Apakah Tagar 2019 Ganti Presiden Paralel dengan Jokowi Dua Periode?

Sabtu, 7 April 2018 | 18:30 WIB
0
1086
Apakah Tagar 2019 Ganti Presiden Paralel dengan Jokowi Dua Periode?

Di samping muncul tagar dua periode untuk kepemimpinan Jokowi, muncul pula anti-tesis dengan tagar 2019 ganti presiden. Tapi, benarkah itu gerakan yang berbeda?

Secara normatif, tagar 2019 ganti presiden paralel atau sejalan dengan tagar dua periode. Karena memang pada dasarnya, Pilpres 2019 tentulah mencari presiden baru, bukan presiden lama. Siapa presiden baru?

Masa kepresidenan Jokowi secara konstitusional berakhir 2019. Bisa jadi diganti sosok lain, misalnya Prabowo atau Rizieq Shihab.

Tetapi bukan tak mungkin, atau tidak tertutup kemungkinan, presiden baru (yakni periode 2019 – 2024) adalah Jokowi, dengan label Presiden RI Periode 2019 – 2024, bukan periode 2014 – 2019 yang sudah lewat atau tergantikan.

Kita pasti akan mempunyai presiden baru, yakni presiden periode 2019 – 2024 mengganti presiden periode sebelumnya. Meski bisa jadi orangnya sama.

Mengerti? Jika tidak, mari belajar bahasa politik yang agak belibet.

Salah satu petinggi Gerindra (Dasco Achmad), juga petinggi PKS (Mardani Ali Sera), mengatakan kalau semua (presiden) ingin dua periode, di mana demokrasi? Jawabnya juga mudah, demokrasi tentu tetap pada tempatnya, jika proses presiden (entah 1 atau 2 periode) tetap melalui mekanisme pemilihan umum, dengan menempatkan kedaulatan rakyat. Karena yang menentukan dua periode atau bukan, bukan Gerindra atau PKS, tetapi konstitusi dan rakyat pemilik hak suara. Apakah dengan dua periode SBY dulu melanggar demokrasi?

Pernyataan Gerindra dan PKS itu, paradoks dengan pernyataan Fadli Zon, yang menginginkan presiden kuat, dengan contoh Putin. Contoh yang dimajukan, kebetulan Presiden Rusia yang hampir mirip Soeharto.

Putin menjajabat Perdana Menteri pertama (1999), pelaksana jabatan presiden (1999–2000), jabatan presiden pertama (2000–2004), jabatan presiden kedua (2004–2008). Karena tak ingin tampak berkuasa terus-menerus, pada periode berikut Putin “hanya” menduduki jabatan perdana menteri kedua (2008–2012) di jaman presiden Dmitry Medvedev. Tapi Putin kembali menduduki kursi presiden ketiga (2012–2018), dan memenangi lagi pilpres tahun ini untuk periode ke-empat.

Itukah maksud Zon soal presiden kuat? Ataukah Zon sedang hendak mencontohkan Soeharto, yang berkuasa 32 tahun, berkola-kali periode, dengan cara dipilih langsung parlemen, dan bukan rakyat?

Mangkanya kalau bisa, menurut Zon, bahwa 2019 Prabowo presiden, dan diharapkan bisa meniru kekuatan Putin atau Soeharto? Sampai Prabowo thuyuk-thuyuk, karena harus jadi presiden hingga usia 90 atau 100 tahun? Kini saja, tampilannya seolah sudah kembali menjadi anak-anak.

[caption id="attachment_13937" align="alignright" width="472"] Jokowi (Foto: Garisdua.com)[/caption]

Orang politik yang hanya berorientasi kekuasaan, ya, kayak gitu itu. Cenderung inkonsisten. Persis Amien Rais, juga Rizieq Shihab, ngotot anti PKI, tapi giliran Anies Baswedan memajang Nursyahbani Katjasungkana sebagai tim khusus Gubernur DKI, mereka diam saja. Padahal Nursyahbani paling ngotot soal pembelaan PKI dengan mengendors Pengadilan Tribunal untuk menekan Indonesia.

Persis juga ketika Amien Rais atau orang-orang FPI-FUI, menuding pemerintah menghina ulama. Namun senyampang itu, diam-diam, mereka mengakui kasus percakapan mesum Rizieq Shihab itu ada. Indikasinya? Amien Rais bilang dibanding kasus Alexis, apa yang dilakukan Rizieq Shihab tak ada apa-apanya. Jadi, ngakuin percakapan itu ada yah, meski keciiiiillll dan tidak dosa, untuk menegasi soal Alexis?

Apa yang bisa kita banggakan, dengan politikus somplak macam ‘gituan? Pada pilpres mendatang, kita memang butuh presiden baru. Yakni, presiden periode 2019 – 2024, untuk mengganti presiden lama periode 2014 – 2019. Kalau Jokowi yang terpilih lagi, jangan menuding masih sama, apalagi mengatakan melanggar demokrasi.

Kalau masih sama dan lama, ngapain Mahkamah Konstitusi mengeluarkan nomor pengesahan presiden baru, dan parlemen melantik serta mengambil sumpah untuk presiden baru? Lagian, toh apanya yang dilanggar? Aturan konstitusinya membolehkan to, Cuk?

Toh itu karena adanya pilpres hasil suara rakyat to, Cuk? Toh tidak sebagaimana Presiden Rusia, kebanggaan lulusan Sastra Rusia itu to, Cuk?

Kalau tiga periode, itu baru melanggar aturan. Apalagi kayak Mbah Harto to, Cuk!

***

Editor: Pepih Nugraha