Ledakan dari Dalam Perut

Rabu, 2 Mei 2018 | 19:51 WIB
0
1063
Ledakan dari Dalam Perut

Cerpen: Alan Maulana

Malam ini aku masih belum bisa tertidur seperti malam-malam sebelumnya. Malam-mlam yang panjang. Malam-malam yang gelap. Malam-malam yang tidak aku inginkan. Bayangan itu selalu datang pada malam hari. Bayangan buruk yang datangnya dari hari terkutuk. Hari yang entah bagaiaman ini bisa terjadi. Memangkah ini takdir tuhan ataukah ini karena kebodohanku sendiri.

Aku masih belum bisa tertidur seperti malam-malam sebelumnya. Tembok yang berwarna putih itu seperti layar tancap. Menayangkan jelas kejadian demi kejadian. Menggambarkan kenangan-kenangan yang indah. Di atas tempat tidur ini aku masih duduk termenung dengan kedua kaki terlipat. Lutut menempel di dada. Tangan memeluk lutut. Kepalaku tertunduk. Mata terpejam, sesekali aku menutup telinga dengan kedua tanganku.

Aku tidak ingin melihat apa yang ditayangkan pada tembok itu. Aku tidak ingin mendengar suara-suara yang masuk ke telingaku. Meskipun suara itu sudah terekam jelas di kepalaku. Selalu berbunyi, “Aku mencintaimu Sayang. Bulan depan aku akan melamarmu”. Berulang-ulang, hari demi hari, malam demi malam ketika aku ingin memejamkan mata.

Aku masih belum bisa tertidur seperti malam-malam sebelumnya. Meratapi langit-langit kamar yang juga berwarna putih. Manayangkan gambaran indah yang menyat hati ketika aku mencoba membaringkan tubuhku. Aku tak sanggup lagi. Sungguh, tak sanggup lagi.

Aku kembali duduk. Mengambil sebotol obat yang aku simpan di bawah ranjang. Mengambil sebuah gelas yang selalu tersedia di meja kamarku. Aku mencoba menuangkan obat itu ke dalam gelas keramik yang sudah ku pegang. Aku memegangnya dengan erat. Dengan kedua tanganku. Aku mencium aroma obat itu yang menyengat. Aromanya yang khas menusuk ke dalam hidung, masuk ke tenggorokan, semakin dalam dan menuju otakku.

Sel-sel otakku merespon aroma obat itu. Seketika pikiranku melayang jauh. Semakin jauh. Ingatanku masih segar pada malam itu. Malam yang membahagiakan. Suara kenalpot vespa yang begitu khas terdengar jelas dari dalam kamarku. Aku membuka tirai kamar. Melihat Seorang laki-laki yang aku cintai sudah datang.

Pintu kamar kos tempat aku tinggal ku buka. Mempersilakan laki-laki itu masuk. Dio Tresno namanya. Dio adalah pacarku, yang akan segera melamarku bulan depan. Malam ini Dio datang menghampiriku untuk sekedar membawakan aku makan malam. Sebungkus nasi goreng. Terkadang juga ia membawakan sebungkus nasi uduk kesukaanku. Hanya itu, lalu dia pamit.

Dio bekerja sebagai buruh pabrik. Sudah tiga tahun lamanya ia berstatus sebagai karyawan kontrak. Ketika enam bulan pertama kontraknya habis, lalu kontrak kerjanya diperpanjang dan terus diperpanjang sampai selama ini. Namun masih saja belum diangkat sebagai karyawan tetap. Sementara teman-temannya yang lain, banyak yang kontrak kerjanya tidak diperpanjang.

Aku juga seorang buruh pabrik. Nasibku lebih beruntung daripada Dio, karena satusku di perusahaan tempat aku bekerja adalah karyawan tetap. Ketika nanti aku berumah tangga bersama Dio dan Kalaupun Dio harus bernasib menjadi pengangguran karena kontrak kerjanya tidak diperpanjang, setidaknya masih ada aku yang bisa menghasilkan uang. Sementara Dio masih bisa mencari pekerjaan lain, atau berwirausaha.

Ketika akhir pekan tiba, Dio selalu datang ke tempat kos ku. Menjemputku untuk jalan-jalan menikmati malam minggu. Seperti anak muda lainnya, terkadang kami berdua nonton bioskop dengan membeli pop corn sebagai cemilan. Malam minggu berikutnya ketika tidak ada film yang tidak ingin kami tonton, Dio mengajakku pergi ke keramaian alun-alun di kota tempat kami tinggal. Di sana banyak jajanan kaki lima yang harganya murah dengan cita rasa yang menggugah selera.

Di alun-alun terkadang Dio mentraktirku. Terkadang juga aku yang mentraktir Dio. Bagiku ini adalah cara kami berbagi dalam menikmati hasil keringat kami. Ketika waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Tanpa aku minta Dio mengantarku untuk segera pulang. Satu hal yang Dio tidak suka. Pulang lewat dari pukul dua belas malam.

Katanya, kalau dia pulang lewat dari jam dua belas malam. Dia akan berubah jadi kakek-kakek tua yang bungkuk. Bermuka keriput dan bergigi ompong. Aku suka tertawa ketika hal itu terlontar dari mulutnya. Katanya juga, ia takut aku tidak akan mencintainya lagi kalau sampai dia berubah menjadi kakek-kakek jelek. Dengan ini aku yakin kalau dia adalah lelaki yang baik.

Hari demi hari kami lewati untuk bekerja. Dan setiap akhir pekan kami lewati berdua untuk melepas penat setelah lelah bekerja. Hingga tiba di satu malam yang aku tunggu-tunggu tiba. Ini adalah malam ulang tahunnya. Malam ini begitu spesial. Aku berangkat dari kos ku menuju kos Dio menggunakan sepeda motorku berjenis matic. Aku sudah mempersiapkan kue ulang tahun. Black forest adalah favoritnya. Tak ada keramaian, tak ada teman-teman yang lain. Aku berangkat sendiri. Menelusuri malam. Membelah kota dengan lampu-lampu yang temaram.

Sesampainya di sana, aku mematikan mesin sepeda motor. Aku menelusuri lorong-lorong pintu kos. Yang mirip rumah kontrakan berpetak. Kiri dan kanan saling berhadapan kamar yang satu dengan kamar lainnya. Ujung lorongnya buntu. Kosnya Dio agak bebas. Sehinggga aku bisa mudah masuk dan mengetuk pintu kamarnya untuk memberikan surprise sederhanaku ini.

Aku mengetuk pintu. Beberapa kali agak sulit terbuka. Hampir lima menit aku terus mengetuk dan akhirnya, kekasih hatiku itu terbangun. Ia menyibak tirai kamar, melihat siapa yang datang. Aku tersenyum melihat wajahnya yang baru bangun tidur. Dio pun tersenyum melihat aku yang datang membawa kue kesukaanya itu. Kemudian pintu terbuka.

“Selamat ulang tahun, sayang...” Aku mengucapkannya sambil menyodorkan kue dengan lilinnya yang menyala. Dio tersenyum, mememjamkan mata seraya memanjatkan doa. Lalu lilinya itu ditiup. Sambil mengajaku masuk Dio bilang, “Kamu kok yah, tengah malam gini datang sendirian. Kalau ada begal gimana?” Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku suka melihat sikapnya yang mengkhawatirkan aku.

Di dalam kamar kosnya aku menyantap kue itu bersama. Sesekali kami saling menyuapi satu sama lain. Sesekali juga kami bercanda melepas tawa. Tak disangka malam itu gemuruh guntur terdengar. Kilatan cahaya terlihat. Butiran air perlahan turun. Semakin lama, semakin deras. Aku meminta Dio untuk mengantarkan aku pulang, “Dio.. Aku mau pulang. Kamu mau mengantar, kan?.” Dio melihat ke arahku dan meniyakan pertanyaan itu.Ya, aku mengerti hujan di luar sana turun begitu lebat. Jadi, tidak harus segera mengantarku sekarang juga.

Dio kembali merebahkan tubuhnya ke atas kasur busa yang ia gunakan sebgai alas tidur. Kasur tanpa ranjang. Sambil menunggu hujan reda aku juga rebahan di lantai. Sesekali melihat ponselku. mengunggah foto-foto perayaan ulang tahunnya barusan ke media sosial. Tanpa aku sadari, Dio mendekatiku. Matanya mentapa tajam. Tangan kirinya mengambil ponsel dari tanganku. Ponsel itu diletakan di lantai.

Matanya menatap semakin dekat sambil berkata, “Aku mencintaimu Sayang. Bulan depan aku akan melamarmu”. Jantungku semakin berdebar. Tatap matanya semakin tajam. Menusuk tubuhku hingga aku tak mampu berkutik. Bibirnya perlahan mendekati bibirku. Aku semakin berdebar ketika aku dan dia saling berciuman. Kami berdua berpelukan. Dan pada malam itu kami bersetubuh untuk pertama kalinya.

Malam terasa begitu panjang, hingga aku dan dio kelelahan kemudian tertidur tanpa busana. Pagi harinya ada kekhawatiran menyelemutiku. “Dio kalau ini jadi bayi gimana?”. Sambil memeluk ia menjawab dengan lembut, “Aku akan menikahimu. Bulan depan aku melamarmu. Bulan depannya lagi aku akan menikahimu.” Entah apa yang aku rasakan. Harus bahagia atau bersedih. Yang pasti jawaban itu cukup melegakan hati.

Satu bulan berlalu, menstruasiku pun tak kunjung datang. Aku segera melakukan testpack. Aku sudah menduganya. Positif hamil. Malam ini aku mulai tidak bisa tertidur. Menghadapi Malam-malam yang panjang. Malam-malam yang gelap. Malam-malam yang tidak aku inginkan. Selalu bertanya-tanya, di mana Dio berada.

Tidak terasa sudah tiga bulan lebih Dio tidak ada kabar. Aku sudah berusaha mencari Dio kesana-kemari. Dari satu kos temannya ke kos temannya yang lain. Aku juga mencarinya ke tempat ia bekerja. Aku menemui beberapa teman satu bagian dengan Dio ketika jam pulang kerja. Informasi yang aku dapatkan Dio sudah tidak bekerja lagi di sana. Dio sudah putus kontrak. Kamar kosnya sudah berganti penghuni.

Malam ini aku masih belum bisa tertidur seperti malam-malam sebelumnya. Menghadapi Malam-malam yang panjang. Menghadapi Malam-malam yang gelap dan juga masa depanku yang gelap. Aku masih duduk di atas kasur. Meratapi tembok putih di depanku yang selalu menayangkan kenangan-kenangan masa lalu. Aku masih memegangnya dengan sekuat tenaga. Dengan kedua tanganku. Aku mencium kembali aroma obat itu. Tanpa pikir panjang aku meminumnya. Aku tidak mempedulikan rasanya ketika cairan itu melintas di lidahku. Masuk ke tenggorokan untuk menuju lambung.

Perutku semakin lama semakin terasa panas. Seperti ada bom atom yang meledak. Kepalaku mulai berat. Otaku sudah tidak mampu berpikir. Aku jatuh terkapar dengan lemas. Ada sesuatu yang sedang berjalan di perutku, seperti kerumunan demo para buruh. Napasku tersumbat. Tenggorkanku tercekik. Kerumunan demo para buruh itu semakin mendekati tenggorokan. Kemudian berhasil keluar melalui mulutku berupa buih-buih busa.

Aku tak menyangka kalau kematian buakanlah sesuatu yang dicabut dari dalam tubuhku. Sesuatu yang dicabut dari jantungku. Kematian yang aku rasakan, menyumbat telingaku, menyumbat tenggorakanku dengan tekanan padat. Ada sesuatu yang meledak ganas dan panas di tubuhku. Mataku terus terbuka. Semakin tak kuasa untuk menahan. Aku masih menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Kemudian, gelap.

***