Ada dua musuh besar yang merusak masa depan bangsa ini: Narkoba dan Radikalisme Agama. Keduanya meracuni otak dan mental masyarakat, merusak kemanusiaan dan menimbulkan kerusakan parah.
Negara-negara yang dikuasai kedua virus ini mengalami degradasi parah. Lihat Mexico.
Geng obat bius yang berkuasa disana melancarkan perang. Mereka saling membunuh tanpa ampun. Pemerintah menangkapi tetapi juatru kekejian makin memuncak. Ini disebabkan karena masyarakat sudah terbius dengan gelimang uang dan 'surga' obat bius.
Dibutuhkan komitmen gila-gilaan untuk memberantas mereka. Tapi pengaruh bandar narkoba sudah sampai di masyarakat paling bawah. Bahkan negara saja hampir menyerah karena banyaknya yang harus diperangi.
Mayat bergelimpangan. Pembunuhan bahkan melibatkan perempuan dan anak-anak. Masa depan Mexico tergantung dari seberapa mampu pemerintah disana membasmi pengaruh geng itu sampai tuntas. Jika akarnya masih tersisa, dipastikan pertumpahan darah akan terus berlanjut.
Musuh kedua adalah virus radikalisme agama. Ini sebetulnya berlaku untuk agama apa saja. Radikalisme bisa disimpulkan secara singkat : siapa saja atas nama agama yang memusuhi orang yang berbeda keyakinan.
Puncak dari radikalisme ini adalah teroris. Jika pemahaman radikal memusuhi siapa saja yang berbeda keyakinan (bahkan dalam satu agama), maka tinggal selangkah lagi dia bisa menyakiti orang lain.
Bom bunuh diri adalah refleksi tertinggi dari pemahaman radikal.
Geng narkoba adalah penjahat. Mereka bergerak sadis karena uang. Jika mereka manusia, saat membunuh orang, pasti dalam sanubarinya ada perasaan bersalah. Ada ketidaknyamanan. Jika dia beragama, dia akan takut dengan balasan Tuhan atas perbuatannya tersebut.
Berbeda dengan kaum radikal yang menjelma menjadi teroris. Justru mereka melaksanakan permusuhan dan menyakiti orang karena merasa diperintah Tuhan. Karena mau melaksanakan ajaran agama.
Akibatnya lebih parah. Mereka membunuh dengan tidak ada perasaan menyesal sedikitpun. Tidak khawatir balasan Allah atas kekejiannya, karena merasa justru bakal masuk surga dengan melakukan kekerasan seperti itu. Bayangkan mereka melakukan kekejian tanpa ada hambatan bathin.
Ajaran radikal ini jauh lebih bahaya dari narkoba. Jika pengaruh narkoba gampang dideteksi dari ciri-cirinya dan penggunanya merasa sakit hidupnya. Ajaran radikal ini berbeda. Mereka merasa suci dan sehat. Bahkan merasa hidupnya lebih baik dari orang lain.
Gerakan teroris adalah puncak dari ajaran radikal. Ada banyak orang yang menganggap orang yang berbeda keyakinan sebagai musuhnya, cuma mungkin belum menjelma jadi teroris. Ada banyak kebencian pada mereka yang berbeda agama atau berbeda mazhab, tapi belum sampai jadi anjing gila yang main bunuh.
Meski begitu, pemahaman radikal yang memusuhi orang lain terus terpelihara. Dalam Islam, pemahaman seperti ini biasanya lahir dari gerakan yang niatnya mau membersihkan ajaran atau semacam purifikasi agama. Mereka seperti ingin menegakkan tauhid, makanya dikit-dikit menuding syirik, bidah, kurafat, dan lainnya.
Dampak yang lain, karena niatnya sok mau membersihkan pemahaman agama, akibatnya mereka memandang orang lain yang mau dibersihkan itu punya paham agama yang salah.
Usaha ini dimotori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, yang ajarannya dikenal dengan Wahabi. Cirinya gampang: tekstual, keras, gampang menuding orang lain, mudah mengkafirkan dan menyesatkan dan sejenisnya.
Jika membaca koran digital keluaran ISIS yang banyak beredar belakangan, mereka mengklaim sebagai pembawa ajaran Wahabi murni. Bahkan mereka ingin membersihkan ajaran Wahabi yang katanya sudah menyimpang. Nah, kalau Wahabi saja mau dibersihkan, apalagi yang lain.
Repotnya ketika Wahabi sebagai aliran pemikiran yang keras dan kaku itu diterjemahkan ke ranah politik. Jadinya ya, seperti sekarang ini. Memandang negara demokrasi sebagai toghut dan wajib dimusuhi. Bukan hanya negara yang dimusuhi, juga siapa saja yang mendukung negara ini.
Itulah yang menjelma sebagai ISIS dan HTI. Mereka mengaduk ajaran Wahabi dengan tujuan-tujuan politik. Doktrinnya tegakkan khilafah. Meskipun khilafah ISIS dan Hizbut Tahrir berbeda konsep teknis, tapi dasar pikirannya sama.
Jadi ada dua model radikalisme. Ada radikal yang belum bercampur politik jadi masih jadi gerakan agama belaka. Yang mereka ributkan melulu bidah, syirik, kafir, musyrik, dan sejenisnya. Mereka menyarang praktek-praktek agama yang lazim dilaksanakan di Indonesia.
Biasanya yang menjadi target adalah amalan-amalan NU. Target lainnya adalah menjegal berdirinya rumah ibadah agama lain.
Model pemahaman wahabi jenis inilah nilah yang berkembang di kelompok Islam perkotaan. Di Kampus, sekolah, BUMN, masjid, dan lain-lain.
Ada lagi ajaran Wahabi yang berkelindan dengan motif politik. Selain musuh tradiosinalnya, mereka juga mengarahkan permusuhan kepada negara dan siapa saja yang mendukung negara. Doktrin pendirian khilafah seperti yang diyakini ISIS dan HTI menjadi cirinya. Ada juga sih, yang basisnya ajaran ini tapi menghalalkan ikut sistem politik demokrasi. Di Indonesia ada satu partai Islam yang menjadi mengejawantahannya.
Jadi kalau di antara organ gerakan ini kesannya saling membela, disebabkan karena dasar pemahaman ideologinya sama. Dasar pikiran keagamaannya dari satu sumber.
Jadi bagaimana langkah untuk membersihkan Indonesia dari terorisme? Ya, kita harus melawan doktrin ajaran ini. Baik yang sudah politis maupun yang belum. Karena ujung-ujungnya pasti ke sana arahnya.
Ajaran radikal yang non-politis inilah yang sekarang banyak meracuni sekolah, kampus, masjid-masjid perkantoran, dan berbagai institusi lain. Tinggal ditambah doktrin politis dan semangat kekerasan, mereka akan berubah jadi teroris.
Jika kita ngeri dengan masa depan bangsa ini, ada dua hal yang harus diberantas : narkoba dan radikalisme agama.
Keduanya musuh laten kita.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews