ke pihak yang berwajib.

Lewat  Bendahara Umum Tim Pembela Ulama dan Aktifis (TPUA), Elidanetti SH menyatakan keberatan atas Liputan Khusus Kumparan, Senin 28 Mei 2018 yang berjudul "Menjinakkan Rizieq". Kata-kata "menjinakkan" ini yang dianggap oleh TPUA karena dianggap kata-kata yang tidak pantas yang ditujukan untuk Imam Besar. Dan kata menjinakkan hanya pantas ditujukan untuk hewan atau binatang.

"Kata jinak" mestinya hanya ditujukan kepada binatang atau pada kalimat menjinakkan sesuatu seperti bom. Jangan kepada ulama besar seperti Habib Rizieq. Itu tidak pantas," kata Elidanetti.

Pihak Kumparan pun menjelaskan bahwa kata menjinakkan tidak ada maksud buruk, merendahkan atau melecehkan kepada Habib Rizieq. Kata "menjinakkan" dipilih karena ada usaha intens dari pihak pemerintah mendekati Habib Rizieq dan berkomunikasi denganya lewat perantara atau mediasi.

Karena pihak Kumparan sudah menjelaskan maksud kata "menjinakkan" dan meminta maaf atas liputan khususnya, maka pihak TPUA juga menganggap masalah ini clear dan tidak dibawa ke jalur hukum.

Belajar dari kasus di atas, masyarakat harus berhati-hati kalau tidak ingin timbul masalah hukum kalau berani menyinggung nama Habib Rizieq yang bersifat mencela, mengkritik atau atau kata-kata yang bisa menimbulkan tersinggung. Yang marah sebenarnya bukan Habib Rizieq nya, tetapi yang marah adalah pengikutnya.

Habib Rizieq sendiri tidak pernah melaporkan atas kata-kata mungkin yang tidak pantas yang ditujukan kepada dirinya. Yang melaporkan adalah pengikutnya, karena yang bersangkutan dianggap ulama besar.

Nah, sekarang dalam rancangan KUHP ada pasal tentang penghinaan kepada kepala negara. Banyak masyarakat yang protes tentang pasal tersebut karena dianggap tidak demokratis dan antikritik dari masyarakat. Dan minta pasal penghinaan itu dihapus dari rancangan KUHP tersebut.

Dan minta kasus penghinaan kepada kepala negara menjadi delik aduan, yang artinya kalau kepala negara merasa keberatan karena ada masyarakat yang menghina atau melecehkan dirinya untuk melapor kepada pihak penegak hukum, dalam ini pihak kepolisian. Ini juga aneh, masa' seorang presiden atau kepala negara melaporkan masyarakat atau rakyatnya sendiri kepada polisi, kurang kerjaan saja.

Seorang kepala negara adalah simbol negara yang dilindungi oleh undang-undang, maka makan saja tidak seperti masyarakat biasa, harus diperiksa olek tim dokter.

Sedangkan tokoh agama atau ulama yang notabene bukan seorang kepala negara atau penjabat, ketika dikritik atau sedikit dicela, yang marah atau bertindak adalah para pengikutnya. Bahkan mereka siap menjemput paksa kepada masyarakat yang telah menghina atau melecehkan kepada tokoh agama yang dianggap sebagai ulama atau junjungannya. Aneh bukan?

Kalau menghina kepala negara itu dianggap bagian dari kritik, sedangkan kalau menghina kepada tokoh agama dianggap melecehkan dan menghina ulama. Kalau kepala negara atau presiden disuruh melaporkan sendiri kepada polisi. Sedangkan kalau tokoh agama atau ulama pengikutnya bebas bertindak yang cenderung persekusi. Kenapa tidak tokoh agama itu sendiri yang melaporkan kepada polisi?

Bisahkan kita berlaku adil?

***