Menyoal Polemik Pajak atas UMKM, Tak Sekadar Mengutip Uang

Rabu, 16 Mei 2018 | 07:34 WIB
0
949
Menyoal Polemik Pajak atas UMKM, Tak Sekadar Mengutip Uang

Dalam beberapa kesempatan belakangan, tokoh wakil rakyat kita menyuarakan dukungan terhadap usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Ini terkait pengenaan pajak bagi pebisnis kecil tersebut.

Di satu sisi, pemerintah ingin mendapatkan pemasukan dari sektor pajak termasuk dari kalangan UMKM, namun sisi lainnya, ada upaya untuk meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan demi pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan.

Terkait polemik tersebut, terdapat pertanyaan, apakah wajar Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengenakan pajak atas UMKM? Jika kewajaran yang dipermasalahkan, maka ada beberapa hal yang perlu diluruskan.

Pertama, terminologi UMKM sendiri perlu lebih diperjelas. Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengatur kriteria usaha UMKM hanya berdasarkan kekayaan bersih dan penjualan yang dihasilkan dalam satu tahun pajak. Yakni batasan untuk usaha mikro maksimal kekayaan bersih yang dimiliki sebesar Rp50 juta dan penjualan yang dihasilkan dalam satu tahun maksimal Rp300 juta.

Sedangkan untuk kriteria usaha kecil maksimal kekayaan bersih dan penjualan setahun yang diatur adalah: Rp50 juta sampai dengan Rp500 juta dan Rp300 juta sampai dengan Rp2,5 miliar. Sementara untuk usaha menengah batasan kekayaan bersih adalah sebesar Rp500 juta sampai dengan Rp10 miliar dan penjualan setahun sebesar R 2,5 miliar sampai dengan Rp50 miliar.

[irp posts="13101" name="Tata Kelola Perpajakan yang Lemah Ciptakan Fraud" dan Korupsi"]

Undang Undang ini menetapkan kriteria UMKM hanya berdasarkan kepemilikan aset dan omzet saja, tidak melihat kondisi lapangan usaha yang ada. Sementara ada profesi yang memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya, meski dari segi kekayaan bersih dan penjualan termasuk dalam kriteria UMKM. Contoh kantor advokat, pengacara atau konsultan hukum terkenal tentu didirikan oleh mereka yang mempunyai pendidikan tinggi dan keahlian khusus. Pertanyaannya pantaskah jika mereka dikategorikan sebagai UMKM?

Kedua, UMKM versus sektor usaha informal. Persoalan klasik UMKM di negara berkembang pada dasarnya hampir tak berbeda jauh. Sebagian besar wirausaha yang berada di tataran usaha kecil ini banyak yang masih berkutat di sektor informal yang tidak tersentuh hukum.

Sebuah studi yang dilakukan Bank Dunia di Amerika Latin dan Karibia pada tahun 2007 bisa dijadikan sebagai referensi dan perbandingan.

Dalam laporan penelitian para ahli ekonomi Bank Dunia yang diberi judul: Informality Exit and Exclusion, mereka menangkap sebuah fenomena di negara Amerika Latin dan Karibia pengusaha yang bergerak di sektor informal ini terbagi dalam dua kelompok yaitu: wirausaha di sektor informal yang jumlahnya mencapai 24% dari jumlah pekerja di perkotaan, dan para buruh yang bekerja di sektor informal dengan jumlah mencapai 30% dari jumlah pekerja di kota-kota tersebut.

Banyak dari mereka yang berusaha membatasi pertumbuhan potensial usahanya, karena tak ingin terdeteksi negara. Di sisi lain informalitas berarti membawa permasalahan sosial yang sulit untuk diuraikan, karena mereka berada di luar sistem.

Tak adanya jaminan hukum dan kesehatan untuk pekerja, bahkan tak jarang mereka harus menderita kemiskinan di hari tua karena tak mendapat jaminan sosial yang seharusnya diterima menjadi permasalahan yang harus dicarikan solusinya.

Fenomena ini tak jauh berbeda dengan Indonesia. Berdasarkan data Ditjen Pajak tahun 2015, jumlah penduduk usia produktif yang bekerja mencapai 93,72 juta orang tetapi yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya sekitar 30 juta wajib pajak.

Jumlah tersebut terdiri dari 2,4 juta wajib pajak badan, 5,2 juta wajib pajak orang pribadi non karyawan, dan sisanya 22,4 juta merupakan wajib pajak orang pribadi karyawan. Berarti sekitar 63,72 juta orang masih berusaha ataupun bekerja di sektor informal.

Dalam laporan Bank Dunia tersebut menekankan perlunya kebijakan terintegrasi dari pemerintah untuk menarik minat pengusaha sektor informal untuk beralih ke sektor formal. Antara lain: pemberian fasilitas bagi pendaftaran bisnis baru, perluasan manfaat menjadi formalitas (pemberian kredit dan akses pasar, keamanan hukum, dan skema pengembangan bisnis), pemberian jaminan sosial dan perlindungan sosial, dan yang tak kalah pentingnya penyederhanaan UU perpajakan.

Fasilitas pajak

Ditjen Pajak sendiri selama ini telah memberikan kemudahan dan insentif pajak kepada pengusaha yang termasuk dalam kriteria UMKM. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, mengatur bagi wajib pajak orang pribadi atau badan yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp 4,8 miliar dapat menghitung pajak terhutang langsung sebesar satu persen dari omzet.

Bahkan dalam waktu dekat ini pemerintah berencana menurunkan tarif pajak untuk UMKM hingga 0,5%. Pengenaan tarif final tersebut bertujuan untuk memudahkan wajib pajak dalam menghitung pajak, karena mereka tak perlu menyusun pembukuan.

Namun PP tersebut mengatur secara tegas penghitungan tarif final sebesar satu persen tersebut tidak berlaku bagi pengusaha yang bergerak di bidang jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Maka para profesional seperti: advokat, pengacara, konsultan hukum, dokter, arsitek, dan profesi sejenis tidak diperkenankan menggunakan fasilitas ini.

Tak cuma itu, pengusaha UMKM juga diberikan fasilitas untuk mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, 22, dan 23 agar wajib pajak yang telah menghitung pajaknya secara final tersebut tak perlu direpotkan secara administrasi untuk mengurus kelebihan bayar pajak yang dipotong lawan transaksinya.

Ketika kita bicara pengenaan pajak untuk UMKM, kita harus mendudukkan permasalahan ini pada perspektif yang lebih luas. Intinya pemerintah tak sekedar mencari dana saja, namun sebagai upaya pemerintah untuk membenahi semrawutnya permasalahan tenaga kerja Indonesia.

Peningkatan kesejahteraan pekerja bisa dilakukan salah satunya dengan menarik minat sektor informal untuk beralih ke sektor formal, sehingga mereka akhirnya berada dalam sistem yang mudah diawasi negara.

***

Catatan: artikel ini telah di muat di Harian Kontan Jumat, 20 April 2018