Inilah suasana di sebuah konferensi ilmiah. Seorang pembicara menyampaikan hasil penelitiannya. Gelarnya tinggi, dari universitas ternama di dunia. Berbagai kata dan konsep rumit disampaikan. Peserta mendengarkan dengan seksama.
Setelah itu, tanya jawab pun dimulai. Sama seperti presentasi sebelumnya, pertanyaan pun diikuti dengan konsep dan kata yang rumit pula. Hal yang sama berulang sampai tiga kali. Pembicara berikutnya maju ke depan, dan pola yang sama berulang kembali.
Di dalam konferensi semacam itu, biasanya peserta tak lebih dari 50 orang. Pembicaraan terjadi di tingkat abstraksi yang begitu tinggi. Orang yang di luar bidang ilmu pengetahuan tersebut, walaupun ia memiliki gelar tinggi, tidak akan bisa memahami isi pembicaraan yang terjadi. Begitulah keadaan sebuah konferensi ilmiah.
Hasil dari konferensi biasanya menjadi jurnal atau buku. Pembacanya pun hanya segelintir orang yang tertarik pada bidang keilmuan tertentu. Hanya sedikit sekali yang menjadi bahan pembuatan kebijakan, atau memiliki dampak langsung ke masyarakat luas. Pada ilmuwan yang ikut serta presentasi dan menulis dianggap sebagai orang yang cemerlang.
Semakin abstrak konsep dan kata yang digunakan, semakin ia dianggap cerdas dan cemerlang. Aku membingungkan, maka aku seksi. Itulah kiranya semboyan yang berlaku sekarang ini. Pada akhirnya, sebagian besar konferensi ilmiah ini hanya menjadi ajang kesombongan yang membingungkan dan tak berguna.
Menara Gading
Kiranya kritik lama terhadap dunia akademik bisa dibenarkan. Dunia akademik dilihat sebagai menara gading yang begitu tinggi, sehingga tercabut dari kehidupan manusia sehari-hari. Semakin rumit dan sulit sebuah argumen, maka ia semakin dihargai. Padahal, jika dilihat lebih dalam, kesulitan dan kerumitan tersebut tidak perlu terjadi.
Pada titik inilah perlunya membicarakan soal hubungan antara ilmu pengetahuan dan kehidupan masyarakat secara luas. Yang harus diingat, sebagian besar pendanaan penelitian ilmiah datang dari negara. Artinya, itu merupakan uang rakyat dari hasil perolehan pajak. Ada kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat luas terhadap dunia ilmu pengetahuan, bahwa ilmu pengetahuan bisa meningkatkan mutu hidup manusia
Namun, ketika para ilmuwan terjebak pada slogan “aku membingungkan maka aku seksi”, kepercayaan ini pun dilanggar. Dunia akademik menjadi sistem mandiri yang tercabut bidang-bidang kehidupan lainnya. Yang lebih parah, dunia akademik, karena terlepas dari sikap kritis masyarakat, akhirnya menjadi budak dari dunia bisnis dan ekonomi. Keuntungan ekonomi lalu dianggap sebagai tujuan utama, jika perlu dengan mengorbankan kepentingan manusia dan kepentingan alam sebagai keseluruhan.
Akar Masalah
Ini terjadi, karena setidaknya tiga hal. Pertama, dunia akademik bergerak di tingkat abstraksi. Abstraksi sendiri bukanlah kenyataan, melainkan kata dan konsep untuk menggambarkan kenyataan. Namun, dalam perjalanan, para ilmuwan mengira, bahwa abstraksi adalah kenyataan itu sendiri. Alhasil, kenyataan yang sebenarnya pun terlupakan.
Ketika kata dan konsep dianggap sebagai kenyataan, maka kebingungan adalah buahnya. Kata dan konsep kehilangan pijakan, dan menjadi tak bermakna. Dunia akademik pun, pada akhirnya, hanya menjadi dunia olah raga otak, tanpa dampak apapun bagi kehidupan manusia secara umum. Ketika ini terjadi, ilmu pengetahuan justru merugikan hidup bersama.
Kedua, masyarakat luas juga tidak lolos dari kesalahan. Kita terlalu percaya, bahwa ilmu pengetahuan akan membawa kebaikan bagi hidup manusia. Kita percaya buta pada pesona ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, senjata pemusnah massal dan berbagai teknologi perusak lingkungan juga merupakan hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Apapun bentuknya, kepercayaan buta akan mengundang masalah. Ilmu pengetahuan dan teknologi pun harus terus disikapi secara kritis oleh masyarakat luas. Jangan sampai penelitiannya tercabut begitu jauh dari pergulatan hidup manusia sehari-hari, apalagi sampai menimbulkan kehancuran. Inilah kiranya yang harus menjadi perhatian bersama.
Ketiga, kepercayaan buta pada ilmu pengetahuan dan teknologi berakar pada masalah yang lebih dalam, yakni ketergantungan. Di masa sekarang, orang tak bisa lagi hidup, tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya adalah hasil ciptaan manusia yang kini justru memperbudak manusia. Ketergantungan inilah yang mendorong lahirnya kepercayaan buta terhadap dunia akademik yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti kita kenal sekarang ini.
Yang diperlukan kemudian adalah gerakan “menanam ulang” kembali ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam kehidupan manusia secara luas. Usaha ini termasuk juga mengurangi penggunaan jargon kata dan konsep abstrak di dalam berbagai aktivitas ilmiah, sehingga memudahkan masyarakat luas memperoleh pengetahuan yang berharga dari penelitian yang dilakukan. Ini juga penting, supaya dunia akademik tidak lepas dari sikap kritis masyarakat, dan menjadi dunia yang penuh misteri.
Kepercayaan buta pada dunia akademik dan ilmu pengetahuan juga harus diakhiri. Kepercayaan buta pada apapun hanya akan berbuah masalah. Kepercayaan buta membuat akal jadi buntu. Akibatnya, perilaku dan keputusan pun juga kerap tidak masuk akal.
Yang lebih dalam, ketergantungan pada sains dan teknologi perlu terus untuk ditanggapi secara kritis. Sains dan teknologi, termasuk dunia akademik yang menjadi rumahnya, adalah alat bantu untuk kehidupan manusia. Sebagai alat bantu, ia digunakan sejauh ia berguna, dan dilepas, ketika ia mulai merusak. Sikap bebas semacam inilah yang diperlukan, ketika berhadapan dengan perkembangan sains dan teknologi.
Pada akhirnya, membingungkan tidak pernah seksi. Kalimat yang lebih tepat adalah "aku membingungkan, maka aku sendiri juga bingung".
Kerumitan adalah tanda kesalahpahaman. Kenyataan itu sederhana… dan indah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews