Sejak awal saya telah tegas menyarankan bahwa sebaiknya Cawapres Jokowi besok adalah seorang perempuan. Bukan saja kali ini stocknya banyak, tapi kualitas mereka memang luar biasa, kompetensinya baik dan perannya sangat menonjol. Ia harus figur yang dipersiapakan sebagai Presiden 2024.
Dalam hal ini keberhasilan Jokowi memilih "pembantu perempuan"-nya memang patut diacungi jempol, nyaris gak ada yang terkena resuffle. Ya, iyalah rata-rata mereka profesional dan bukan dari parpol-parpol ngehek. Saya juga selalu bilang, beberapa dari mereka mempunyai proyeksi yang sangat mumpuni untuk menjadi Angela Merkel-nya Indonesia.
Jujur saya memang fans berat Merkel, sebagai pemimpin dunia terbaik saat ini. Ia bukan saja menjadikan Jerman sebagai negara Eropa terkuat nyaris di segala bidang: keuangan, ekonomi, teknologi, sosial budaya juga militer.
Namun berbeda dengan Amerika yang pongah dengan gaya hegemonik dan menangannya, Jerman menjadi negara yang humble dan humanistik. Ingat ketika, nyaris tak ada negara Eropa yang mau membuka diri terhadap pengungsi Suriah. Jerman satu-satunya negara yang mau menampung, hal apa yang nyaris membuat Merkel tak terpilih dalam Pilpres terakhir karena menuai protes keras secara domestik.
Dibanding China yang tampak hawek, serakah, tapi polutif dan ekspansif. Jerman tampak adem ayem saja, tidak main dumping harga, tapi terutama lebih mengedepankan sisi ekologis, ramah lingkungan, dan bervisi kuat dalam membangun peradaban masa depan. Alasan kenapa juga saya memilih menyekolahkan anak-anak saya di Jerman (halah, lebay!).
Jokowi itu, yang saya lihat dari hari ke hari wajahnya makin eye-catching dalam konteks makin pantas dan wangun jadi Presiden itu. Ia berhasil membaca tanda-tanda jaman, bahwa saat ini adalah abad perempuan. Nyaris dalam setiap film Hollywood saat ini, 90% jabatan perusahaan raksasa, pemimpin negara, tokoh super hero fiksi, atau bahkan pemimpin perlawanan (ingat Star Wars) adalah perempuan.
Kenapa demikian? Ya, karena bumi makin keras, kasar, kotor, dan mencekam. Karakter yang sangat macho dan maskulin yang brengsek. Di sinilah peran perempuan dibutuhkan untuk merangkul, menyentuh, dan memperbaiki. Di Indonesia terasa sekali peran tersebut, minimal dijalankan oleh (yang saya pantas catat) empat-lima perempuan Menteri (dari delapan yang terpilih) dan sangat menonjol.
Pertama, tentu saja harus disebut Susi Pujiastuti. Ia termasuk kategori yang "diangkat" oleh Jokowi. Ini awalnya tampak sebagai langkah liar Jokowi. Bagaimana mungkin, perempuan "preman" seperti dia, bertato, rokokan, berambut disemir dan slengekan bisa dipilih sebagai Menteri yang mengampu sisi strategis yang menguasai nyaris 72% wilayah Indonesia.
Namun coba lihat, produktivitas dan kinerjanya! Ia berhasil mengembalikan harga diri, kekayaan, dan kedaulatan laut Indonesia. Ia berani meningkatkan produktivitas hasil laut, memberangus mafia, dan merubah mental "makelar" pengusaha laut menjadi pengusaha sejati. Ia akan dikenang dengan key-word-nya: "Ngeyel tenggelamkan"!
Kedua, Sri Mulyani Indrawati, seorang berkelas bendahara dunia. Ia termasuk yang dipanggil pulang, setelah sempat dibuang SBY. Menunjukkan bukan saja, Jokowi itu menghargai profesionalitas, juga membuktikan tidak ada afkiran dalam jabatan menteri. SMI memang piawai dalam menjaga keseimbangan neraca keuangan, piawai dalam memberi argumentasi yang masuk akal (tanpa kemampuan ini mungkin SBY sudah parkir di penjara karena kasus Bank Century), dan memiliki jaringan luas dalam mencari hutangan.
Dalam konteks terakhir inilah, sebenarnya ia "mencederai" semangat Nawacita Jokowi yang berjanji untuk menjadikan negara lebih mandiri dan mengurangi beban hutang. Ia akan selalu terbebani sebagai representasi kaum neo-liberal. Apa boleh buat negara memang masih butuh banyak berhutang!
Ketiga, Retno Marsudi, seorang berkarakter diplomat sejati. Ia dingin, tidak suka mengumbar isue tapi mrantasi. Mrantasi itu bermakna menyelesaikan masalah dengan dingin, tanpa banyak gembar gembor, dan berkoordinasi secara rapi. Ia tipe perempuan yang simple, sederhana, tapi cekatan dan sebagai diplomat termasuk yang hemat bicara. Sayangnya, saat ini kebutuhan manuver politik negeri tidaklah setinggi masa lalu.
Kebijakan politik luar negeri itu hanya stempel dari banyak pekerjaan awal yang dilakukan oleh "pihak ketiga" bukan melalui meja perundingan formal, tetapi dibicarakan di cafe, restoran mahal, atau di kamar suite hotel hotel. Ibu menteri dan kementriannya "tinggal terima bersih". Ini menjelaskan kenapa ada diplomat yang sempat-sempatnyanya mencoreng mukanya sendiri, dengan berkomentar comberan terhadap Presiden-nya sendiri. Mereka gak punya kerjaan nyata! Shit!
Di luar ketiga nama tersebut, masak iya harus menyebut Puan Maharani? Namun masih ada nama lain yang hingga hari ini masih disimpan rapat oleh Ibunya, Megawati Soekarnoputri. Ia memiliki reputasi yang baik, pekerja keras, dan akan dijadikan kartu truf terakhir oleh PDI-P. Ia akan bisa jadi solusi tawar menawar, karena ia cerminan yang lebih nyata dari quadrable-majority: perempuan, muslim, Jawa, dan nasionalis.
Sayang berdasar survai Litbang Kompas terakhir, nilai elektabilitas-nya masih rendah. Ya, iyalah wong belum "dipasarkan", masih diperam agar tidak dilindas terlalu dini.
Sementara ini marilah kita asyik masyuk nonton para cawapres yang rajin jualan diri yang kebetulan pada berkelamin laki-laki itu. Bagian yang paling tolol yang mereka tidak sadari, semakin eksibisionist mereka nampang di baliho-baliho itu menunjukkan pada dunia bahwa mereka sama sekali tak pantas dilirik apalagi dipilih!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews