Ketika Islam Liberal Menjadi Phobia di Negara Mayoritas Muslim

Sabtu, 28 April 2018 | 09:47 WIB
0
1186
Ketika Islam Liberal Menjadi Phobia di Negara Mayoritas Muslim

Phobia atau fobia adalah ketika seseorang mengalami ketakutan yang sangat berlebihan. Sekitar tahun 2013 saya lulus dari pesantren sudah diwanti-wanti oleh beberapa kawan agar tidak terjerumus ikut paham sesat tersebut.

Di tahun itu juga saya mulai masuk perguruan tinggi Islam tepatnya di Ciputat, para aktivis masih heroik untuk mengajak Maba (Mahasiswa Baru) dalam organisasinya. Beberapa kali saya ditawari masuk HMI, PMII, dan LDK.

Awal mula saya masuk dan ikut LK (Latihan Kader) 1 di HMI Fakultas Dirasat Islamiyyah bersama sahabat saya Mahfud Efendi. Dilanjut dengan iklim politik mahasiswa di fakultas saya FISIP, HMI tidak begitu populer dan bagi saya pergaulannya sangat ekslusif.

Akhir cerita saya diajak ikut MAPABA (Masa Penerimaan Anggota Baru), sebuah jenjang pengkaderan di PMII yang notabene wadah organisasi mahasiswa NU, meskipun corak PMII Ciputat ini banyak dari varian background organisasi personal mahasiswa dari berbagai latarbelakang seperti ada dari PERSIS, Muhammadiyah, dan Syi'ah tentunya NU sudah pasti.

Hal ini menarik, ternyata PMII tidak melulu NU, tapi yang non-NU juga banyak meskipun harus bertranformasi terhadap budaya NU di PMII.

Sebuah tragedi yang membludak di media masa kala itu adalah acara Maulid Nabi Isa Ibn Maryam, mendapatkan respon negatif dari para aktivis LDK dan KAMMI, hingga seniornya di DPP PKS angkat bicara di Twitter, "Ada pemurtadan di FISIP UIN Jakarta".

Kalimat itu salah satu domino effect dari fobia Islam Liberal yang dimotori oleh Kader PMII sendiri yaitu Mas Ulil Abshar Abdalla.

Saya kira banyak dulu saya bikin agenda yang kurang diminati oleh temen-temen LDK dan KAMMI. Ketika saya menjabat di salah satu organisasi mahasiswa yaitu BEM jurusan Sosiologi saya sering sekali mengundang tokoh yang kontroversial seperti Kang Jalal, Mas Ulil, Pak Haidar Bagir, dan kawan-kawan lainnya.

[irp posts="14674" name="Prabowo Subianto dan Jejak Politik Islam di Indonesia"]

Kala itu ketua BEM Fakultas dikuasai oleh LDK dan KAMMI. Sebuah respon balik dari ketua BEM yang dinakhodai oleh Mas Sidiq dari KAMMI mengadu ke wakil dekan bidang kemahasiswaan Pak Agus, kira-kira seperti ini laporan yang saya terima dari Pak wadek itu, "Katanya kamu mau men-Syiah kan anak FISIP". Kata siapa Pak? jawabku. Itu kata Sidiq ketua BEM, balasan beliau.

Kira-kira itu cerita lucu di kampus masa lalu. Namun, yang saya heran kawan-kawan yang dulu ndak suka sama saya hari ini jadi kawan diskusi di setiap waktu baik itu anak LDK atau KAMMI.

Saya juga dulu sempat fobia Islam Lebral, saking fobianya saya penasaran apakah dedengkotnya Mas Ulil waktu itu masih shalat lima waktu?

Akhirnya ada sebuah acara bedah buku karya Mas Syaiful Arif, buku tentang Gus Dur kebetulan yang ngisi Mas Ulil. Saya ikuti terus Mas Ulil, dan akhirnya beliau shalat Dzuhur waktu itu aku ikut jadi makmumnya. Hebatnya itu, ternyata Mas Ulil gak senegatif yang aku pikir beliau shalat layaknya kiai kampung, dengan dzikir ba'da shalat yang didzaharkan dan lumayan lama baca wiridnya.

Itulah penasaranku terhadap Islam Liberal waktu itu. Udah ah segitu aja... Intinya jangan negative thinking sama orang.

***

Rikal Dikri