Menyambung soal pemilihan kepada lewat DPRD.
Sebenarnya yang menjadikan pemilihan kepala daerah secara langsung mahal ada beberapa faktor:
Pertama, calon-calon kepala daerah harus menyiapkan dana yang tidak sedikit dalam tahap awal, yaitu pencalonan, dan yang sering disebut sebagai "mahar politik". Mahar politik ini yang bikin mahal dalam pilkada langsung karena seorang calon kepala daerah yang ingin mendapatkan rekomendasi dari partai pengusung biasanya diminta "mahar politik" oleh partai pengusung.
Apalagi kalau sang calon tidak mempunyai nilai jual yang tinggi atau tingkat elektabilitas yang rendah. Tetapi kalau sang calon atau tokoh yang sudah terkenal atau dikenal biasanya tidak pakai mahar karena sang calon bisa menjadi brand ambasador yang akan menaikkan citra atau pamor partai di hadapan publik.
Kedua, setelah calon kepala daerah lolos adminitrasi dan ditetapkan oleh KPU calon kepala daerah harus menyiapakan dana untuk membuat iklan, poster atau baliho-baliho yang jumlah sangat banyak, dan ini membutuhkan dana yang sangat besar. Setelah itu masuk dalam tahap kampanye dan sosialisasi, tahap ini memerlukan dana yang lebih besar bagi calon kepala daerah.
Karena masa kampanye yang sangat lama, kurang lebih tiga bulan, sangat menguras kantong atau logistik bagi calon kepala daerah. Dan dalam pilkada serentak tahun 2018 akan dilaksanakan tanggal 27 Juni 2018 sehabis lebaran. Bayangkan saja apa tidak "gempor" tuh para calon kepala daerah ,baik kantongnya atau fisiknya yang sangat menguras tenaga.
Kalau ingin biaya pilkada langsung berkurang harusnya KPU juga kreatif dan kaya akan ide-ide atau gagasan, salah satunya memperpendek atau mempersingkat waktu kampanye yang kadang bikin stress dan jenuh calon kepala daerah.
Ini baru penyebab atau faktor yang menjadikan pilkada langsung itu mahal dari pihak para calon kepala daerah kalau ingin menjadi kepala daerah.
Ada lagi faktor atau penyebab pilkada langsung itu mahal biayanya, bahkan menguras anggaran negara, yaitu dari pihak pemerintah dan KPU sebagai pihak pelaksana atau operator. Bahkan anggaran untuk pilkada serentak tahun 2018 adalah 17 trilyun sampai dengan 20 trilyun.
Dan pengeluaran paling besar menyedot dana adalah pencetakan kartu suara untuk setiap calon kepala daerah. Sebagai contoh, untuk pilkada tingkat provinsi Jabar, daftar pemilih sementara kurang lebih 31.700.000, artinya KPU akan mencetak kartu suara sebanyak daftar pemilih sementara plus berapa persen untuk antisipasi kalau terjadi kekurangan kartu suara.
Seumpama dari jumlah 31.700.000 yang akan menggunakan hak pilihnya adalah 60% saja, berarti yang menggunakan hak pilih hanya 19.020.000 dan sisanya 40% atau 12.680.000 adalah golput atau tidak menggunakan hak pilih. Artinya kerugian kalau dihitung dari biaya cetak kartu suara sangat besar. Dan seakan mubadzir sisa kartu suara yang sudah dicetak.
Dan ini terjadi di pilkada tingkat kabupaten/kota dan provinsi dengan tingkat partisipasi yang berbeda-beda, bahkan di Sumut setiap pilkada tingkat provinsi partisipasi pemilih dibawah 50%. Bahkan ada dalam pilkada suara golput bisa mengalahkan suara yang menjadi pemenang dalam pilkada.
Nah, kalau memang pilkada secara langsung mau tetap dipertahankan, harus dicari terobosan atau solusi supaya pilkada secara langsung tidak mahal dan menghambur-hamburkan uang yang tidak sedikit.
Pertama, KPU harus mengubah cara pencoblosan yang manual menjadi sistem elektronik seperti yang pernah dibuat oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolgi (BPPT) yang pernah membuat sistem pemilihan untuk kepala daerah atau presiden, tetapi ditolak oleh KPU dengan alasan belum siap SDMnya dan dalam UU juga harus diubah karena ada kata-kata "harus dicoblos". Inilah kelemahan KPU yang terlalu normatif menyikapi UU.
Kedua, menggunakan sistem campuran, maksudnya sistem elektronik dan pencoblosan untuk wilayah di pulau Jawa atau perkotaan menggunakan sistem elektronik dan untuk wilayah pedalaman atau perdesaan menggunakan sistem pencoblosan. Dengan kombinasi sistem ini, bisa menekan biaya pemilihan langsung karena tidak ada kertas suara yang terbuang kalau ada masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Ketiga, waktu masa kampanye jangan terlalu lama seperti sekarang, yang kurang lebih tiga bulan, karena semakin lama waktu kampaye, biaya yang dikeluarkan oleh para calon kepala daerah akan semakin besar dan bisa menghindari kerawanan dalam pilkada.
Keempat, menghilangkan putaran kedua,maksudnya ada dalam pilkada apabila dalam putaran pertama tidak memperoleh suara 50%+1, maka ada putaran kedua seperti pilkada DKI Jakarta. Jadi siapa pemenang dalam pilkada mau memperoleh suara berapa persen,d ialah pemenangnya. Bisa menghemat biaya dan kerawanan sosial.
Kelima, apabila dalam pilkada hanya ada calon tunggal, lebih baik ditetapkan atau segera dilantik. Kalau yang terjadi sekarang harus melawan kotak kosong dan kalau kalah, maka akan ditunjuk plt kepala daerah,karena berdasarkan UU atau aturan memang seperti itu. Ini juga agak aneh, namanya plt tapi menjabatnya satu periode seperti jabatan kepala daerah, biasanya sifat plt itu hanya sementara.
Ini semua bisa terjadi kalau ada kemauan dan keseriusan dari pemerintah/DPR dan KPU untuk mengurangi mahalnya biaya pilkada langsung dan harus memperbarui undang-undang terlebih dahulu.
Apakah ada cara atau alternatif lain dalam pemilihan kepala daerah yang murah dan efisien dan masih melibatkan peran atau partisipasi masyarakat? Banyak cara kalau kita mau dan sungguh-sungguh ingin mencari alternatif lain selain pilkada langsung.
Pertama, pemilihan kepala daerah untuk tingkat kabupaten dan kota dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Tentu seorang Menteri Dalam Negeri tidak bisa menunjuk atau memilih kepala daerah berdasarkan unsur suka atau tidak suka atau berdasarkan karena satu partai atau titipan. Terus bagaimana caranya?
Caranya adalah Menteri Dalam Negeri membentuk sistem Panitia Seleksi atau Panel yang di isi oleh tokoh-tokoh dari unsur masyarakat, budayawan dan akademisi atau unsurnya lainnya yang mempunyai track rekord yang baik dan bersih, kredibiltas dan kompeten menjadi unsur utama menjadi panitia seleksi.Jadi peran atau partisipasi masyarakat masih dilibatkan.
Dan partai-partai politik boleh mengajukan calon atau kadernya untuk ikut seleksi menjadi kepala daerah yang dilakukan oleh Panitia Seleksi. Sistem ini mirip pemilihan anggota KPK dan anggota hakim Mahkamah Konstitusi. Dalam pemilihan anggota KPK dan sebagian anggota MK.
Presiden membentuk Panitia Seleksi yang di isi oleh pakar-pakar dari akademisi yang kredibel dan kompeten dibidangnya. Dan setelah menyeleksi secara ketat, Panitia Seleksi akan menyerahkan hasil seleksi itu kepada presiden dan presiden akan menyerahkan kepada DPR untuk memilih anggota KPK. Kalau untuk anggota MK dari unsur pemerintah,yang akan memilih adalah presiden. Kalau dari unsur DPR yang memilih yaa DPR.
Kembali ke pemilihan kepala daerah lewat Kementerian Dalam Negeri, setelah Panitia Seleksi melakukan seleksi kepada para pasangan calon kepala daerah, panitia seleksi menyerahkan hasil seleksi pasangan calon kepala daerah kepada Menteri Dalam Negeri untuk memilih pasangan calon kepala daerah, hasil seleksi.
Cara seperti ini lebih bisa mensinergikan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, tidak seperti pilkada langsung, di mana banyak kepala daerah yang membuat peraturan daerah atau Perda yang terkadang malah bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Apalagi pemerintah pusat tidak bisa langsung membatalkan Perda. Yang menciptakan raja-raja atau penguasa kecil di daerah.
Kedua, untuk pemilihan kepala daerah tingkat provinsi dipilih langsung oleh presiden. Tata caranya sama dengan pilkada tingkat kabupaten dan kota dengan membentuk sistem Panitia Seleksi. Toh fungsi gubernur sebenarnya hanya mengkoordinasikan antara kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota.
Ini hanya wacana atau gagasan atau ide-ide dari penulis, kalau ada penulis lain yang ingin menambahkan atau ingin menuangkan gagasan atau wacana,monggo silahkan,semakin banyak gagasan dan ide-ide akan lebih baik.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews