Bahan Bakar Politik dan Politik Menguapnya Premium

Senin, 16 April 2018 | 06:13 WIB
0
845
Bahan Bakar Politik dan Politik Menguapnya Premium

Saat ini, soal apa saja bisa dipolitisasi, dari mulai masalah agama, komoditi, infrastruktur, bahkan hingga puisi. Isu-isu sosial dan politik bisa menjadi kreativitas sebagian orang diolah menjadi "bahan bakar" politik, dipakai untuk menyuplai kendaraan politik yang mereka pergunakan agar terus bergerak dan berjalan menuju stasiun akhir kekuasaan.

Tidak hanya dalam perspektif positif yang menguntungkan, penggunaan "bahan bakar" mungkin saja dapat dipergunakan sebagai "alat" untuk membakar apa saja yang dianggap merintanginya, sehingga justru berdampak negatif dan merusak.

Bagi pihak penguasa, bahan bakar politik itu mudah didapat, bahkan yang tidak ada-pun bisa saja dengan mudah mewujud. Mesin politik kekuasaan bahkan dengan mudah melaju cepat, tanpa pernah kekurangan atau kehabisan bahan bakar. Suplainya seakan tak pernah mati, terus menerus mengisi, bahkan mungkin saja melebihi pasokan.

Jika bahan bakar model subsidi yang paling sering dimanfaatkan oposisi, maka pihak penguasa tak perlu repot-repot mencari, tinggal mengolahnya sendiri, apa saja bisa jadi bahan bakar bagi kendaraan politiknya.

Karena seringkali kehabisan "bahan bakar", pihak oposisi kadang harus putar otak mencari alternatif sendiri demi "menghidupkan" mesin politiknya. Bukannya menjadi penyeimbang dan pengkritik atas setiap kebijakan penguasa yang mulai "menggila", mereka malah sibuk "mengoplos" bahan bakar politiknya demi kepentingan kekuasaannya.

Munculnya ujaran kebencian, berita bohong, atau kampanye menyangkut isu SARA, kadang terpaksa dijadikan bahan bakar demi tetap berjalannya mesin politik, meskipun pada akhirnya seringkali mogok di jalanan. Saya kira, prinsip bahan bakar seharusnya menjadi bagian entitas mesin yang tak merusak, sehingga laju kendaraan-pun tak terganggu dan sampai pada tujuan yang diharapkan.

Bicara soal bahan bakar, kini pun benar-benar terjadi, tapi ini soal kelangkaan premium yang justru menjelang tahun politik akan diadakan kembali. Kebijakan Presiden Jokowi yang akan merevisi Perpres No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM berdampak sangat politis.

Bagaimana tidak, BBM jenis premium yang dalam aturan sebelumnya hanya didistribusikan diluar Jawa, Bali, dan Madura, kini harus didistrubusikan kembali ke seluruh daerah. Apakah ini terkait tahun politik?

Mungkin saja, karena bagaimanapun, BBM jenis premium lebih murah harganya dibanding penggantinya Pertalite. Walaupun jenis BBM premium ini ditujukan untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah, tapi kenyataan di lapangan tentu saja berbeda. Padahal, Pertamina sendiri mengaku rugi jika menjual premium, karena harganya tak kunjung dinaikkan oleh pemerintah.

Memang, kebijakan revisi BBM Premium ini disatu sisi akan lebih menggembirakan masyarakat tertentu, tetapi akan membuat pusing para pengusaha pompa bensin.

Konon katanya, pengusaha harus mengganti tangki pendamnya dari yang sebelumnya untuk Pertalite berubah hanya untuk Premium. Pilihannya pasti kembali ke premium dan ogah mengisi tangki pendamnya untuk Pertalite, karena BBM Premium pastinya akan lebih laku dan paling banyak diminati masyarakat.

Lhokok bisa? Padahal itu BBM bersubsidi? Ya, mungkin masyarakat kita masih sangat mengharap "subsidi" dari pemerintah, tak hanya soal bahan bakar, kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan ternyata seluruhnya "disubsidi" pemerintah. Jadi, sulit rasanya kita ini mandiri kalau masih sangat tergantung dengan subsidi.

Begitulah tahun politik, karena penguasa mudah saja mengadakan bahan bakar sebagai suatu kebijakan populis yang tentu saja memiliki tujuan politis.

Perubahan kebijakan ini, tentu saja menuai kritik dari banyak pihak karena bertentangan dengan reformasi bidang energi yang sebelumnya dicanangkan pemerintah.

Premium, disebut sebagai bahan bakar yang tak ramah lingkungan, sehingga melalui Perpres yang telah ada diupayakan untuk dikurangi dan diganti dengan jenis lain. Saya pun merasakan, begitu langkanya premium bahkan sejak akhir tahun 2017 lalu dan konsumen "dipaksa" untuk beralih ke jenis Pertalite yang lebih "ramah" dan tentu saja non subsidi.

Saya kira, kebijakan populis ini pada akhirnya memperlihatkan betapa mudahnya "bahan bakar politik" diwujudkan pihak penguasa.

Kebijakan populis memang bertujuan politis, lain halnya dengan kebijakan bisnis tampak manis walaupun bikin miris. Para ivestor yang sanggup menggelontorkan dananya bagi negeri ini diatas Rp 30 triliun akan mendapatkan privilege dari pemerintah berupa intensif tax holiday atau diliburkan membayar pajak selama 20 tahun.

Di bawah itu, yang sanggup mengucurkan dana 5-15 triliun, bisa libur pajaknya hingga 10 tahun. Bagi pengusaha berkantong tebal, ini bisa jadi "bahan bakar" untuk menggenjot laju bisnisnya dengan "gratis pajak" di Indonesia. Menarik bukan? Disaat para UMKM dan pengusaha lokal yang omsetnya tak seberapa, dikejar-kejar program tax amnesty, namun disisi lain ada kebijakan istimewa dari negara bagi mereka yang berbisnis skala besar.

Menariknya lagi, tunjangan kinerja dan THR PNS pada lebaran tahun ini juga bakal dinaikkan. Kebijakan ini tentu saja populis dan akan membuat para pegawai pemerintah tersenyum lebar jelang lebaran nanti. Kondisi ini sangat kontras dengan kenyataan para pekerja ojek online (ojol) yang mengeluh omsetnya turun drastis bahkan jauh dibawah UMR, padahal kinerja para diriver ojol ini yang saya tahu, bisa seharian keliling jalanan, mengantar setiap orang yang membutuhkan jasanya. Jam kerja mereka bisa jauh melebihi PNS, tetapi nasib mereka sebagai warga negara yang juga berjasa, terkatung-katung di jalanan tanpa ada kejelasan.

Jadi, pilih kebijakan populis atau kebijakan bisnis? Toh, keduanya bisa jadi "bahan bakar" politik yang tentu saja dalam banyak hal sangat menguntungkan penguasa, sedikit saja yang berdampak pada kesejahteraan rakyat. Walaupun kita sendiri tak memungkiri, bahwa inilah resiko demokrasi yang bahan bakarnya berasal dari suara rakyat.

Rakyat yang mana, tentu kita sangat paham, karena demokrasi selalu bicara mayoritas dan disisi lain kadang menekan pihak-pihak minoritas. Jadi, aku harus bagaimana? Mungkin bait-bait pusi Gus Mus yang sempat menjadi kontroversi belakangan patut kita renungkan, karena didalamnya tak hanya kritik terhadap diri sendiri, tetapi juga mengkritik berbagai kenyataan yang ada di luar diri kita.

***

Editor: Pepih Nugraha