Menghindari Faham Radikal sebagai Bibit Terorisme di Sekitar Kita

Rabu, 16 Mei 2018 | 06:39 WIB
0
955
Menghindari Faham Radikal sebagai Bibit Terorisme di Sekitar Kita

Masih perlu ditelisik apakah para pelaku teror alias teroris dengan bom bunuh diri atau yang melakukan dengan tindakan teror lainnya itu adalah karena menganut faham radikalisme. Tetapi orang-orang yang terpapar faham radikalisme memang belum tentu melakukan tindakan-tindakan teror atau melakukan tindakan kekerasan. Tidak boleh dipukul-rata.

Seseorang yang sudah menganut faham radikalisme artinya ia sudah memenuhi syarat minimum, apakah ia akan menjadi terorisme atau tidak tergantung situasi dan pengaruh-pengaruh dari kelompoknya. Minimal orang yang sudah terpapar faham radikalisme akan menjadi simpatisan atau pengikut dari faham radikalisme tersebut.

Sebagai contoh: ada kerusuhan di Mako Brimob dan bom bunuh diri di  tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Bukannya bersimpati atau timbul rasa empati kepada korban, malah bersimpati dan memberi semangat kepada pelaku kerusuhan di Mako Brimob dan pelaku bom bunuh diri.

Bahkan yang paling fenomenal, seakan-akan menjadi pengikut dan bertugas sebagai juru bicara di media sosial untuk menyebarkan berita-berita yang sifat fitnah atau tidak benar. Atau membuat analisa-analisa atau opini yang justru membela pelaku terorisme.

Biasanya kata-kata yang paling khas, "Ah, itu cuma pengalihan isu." Buntut pengalihan isu bisa bermacam-macam, mulai pengalihan isu dari gerakan Ganti Presiden, pengalihan isu dari utang negara yang menumpuk, pengalihan isu dari tidak becusnya Presiden memimpin, dan seterusnya. Bahkan ada yang membela teroris dengan mengatakan, "Kalau bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya ada videonya, kenapa pembunuhan lima anggota polisi oleh teroris di Mako Brimob tidak ada videonya!"

Boleh saja mengatakan apa yang mereka lakukan itu bukan berarti menjadi simpatisan teroris dan menunjukkan sikap yang ekstrem kritis. Tetapi dari pernyataan dan kalimat-kalimat yang terlontar di medsos, terabalah bahwa mereka ini sesungguhnya bersimpati kepada teroris akibat benci pemerintah setengah mampus. Teori konspirasi pun dimainkan.

Kembali kepada radikalisme. Ternyata pelaku-pelaku terorisme tidak secara instan atau secara tiba-tiba menjadi radikal akibat di doktrin yang hanya dalam hitungan hari atau jam, tetapi karena yang pelaku-pelaku teror sudah punya faham radikalisme dari awal.

Sebagai contoh, menuduh pemerintah adalah thogut, menganggap hormat kepada bendara adalah syirik, dan memerangi pemerintah yang sah dengan alibi tertentu. Nah kalau sudah syarat minimum ini dipunyai, mudah untuk mengarahkan atau mendoktrin orang-orang itu. Sekarang rabalah hati Anda, apakah Anda juga berpikir dan punya rasa demikian!?

Pelaku bom bunuh diri gereja di Surabaya sebagai contohnya. Menurut pengakuan teman SMU-nya, pelaku bom bunuh diri semasa sekolah SMU Negeri Surabaya sudah menganut faham radikal seperti hormat kepada bendera waktu upacara adalah perbuatan syirik, menyanyikan lagu Indonesia Raya adalah perbuatan bid'ah dan pemerintah adalah thogut.

Padahal itu 25 tahun yang lalu dan pada waktu itu belum ada kasus-kasus terorisme. Dan pelaku bom bunuh diri gereja Surabaya ini kalau waktu upacara bendera tidak pernah ikut malah Iqtikab di mushola sekolah, ia melakukan itu karena memang sebagai konsekuensi bahwa upacara bendera dan hormat adalah syirik. Dan ini juga sudah diketahui pihak sekolah, hanya karena ia murid yang cerdas dan baik atau sopan, tidak diambil tindakan. Ini menurut teman SMU-nya.

Artinya faham radikal sudah dianut dari sejak SMU dan seperti menyemai sebuah benih, sekarang benar-benar menjadi pelaku terorisme.

Faham-faham yang dianut seperti pelaku bom bunuh diri gereja Surabaya ini banyak dianut di sekolah-sekolah umum atau yang berbasis keagamaan tertentu. Bahkan perguruan tinggi negeri atau kedinasan yang notabene punya pemerintah juga disusupi oleh faham-faham radikalisma. Bahkan mereka menjadi simpatisan atau pendukung faham itu.

Bahkan di TK atau SD sudah diajarkan untuk tidak upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya karena dianggap syirik. Dan syirik adalah dosa besar menurut penganut faham itu.

Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi menjadi tempat menyemai bibit-bibit atau faham radikal dan tidak menutup kemungkinan bibit-bibit itu kelak akan menjadi pelaku teror.

Seperti pesantren yang menganut faham radikal di Bogor yang ditutup karena ribut dengan warga karena pada tujuh belas Agustus tidak mau memasang bendera merah-putih dan malah menurunkannya. Hingga akhirnya terjadi keributan. Dan pesantren ini juga pernah mengirimkan santrinya untuk jihad di Suriah. Yang bikin miris, yang dikirim adalah masih anak-anak karena keinginan anak itu sendiri, akhirnya anak itu tertembak mati di Suriah.

Untuk itu pemerintah pusat dan daerah atau menteri pendidikan harus memantau atau menindak sekolah-sekolah yang tidak mengadakan upacara bendera. Sekilas nampak sepele, tapi dari sinilah awal mula bibit-bibit faham radikal disemai.

Saya punya cerita beberapa bulan lalu, yaitu saya punya ponakan kembar laki-laki masih TK, tetapi TK umun bukan berbasis agama. Dan ponakan punya teman tetangga sebelah rumah umurnya hampir sama dan juga TK, tetapi TK yang berbasis agama di Bandung. Hampir tiap hari mereka main bertiga, m

ain sepeda, kadang main bola dan anak tetangga sebelah ini tiap hari juga sering main ke rumah kakak saya.

[irp posts="15658" name="Motif Politik DPR di Balik Terhambatnya Pembahasan RUU Antiteror"]Waktu itu saya lagi makan sore di rumah kakak saya dan ponakan kembar dengan anak tetangga lagi main game bertiga. Dari obrolan anak itu,ponakan saya menyuruh anak tetangga itu untuk menyanyi lagu anak-anak, tetapi jawabnya anak tetangga ini cukup bikin kaget saya waktu dengarnya. Yaitu ia tidak mau menyanyikan lagu yang diminta oleh ponakan kembar saya. Terus diminta dan sedikit memaksa untuk menyanyi oleh ponakan, tetep tidak mau, kata anak tetangga ini menyanyi adalah dosa. Padahal usianya baru 5 tahun lebih beberapa bulan.

Anak tetangga ini malah menjelaskan, bahwa nanti kalau sudah sekolah SD tidak mau masuk sekolah negeri atau pemerintah, ia pengin sekolah yang tidak ada nyanyi-nyanyinya, maksudnya tidak nyanyi lagu pada waktu upacara.

Anak tetangga ini memang cerdas dan orangnya juga ceria dan sopan,karena sering kalau ketemu saya dari jauh sudah manggil-manggil dan dampak positifnya ponakan saya kalau maghrib sering diajak sholat  berjamaah di masjid dengan ayahnya. Ayahnya selain dosen juga aktivis masjid.

Ternyata faham bahwa upacara bendera dan hormat kepada bendera adalah syirik, sudah diajarkan di usia yang sangat dini. Mereka sudah dikader sedini mungkin.

Bahkan anak bungsu dari pelaku bom bunuh diri gereja, juga tidak mau mengikuti pendidikan agama di sekolahnya atau pelajaran PPKN kalau dulu mungkin PMP yang berisi tentang Pancasila. Dan ia juga pengin mati syahid. Padahal usianya baru 9 tahun.

Waspadalah...

***