Harusnya Pemerintah Pikirkan Jangan Sampai Guru Honorer Gigit Jari

Senin, 28 Mei 2018 | 09:47 WIB
0
618
Harusnya Pemerintah Pikirkan Jangan Sampai Guru Honorer Gigit Jari

Bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah, apalagi bagi ASN/PNS, TNI, POLRI dan pensiunan, mereka mendapat gaji ke-13 plus THR.

Bahkan untuk seorang guru SMU/SMK dengan status ASN/PNS dan mempunyai serfitikasi bisa membawa gaji atau pendapatan sebesar 20 juta sampai dengan 25 juta. Rinciannya: gaji ditambah tunjangan sertifikasi, ditambah lagi dengan gaji ke-13 atau THR. Nikmat mana lagi yang kau dustakan!

Sekedar informasi: guru di DKI Jakarta gaji terendahnya adalah 13 juta, ini berdasarkan informasi dari mantan gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Nikmat mana lagi yang kau dustakan!

Tapi bagamana nasib guru honorer? Sesuai dengan namanya honor, guru honorer hanya mendapat upah ala kadarnya dan dari kemampuan keuangan sekolah. Kalau sekolah berniat baik dan bermurah hati, kadang honornya dibayar dengan lancar. Tapi kalau tidak ada kadang guru honorer harus "nombok" dengan uang sendiri.

Bagi ASN/PNS bulan Ramadan benar-benar bulan penuh berkah, tapi bagi guru honorer bulan Ramadan adalah bulan penuh kesabaran dan tidak boleh iri dingki atau harus "nerimo ing pandum".

Para guru honorer sebenarnya loyalitas dan kreativitas dalam mengajar tidak diragukan, dan kadang lebih baik guru honorer dalam mengajar dibanding guru yang dengan status ASN/PNS.

Bahkan sering kali guru honorer ini sering disuruh mengajar oleh guru yang statusnya ASN/PNS, sedangnya guru yang harusnya mengajar itu malah leha-leha.Ini juga menurut mantan gubernur Basuki Tjahajaa Purnama. Guru dengan status ASN/PNS sibuk nenteng foto copy sertifikasi untuk mencairkan tunjangannya. Jadi tidak fokus untuk mengajar tapi lebih fokus tentang pencairan tunjangan sertifikasi.

Dan guru dengan status ASN/PNS kadang banyak yang gaptek dengan teknologi, seperti penggunaan komputer atau email, dan yang sering di suruh mengerjakan biasanya adalah guru honorer untuk membantu.

Para guru dengan status ASN/PNS kalau sudah nyaman tidak mau untuk dimutasi ke wilayah atau daerah lain.

Honor yang diterima oleh guru honorer kadang tidak manusiawi untuk ongkos transportasi saja tidak cukup. Harusnya kalau memang tidak bisa diangkat sebagai ASN/PNS, minimal honornya sesuai dengan Upah Minimum Regional atau UMR. Sama pekerja buruh pabrik saja honor guru honorer kalah jauh.

Padahal para guru honorer sudah mengabdikan dirinya untuk mengajar ada yang sampai puluhan tahun, bahkan ada yang mendekati usia pensiun juga belum diangkat sebagai PNS.

Untuk mengangkat guru honorer menjadi ASN/PNS harus mengikuti test dengan batas usia tertentu dan masa lamanya menjadi guru honorer, dan itu pun belum tentu lolos menjadi ASN/PNS. Para guru honorer harus bersaing atau berebut dengan anak-anak yang baru lulus kuliah,yang mana pikiran masih segar untuk mengerjakan soal-soal yang sifatnya teori. Dan akhirnya guru honorer kalah bersaing dengan pencari kerja yang baru lulus kuliah.

Pemerintah suka berdalih karena tidak bisa mengangkat para guru honorer tanpa test, karena ada aturan yang mengaturnya. Tapi kalau ada niat baik dari pemerintah sebenarnya bisa dicari solusinya. Seperti test yang sifatnya hanya formalitas.

Pengabdian dan loyalitas para guru honorer tidak usah diragukan mereka bentul-betul menghabiskan waktunya hanya untuk mengajar.

Seragamnya sama antara guru ASN/PNS dengan guru honorer, mengajarnya juga sama, tetapi nasib dan penghasilanya berbeda jauh. ASN/PNS bisa tersenyum lepas karena mendapat gaji ke-13 dan THR, tetapi guru honorer hanya gigit jari dan merenungi nasibnya yang bertahun-tahun belum ada perubahan.

Mudah-mudahan pemerintah memikirkan nasib para guru honorer dan mencari jalan supaya para guru honorer bisa menjadi ASN/PNS. Toh masih banyak di daerah terpencil yang kekurangan guru.

***