Tentang Fiksi-nya Rocky Gerung dan Perbatasan Kamus

Minggu, 15 April 2018 | 12:30 WIB
0
1012
Tentang Fiksi-nya Rocky Gerung dan Perbatasan Kamus

 

Gara-gara orang meributkan ucapan Rocky Gerung soal “fiksi”, saya jadi diingatkan kembali kepada seorang guru yang telah berpulang sembilan tahun lalu. Perdebatan tentang apa itu “fiksi”, yang kemudian dibahas oleh para pemalas dengan merujuk kepada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), membuat saya jadi bisa memahami bagaimana kesepiannya dulu Hidajat Nataatmadja (1932-2009).

Bayangkan, Anda mengajak orang untuk menjelajahi belantara penalaran, namun mereka menanggapinya dengan menunjuk pagar rumah pekarangan masing-masing. Atau, itu tak ada bedanya dengan Fernando de Magelhaens yang mengajak berlayar ke Barat untuk menuju ke kepulauan rempah-rempah di Timur, lalu orang-orang menanggapinya dengan menunjukkan peta Ptolomeus. Begitulah dulu tanggapan yang dihadapi oleh Hidajat.

Bayangkan, betapa sangat menjengkelkannya.

Rocky tentu saja bukan Hidajat. Ia juga tak pernah menulis buku yang solid dan persisten sebagaimana Hidajat. Tapi ajakannya untuk menyelami filosofi, yang kemudian segera ditanggapi oleh para pemalas dengan menyodor-nyodorkan kamus, adalah hal menjengkelkan yang sejenis.

Padahal, ajakan untuk menjelajahi nalar adalah sebuah ajakan yang berimpit dengan tawaran menjelajahi tapal batas bahasa.

Dan persis di situ sebuah catatan penting perlu dikemukakan: hampir tak pernah ada terobosan inovatif dalam dunia ilmu pengetahuan yang tak pernah melibatkan inovasi berbahasa di dalamnya. Immanuel Kant, misalnya, seperti pernah ditulis Habermas dalam “Postmetaphysical Thinking” (1988), tak akan pernah bias mengungkapkan pikiran-pikirannya secara memadai seandainya ia tak memberi bentuk yang sama sekali baru kepada bahasa tradisional di bidang keilmuan yang ditekuninya.

Para fisikawan teoritis atau ahli matematika yang menggumuli teori paling abstrak sekalipun, selalu membutuhkan metafor untuk menjelaskan teorinya, di mana melalui metafor-metafor itu mereka seringkali ikut memperbaiki bahasa. Sebab, bahasa bukanlah artefak mati, melainkan perkakas yang terus-menerus dibentuk.

Itu sebabnya, ajakan Rocky untuk merekonstruksi dan menemukan kembali pengertian “fiksi”, sebenarnya sangat pantas ditanggapi secara memadai.

Banyak orang mungkin sudah lupa bahwa saat Bertrand Russel menerima Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1950, seumur hidupnya ia tak pernah menulis novel. Russel adalah matematikawan Inggris. Jika Anda pernah menonton film “The Man Who Knew Infinity” (2015), yang menceritakan kisah hidup seorang jenius matematika asal India, Srinivasa Ramanujan, saat Ramanujan diundang matematikawan G.H. Hardy ke Universitas Cambridge, Russel waktu itu masih mengajar di Cambridge. Sosok Russel hadir dalam beberapa adegan.

Russel juga tak diganjar hadiah Nobel karena puisinya. Ia diberi Hadiah Nobel Sastra karena tiga jilid karyanya yang bertajuk “Principia Mathematica” yang ditulis bersama Whitehead.

Apakah “Principia Mathematica” adalah karya sastra?! Jadi, apa sebenarnya sastra?

Sayangnya saya sedang tidak ingin berpanjang membahas soal itu. Saya juga tak ingin membahas kasus Rocky. Yang jelas, sepertinya hanya orang-orang malas berpikir saja yang akan memisah-misahkan bahwa karya-karya Russel adalah semata-mata berisi teori, sementara karya-karya James Joyce, misalnya, hanyalah fiksi belaka. Bukankah saat Umar Kayam menulis novel “Para Priyayi”, cukup jelas ia menuliskannya sebagai bentuk tanggapan atas tesis trikotominya Geertz?!

[irp posts="14108" name="Pesan Rocky Gerung: Kita Mesti Sinis terhadap Kekuasaan"]

Saat ini saya hanya ingin mengawetkan ingatan kepada Hidajat saja. Obrolan mengenai “fiksi” tadi telah mengingatkan saya kembali kepadanya, terutama kepada diktumnya yang terkenal: “Yang GHAIB itu NYATA, yang RASIONAL itu ABSTRAK, dan yang EMPIRIS itu SEMU”. Saat mengutarakan hal itu, ia tak sedang bermain kata-kata, tetapi sedang memetakan belantara nalar dengan merekonstruksi ulang sejumlah pengertian yang kita imani dalam berbahasa.

Untuk memahami diktum tersebut, Hidajat berusaha membongkar kembali pengertian “obyektivitas” dan “subyektivitas”. Pembahasannya mengenai OBYEKTIVITAS dan SUBYEKTIVITAS ini menurut saya cukup berguna untuk membantu diskusi kita hari ini mengenai soal “fiksi” dan “bukan-fiksi”.

[caption id="attachment_14165" align="alignleft" width="395"] Hidajat Nataatmadja (Foto: Bukoe.com)[/caption]

Dalam berbagai bukunya, Hidajat menulis jika saintisme telah meletakkan obyektivitas pada tempat yang sangat superior, di mana pada posisi sebaliknya subyektivitas ditempatkan pada posisi yang inferior. Padahal, menurut Hidajat, landasan yang dijadikan dasar tempat manusia membangun ilmu pengetahuan sebenarnya adalah subyektivitas.

Meskipun matematika tidak bisa membenarkan matematika, misalnya, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Kurt Gödel, manusia dengan subyektivitasnya dapat mengambil keputusan mengenai benarnya matematika, sama seperti halnya pembenaran terhadap rasionalisme, empirisme, obyektivitas, serta relativisme dalam dunia ilmiah.

Hanya saja, menurut Hidajat, kita tidak menyadari bahwa prinsip-prinsip atau azas-azas yang melandasi bekerjanya sains sudah ada sebelum sains ada, sehingga dengan demikian sains tidak mungkin mampu membenarkan ataupun menyangkal prinsip pendahulunya.

Pada titik inilah kita harus menginsyafi benar jika fundamen sains sesungguhnya adalah “subyektivitas”—alias “KEYAKINAN kita akan kebenaran sains”. Karena sains dimulai dari keyakinan, subyektivitas, maka penyelidikan mengenai kebenaran sains pertama-tama harus dimulai dari pencarian mengenai apa yang disebutnya sebagai “ilmu subyektif”.

Subyektivitas yang dimaksud Hidajat berbeda dengan subyektivitas yang lazim kita pahami, yaitu subyektivitas Cartesian. Yang dimaksud dengan ilmu subyektif oleh Hidayat adalah “ilmu mengenai manusia sebagai subyek; subyek yang bisa berpikir, subyek yang sadar, subyek yang bisa merefleksikan dirinya, subyek yang bisa—dalam batas-batas tertentu—menciptakan hari depannya”.

Karena ilmu subyektif adalah ilmu tentang manusia sebagai subyek, maka ilmu yang mempelajari benda-benda, serta segala yang bersifat non-manusia tapi menjadi bagian dari pengalaman manusia, disebutnya sebagai ilmu obyektif.

Dalam konsepsi tersebut, sains masuk kategori ilmu obyektif. Sebagai ilmu obyektif, sains tidak bisa dipakai untuk menerangkan atau mempelajari manusia sebagai subyek. Wujud fisik manusia memang bisa dipelajari dengan ilmu-ilmu obyektif, seperti kedokteran, biologi, atau fisika, tapi manusia sebagai subyek berada sepenuhnya di luar daya jangkau ilmu obyektif.

Di sinilah Hidajat menilai kekeliruan fatal manusia modern ditanam, yaitu memaksakan penggunaan ilmu obyektif untuk mempelajari manusia sebagai subyek.

Untuk memperjelas konstruksinya atas konsep obyektivitas dan subyektivitas dalam penalaran manusia, Hidajat memperkenalkan lima gradasi tingkat kesadaran, yang biasa disebutnya sebagai lima Maqam Kesadaran, untuk menggambarkan hubungan dunia subyektif dan obyektif.

Maqam 4. Tipologi Kesadaran: Subyektif-Subyektivitas (Sufisme)

Maqam 3. Tipologi Kesadaran: Subyektif-Obyektivitas (Hidajatisme)

Maqam 2. Tipologi Kesadaran: Okyektif-Subyektivitas (Sains)

Maqam 1. Tipologi Kesadaran: Obyektivitas Mentah (Kesadaran Primitif)

Maqam 0. Tipologi Kesadaran: Obyektif-Obyektivitas (Nihilisme)

Pada mulanya kesadaran manusia bersifat mentah, yaitu kesadaran yang sepenuhnya terperangkap pada persepsi inderawi. Ini merupakan bentuk kesadaran purba, ketika pengetahuan manusia mengenai hal-ihwal masih bersifat sederhana. Ini adalah ciri Maqam Kesadaran tingkat pertama. Dalam perjalanannya, seiring perkembangan inteligensi manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia mulai menyadari adanya distingsi antara dunia obyektif dengan dunia subyektif.

[irp posts="14103" name="Mendadak Filsafat, dari Sutan Takdir Alisjahbana ke Rocky Gerung"]

Tetapi para pekerja keilmuan mengira bahwa dunia subyektif itu merupakan derivat dari dunia obyektif, sebagaimana halnya dicontohkan oleh rasa lapar (yang bersifat subyektif) yang merupakan indikasi dari “perut kosong” (yang bersifat obyektif). Penalaran ini kemudian mengukuhkan prinsip bahwa segala sesuatu yang bersifat subyektif haruslah dicari keterangannya pada dunia obyektif.

Dengan keyakinan bahwa dunia subyektif merupakan derivat dari dunia obyektif tersebut, maka kemudian tersusun kesimpulan lebih lanjut bahwa hakikat keperiadaan, atau level kesadaran tertinggi, berada pada level obyektivitas yang bersifat obyektif. Makna dari kesimpulan ini adalah dunia obyektif itu ada dengan sendirinya, sama seperti halnya cogito Cartesian yang teguh berprinsip bahwa “ada”-nya “aku” tidak bersifat diturunkan.

Dalam pandangan Hidajat, keyakinan terhadap proposisi bahwa hakikat keperiadaan berada di level obyektif-obyektivitas itulah yang telah sukses mengantarkan filsafat arus utama pada jurang nihilisme, bahwa “ADA itu TIADA”, puncak dari kontradiksi logika yang menurutnya tak kepalang tanggung. Apa yang dianggap sebagai kesadaran tertinggi itu dalam pandangan Hidajat justru merupakan kesadaran paling rendah.

Untuk menghindari kesalah-pahaman terhadap konsep subyektivitas yang dicarinya, Hidajat membuat dua kategori subyektivitas. Pertama, subyektivitas yang bersumber di dunia obyektif, yaitu dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai wujud biologis, serta; kedua, subyektivitas yang bersumber di dunia subyektif, yaitu dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai subyek, sebagaimana menjadi pokok gagasan filsafat yang dibangunnya.

Dalam kaitannya dengan subyektivitas yang pertama, dia menguraikan bahwa subyektivitas yang bersumber pada dunia obyektif tidaklah bisa dipercaya, sehingga harus diverifikasi oleh ilmu-ilmu obyektif. Contoh dari subyektivitas yang bersumber di dunia obyektif adalah rasa sakit, panas, hasrat seksual, lapar, dan sebagainya, yang kesemuanya bersifat empiris. Sedangkan subyektivitas di dunia subyektif sepenuhnya tidak bisa diverifikasi oleh ilmu-ilmu obyektif, melainkan harus dengan ilmu subyektif, sebuah konsepsi yang sedang digeledahnya.

Menurutnya, ada dua persoalan yang membelit filsafat arus utama dan membuatnya berkutat dengan kebuntuan dan kontradiksi, yaitu NIHILISME dan RELATIVISME. Kontradiksi itu dalam pandangan Hidajat sangat terang, yaitu bahwa arus pemikiran kontemporer terjebak pada pemusatan pikiran yang berusaha me-MUTLAK-kan RELATIV-isme, serta memper-ADA-kan NIHIL-isme.

Terlepas dari penilaian bahwa relativisme dan nihilisme mengandung kontradiksi, “kemutlakan” relativisme, sebagaimana diimani banyak filosof, menurutnya, sedikit atau banyak menunjukkan bahwa betapapun besarnya keinginan kita untuk memelihara asas relativisme, kita akhirnya akan selalu sampai pada titik bahwa RELATIVISME itu harus MUTLAK. Atau, dalam bahasa lain, gagasan tentang "pluralitas subyek" tetap saja selalu membutuhkan kehadiran semacam "ide absolut".

Persoalannya adalah, jika keharusan ini merujuk pada substansi terpapar (extended substance) dalam dimensi yang sama, kita akan terperangkap pada penjara kontradiksi: bagaimana bisa sesuatu memiliki ciri relatif dan mutlak dalam waktu bersamaan; bagaimana bisa sesuatu bisa ada dan tiada (nihil) sekaligus?!

Satu-satunya jalan agar tidak terjadi kontradiksi adalah apa yang sedang kita bicarakan haruslah bukan substansi yang sama dan/atau haruslah merujuk kepada substansi-substansi yang berada pada dimensi konseptual berbeda. Jika dikaitkan dengan maqam-maqam yang telah dipapar Hidajat, yang dimaksudkan tentu tiada lain adalah bahwa kita sedang berbica mengenai struktur dari sebuah hirarki kesadaran yang tidak mengandung kontradiksi-kontradiksi.

Dunia obyektif, yang bersifat empiris dan memiliki ciri relatif, hanya memiliki makna kalau dikaitkan dengan subyektivitas yang menjadi dasarnya, yaitu subyektivitas yang bersifat ghaib dan memiliki ciri mutlak. Keduanya tidak bersifat dualistik, sebagaimana diajarkan filsafat arus utama, melainkan mengada sebagai rukun paritas, saling- berpasangan.

Rukun paritas merupakan gagasan penting lain yang dikemukakan Hidayat untuk meneguhkan pemikirannya. Rukun ini, jika disatukan dengan diktum awal yang telah lebih dulu dikemukakannya, yaitu “saya eling maka saya ada”, akan membentuk bangunan di mana dunia obyektif bersatu dengan dunia subyektif, atau yang dalam pembuka buku “Kebangkitan Al Islam” (1985) disebut Hidajat sebagai penyatuan ide dengan wahyu.

Penyatuan ini kemudian memunculkan realisme baru yang sepenuhnya mengubah pandangan lazim ihwal kedudukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Hidayat merumuskan realisme itu dalam tiga prinsip yang bersifat hirarkis, yaitu bahwa

(1) yang GHAIB itu NYATA,

(2) yang RASIONAL itu ABSTRAK, dan

(3) yang EMPIRIS itu SEMU.

Dengan tiga prinsip tersebut, kiranya menjadi jelas apa yang dimaksud oleh Hidajat sebagai hakikat dari yang ghaib, yaitu tiada lain adalah sunatullah, karsa keagamaan.

Dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai subyek, sunatullah menubuh dalam bentuk fitrah, yang dimaknai Hidajat sebagai potensi laten yang mengada (baik dalam pengertian rohaniah, maupun jasmaniah) pada setiap manusia. Lewat penjelasan tersebut Hidajat mempertemukan kerelatifan sains dengan penjelasnya, yaitu ilmu subyektif yang haq. Dan ilmu subyektif yang haq itu tiada lain adalah “agama”.

Susunan hirarkis tadi, jika ditelaah, sejalan dengan tiga tingkat kognisi manusia, sebagaimana misalnya pernah diungkapkan oleh Al Ghazali, yaitu—dari yang paling rendah—(1) nafs ammarah, (2) nafs lawwamah, dan (3) nafs muthmainah, yang masing-masing menurut Hidayat berimpit dengan lokus kesadaran pada dunia (1) empiris, (2) rasional, dan (3) spiritual.

Jika kedua struktur tadi dikaitkan dengan konsep “keyakinan”, struktur tersebut sebangun dengan tiga jenis keyakinan yang bekerja pada masing-masing level tadi, yaitu (1) ilmul yakin pada dunia empiris, (2) ainul yakin pada dunia rasio, dan (3) haqul yakin pada dunia spiritual. Itulah yang dimaksud bahwa kesadaran manusia berlapis-lapis.

Dari Hidajat saya belajar mengenal bahwa sesungguhnya agama adalah “Ilmu Subyektif”. Hanya saja, sebagaimana dipaparkan dalam banyak bukunya, Hidajat membangun pengertian sendiri atas konsep “subyektif” tersebut, terlepas dari pengertian sebagaimana yang terpacak di kamus-kamus filsafat dan ilmu sosial yang ada.

Jadi, jika Anda gampang salah paham terhadap bahasa, mungkin kamus yang Anda punya memang terlalu tipis, sehingga tak menghimpun semua makna. Jikapun tebal, kamus itu mungkin hanyalah KBBI saja.

Dan supaya Anda semua senang, penilaian ini berlaku baik untuk sebagian Prabower maupun sebagian besar Jokower, he he he.

***