Tragedi Rentetan Pemboman Teroris, Tanggung Jawab Siapa?

Rabu, 16 Mei 2018 | 16:30 WIB
0
709
Tragedi Rentetan Pemboman Teroris, Tanggung Jawab Siapa?

Minggu, 13 Mei 2018. Tiba-tiba, bom meledak di tiga tempat ibadah di Surabaya. Sasarannya gereja Katolik. Pelakunya satu keluarga. Mereka adalah Dita Oepriarto (47) dan Puji Kuswati (43) bersama empat anaknya. Puji dan dua putrinya bercadar.

Kutukan atas pemboman tiga gereja itupun langsung mendunia. Beberapa negara mengirim travel warning. Jangan bepergian ke Indonesia, terutama Surabaya. Hari itu juga, Presiden RI Joko Widodo terbang ke Surabaya bersama pejabat VVIP lainnya.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mendahului Presiden Jokowi terbang duluan. Dalam jumpa persnya, Jenderal Tito menyebut, Dita adalah pengikut Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang dipimpin Aman Abdurrahman dan Zainal Anshori. Mereka teroris!

Aman Abdurrahman terlibat kasus perencanaan pendanaan kasus Bom Thamrin  pada 2016 setelah sebelumnya juga terkena kasus pendanaan bagi militer bersenjata di Aceh. Jenderal Tito tahu betul karena saat itu ia menjabat Kapolda DKI Jakarta.

Sedangkan Zainah Anshori divonis bersalah terkait pendanaan dan memasukkan senjata api dari Filipina ke Indonesia. “Proses hukum yang bersangkutan (Aman dan Zainal) membuat kelompok jaringan JAD Jatim,” katanya di Mapolda Jatim, Surabaya, Senin (14/5/2018).

“Termasuk yang di Surabaya ini, mereka memanas dan ingin melakukan pembalasan,” lanjut Jenderal Tito. Bahkan, serangan para napi teroris di Mako Brimob Depok lalu bukan sekadar dipicu karena salah paham, tapi ada kaitannya dengan proses hukum para pimpinan JAD itu.

Jika ditarik ke yang lebih luas, kata Kapolri, serangkaian serangan juga ada kaitannya dengan posisi ISIS yang terdesak dan memerintahkan sel-sel teroris di seluruh dunia untuk bergerak. Di Paris, Perancis, pelaku menembak mati polisi setempat.

“Selain serangan kemarin di Surabaya juga ada serangan di Paris, hari Minggu kemarin, satu pelaku pakai pisau, satu tewas empat luka, pelaku tembak mati polisi di Paris,” kata Jenderal Tito kepada wartawan di Surabaya.

Seolah gayung bersambut, ledakan di Surabaya merambat ke Rusunawa Wonocolo yang ada di sekitar Polsek Taman, Sidoarjo, Minggu malam. Juga melibatkan satu keluarga atas nama Anton Febryanto (47). Buummm! Bom meledak duluan.

Bom keburu meledak saat Anton berusaha memasukkan bom ke dalam tas yang akan dibawa untuk melakukan bom bunuh diri sekeluarga, entah di mana. Saat mau dilumpuhkan dengan tembakan di kepalanya, Anton nyaris memencet pemicunya.

“Jika dia sempat pencet tombol, satu blok Rusunawa bisa hancur, karena daya ledaknya yang di Rusunawa ini lebih tinggi ketimbang ledakan di tiga gereja Surabaya itu,” ungkap sumber Pepnews.com. Beruntung saat itu polisi sigap dan bertindak cepat.

Sejak Minggu pagi itu, siaran radio tak henti-hentinya memberikan update berita seputar bom Surabaya dan Sidoarjo tersebut. Reporter radio melaporkan dari detik per detik. Media online tak mau kalah, menulis menit per menit. Televisi menayangkan jam per jam.

Semua media jenis apapun banjir berita terkait teroris. Berbagai ormas tiada henti-hentinya mengecam dan mengutuk keras aksi teroris tersebut. Politisi dan pengamat laris manis untuk talk show dan diundang sebagai narasumber. Rating iklan TV pasti naik!

Buummm....! Senin pagi, 14 Mei 2018, terjadi ledakan lagi. Kali ini di Gerbang Polrestabes Surabaya. Beruntung, Kapolri masih ada di Surabaya. Konpers pun digelar. Pelakunya satu keluarga juga. Atas nama Tri Murtono sebagai Kepala Keluarga.

Selain Tri Murtono, istrinya Tri Ernawati, Muhammad Daffa Amin Murdana (anak pertama), dan Muhammad Dary Satria Murdana (anak kedua) tewas seketika. Putri bungsunya, Aisyah Azzahra Putri (7) selamat di dirawat di RS Bhayangkara, Surabaya.

Sejak serangan di Polrestabes Surabaya itu, Kapolri langsung memerintahkan seluruh jajaran Polda se-Indonesia supaya Siaga Satu. Penjagaan di semua satuan sampai setingkat Polsek di Indonesia diperketat. Unsur TNI pun dilibatkan dalam penjagan itu.

Tagar semacam #KamiTidakTakutTeroris pun mewabah di media sosial. Sayangnya, ternyata Walikota Surabaya Tri Rismaharini memerintahkan agar sekolah meliburkan siswanya untuk sementara. Grup WA BaraJP Gus Ipul pun membuat meme GEMETER.

“Jangan takut sama teroris! Kita bukan bangsa pengecut! Kita harus berani melawan teroris! Mari bersama-sama kita mendirikan “Gerakan Melawan Teroris” yang kalau disingkat jadi: GEMETER”. La, bukankah kata Gemeter itu sama dengan Gemetar?

BaraJP Gus Ipul adalah Relawan paslon Gubernur – Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf – Puti Guntut Soekarno yang berhadapan dengan Khofifah Indar Parawansa – Emil Elestianto dalam Pilkada Jatim, 27 Juni 2018 mendatang. Gempita Pilkada meredup!

Jalanan di Surabaya sejak Minggu hingga Rabu, 16 Mei 2018, rada lengang tak seperti hari-hari yang sering macet. Aparat Densus 88 Polri pun bergerak terus memburu teroris hingga Selasa malam, 15 Mei 2018. Kali ini tanpa ledakan, hanya tembakan saja.

Bersamaan dengan ledakan bom di Polrestabes Surabaya, terjadi penggerebekan yang diduga komplotan teroris di Perum Puri Maharani, Masanganwetan, Sukodono, Sidoarjo, Senin pagi (14/5/2018). Dalam penggrebekan itu, seorang terduga teroris dikabarkan tewas.

Hingga Selasa malam, tim Densus 88 masih memburu terduga teroris di dua wilayah lainnya di Surabaya. Dari rangkaian serangan bom tersebut, total jumlah korban mencapai 25 orang. Sebanyak 13 orang tersangka pelaku, dan 12 orang korban masyarakat.

Untuk sementara, data jumlah terduga teroris yang ditangkap tim Densus 88 di Jatim sekitar 7 orang, termasuk yang ditangkap di Malang Raya. Akankah ini segera berakhir? Semoga saja! Tapi, ternyata teror berlanjut sampai ke Polda Riau, Rabu, 16 Mei 2018.

Empat terduga teroris yang menyerang polisi penjaga di Gerbang Polda Riau dengan pedang, terpaksa ditembak mati. Seorang lainnya tertangkap. Kelima teroris itu memakai mobil dan menabrakkannya ke gerbang Polda Riau. Seorang polisi meninggal.

Yang patut dipertanyakan adalah siapa di balik serentetan teror tersebut selama ini? Pastinya tentu ada orang-orang khusus yang bertanggung jawab mencuci otak para pelaku teror. Siapa mereka, sulit mengendusnya. Adakah kepentingan tertentu?

Sebagai rakyat biasa, kita ingin bicara lebih cerdas dan substansial. Simulasinya sederhana. Adanya momentum yang tepat, petakan tempat dan siapkan narasinya. Lalu, bom diledakkan pion yang sudah dicuci otaknya dengan iming-iming surga.

Bom akan terus berlanjut, sampai ledakannya tak lagi efektif jadi alat kepentingan. Polanya selalu sama, bom meledak di tempat ibadah atau pusat keramaian. Media ramai, dan rakyat ribut. Investigasi, tak lama kemudian pelakunya tertangkap.

Apa targetnya? Tidak pernah jelas! Setidaknya itu bagi orang awam. Hanya samar-samar saja  kedengaran suara: perang di negara kafir. Jihad melawan bughat. Ingin mati sahid. Makin tak jelas lagi. Bom itu soal nalar. Seorang wanita bercadar pun diusir penumpang lain di Terminal Tulungagung.

Ketika nalar kepentingan bertemu nalar kebodohan, bom menjadi alat efektif untuk sebuah tujuan. Tepatnya, sebuah kepentingan. Pertama, untuk menyerang kelompok tertentu. Stigma dibuat, opini diciptakan, terorisme, dan radikalisme di-design narasinya.

Umat Islam jadi terdakwa. Cap ekstrimis nempel di jidatnya. Satu ormas dengan ormas lain saling serang. Beda pilihan politik dapat lahan pertempuran. Celana cingkrang, jidat hitam, jenggot panjang dan cadar dibawa-bawa. Jadi aksesoris ledekan.

Apa hubungannya? Lalu, image muncul: ajaran Islam itu membahayakan. Kerja sempurna! Kedua, untuk menciptakan suasana tidak aman. Kesan konflik dimunculkan. Rasa takut lalu dikondisikan. Untuk pengalihan isu? Ah, ada-ada saja sampeyan ini.

Tapi memang, dolar naik lepas pantauan. Kemenangan oposisi Malaysia sejenak terlupakan. Hasil survei balon presiden yang merosot drastis jadinya terabaikan. Apakah ini demi untuk merawat anggaran? Anggaran siapa? Ah, sampeyan ini, bisa siapa saja.

Atau untuk menggeser suara dan elektabilitas seseorang? Jangan su'udhan. Gak baik. Nanti bisa-bisa jadi delik aduan. Tapi, kalau dipikir, masuk akal juga. Apalagi, pendaftaran pilpres hanya tinggal beberapa bulan. Awal Agustus 2018 sudah dekat.

Publik mulai curiga. Jangan-jangan, bom bunuh diri memang bukan tunggal nalarnya. Nalar bidadari atau nalar surgawi. Tapi, bagian dari sekian banyak nalar yang terkait dan saling membutuhkan. Yang satu butuh bidadari, yang lainya butuh duniawi.

Bisa jadi kecurigaan itu benar. Bom tidak berdiri sendiri. Dependent variable. Seperti puzzle, saling melengkapi kebutuhan. Atas nama agama? Itu soal strategi. Di dalam agama itu ada ideologi dan fanatisme. Lebih mudah menemukan dan melatih aktornya.

Gampang goreng isunya. Enak jualannya. Besar peluang cari dananya. Terutama bagi mereka yang suka memancing ikan di air keruh. Ada yang bilang: para pelaku bom hanya pion yang dilatih untuk jadi korban.

Mereka bukan orang-orang penting dari sebuah tragedi melodrama ledakan. Para aktor tak lebih dari para pengeja bidadari surga. Cukup bidadari surga. Tidak terlalu minat bidadari dunia. Mungkin bidadari dunia besar ongkosnya.

Bidadari akhirat? Gratis! Asal mati sahid. Padahal, tak ada satu ayat dalam Al-Qur’an yang menghalalkan bunuh diri, tentu termasuk bom bunuh diri. “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29).

***