Sukmawati Soekarnoputri dua kali mencium tangan Pak Kyai Ma’ruf Amin sebagai tanda terima kasih permintaan maafnya diterima. Walaupun dia mengaku tidak ada niat menghina agama Islam, tapi kedatangannya di kantor MUI menunjukkan apa yang dia tulis dalam puisinya memang salah. Kalau nggak buat apa dia minta maaf?
Soal MUI tidak mengeluarkan fatwa bukan berarti puisi Sukmawati tidak ada unsur penghinaan terhadap Islam. Pak Kyai Ma’ruf Amin beralasan, karena sudah minta maaf tidak perlu ada fatwa.
"Kalau orangnya ngeyel, baru kami keluarin (fatwa). Ini kan (Sukmawati) orangnya sudah minta maaf. Kalau orangnya lantang baru MUI keluarin fatwa," kata Pak Kyai Ma'ruf kepada sejumlah media.
Soal Pak Kyai mengimbau umat Islam memaafkan Sukmawati dan mengimbau agar tidak dilanjutkan ke ranah hukum, wajar-wajar saja. Sebagai orang tua yang sudah berusia 75 tahun, menjabat rois Am PBNU, Ketua umum MUI, saya rasa imbaun Pak Kyai menunjukkan sikap orang tua yang ingin kebaikan semua pihak.
Namanya juga imbauan, bisa diikuti bisa juga tidak. Maka bagi yang sudah terlanjur melaporkan ke ranah hukum dan bagi yang baru niat melaporkan juga tidak ada salahnya jika diteruskan laporannya atau jika ada yang beniat mau mencabut. Wajar-wajar saja. Atau memaafkan orangnya, tapi kasusnya tetap diteruskan. Juga wajar-wajar saja.
Bagi yang berniat tetap agar Sukmawati diproses hukum juga sangat wajar. Tujuannya jelas, agar keadilan berlaku bagi siapa saja. Ustadz Alfian Tanjung, Jonru, Buni Yani, Asma Dewi telah merasakan bagaimana hukum telah memperlakukannya. Juga bagaimana semangat yang ditunjukkan Sukmawati saat melaporkan HRS artas tuduhan menghina Pancasila.
Pertanyaannya, apakah dengan tidak mendengar imbauan Ketum MUI berarti melecehkan Pak Kyai? Nggak juga. Masih ingat kan aksi 212?
Kedekatan Pa Kyai Maruf Amin dengan pemerintah bisa menjadi jembatan penghubung kebuntuan antara pemerintah di satu sisi dengan pihak yang bersebarangan dengan pemerintah di sisi lain.
Ketika terjadi ketegangan jelang aksi dua satu dua, walaupun Pak Kyai mengimbau agar membatalkan niat aksi itu, tapi Pak Kyai juga memahami niat “anak-anaknya” sulit dibendung. Pemerintah pun tetap pada pendiriannya, melarang aksi itu.
[irp posts="13781" name="Puisi, Kitab Suci, dan Deklamasi"]
Pada saat ketegangan sampai pada titik kritis, Pak Kyai tampil sebagai penengah. Walhasil, panitia aksi dan pemerintah mencapai kata sepakat, aksi tetap berjalan dipusatkan di Monas. Walaupun pada akhirnya meluber juga sampai jauh, itu soal lain. Beliau didaulat menjadi imam sholat jum’at pada aksi itu. Beliau tidak mengiyakan, juga tidak menolak.
Setelah beliau pertimbangkan, beliau tidak datang ke acara aksi itu. Dapat dipahami, aksi dua satu dua memang mendapat penolakan dari kalangan petinggi NU. Pak Kyai ingin berdiri di tengah anak-anaknya yang pro dan kontra. Terpenting, aksi itu berlangsung super damai. Kata Penjabat Gubernur DKI, tidak ada satu pun ranting yang patah. Walhasil, yang kontra pun memuji kesuper damaian aksi itu.
Pada kasus Ahok, kedekatan Pak Kyai pada pemerintah tidak menyurutkan setapak pun pendapat Pak Kyai bahwa Ahok memang menista agama Islam sebagaimana yang dinyatakan pada kesaksiannya di persidangan.
Jelas kan? Imbauan Pak Kyai untuk meredam agar tidak terjadi kegaduhan yang dapat merugikan semua pihak. Coba Anda bayangkan, dalam situasi panas kaya gini Pak Kyai ikutan panas?
Jadi, bagi yang ingin mencabut laporannya tidak salah, dan bagi yang ingin terus mengawal kasusnya hingga ke persidangan juga tidak salah, yang salah itu kalau sasaran kecamannya mendadak salah arah. Tiba-tiba mengecam Kyai Maruf Amin. Pak Kyai salah apa? Kan yang salah adalah Sukmawati?
Mengalihkan kecaman dari Sukmawati ke Pak Kyai bukan cuma salah kaprah, kontra produktif pula, dan kena jebakan adu domba. Kalau maunya begitu ya terserah deh.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews