Puisi, Kitab Suci, dan Deklamasi

Kamis, 5 April 2018 | 07:04 WIB
0
772
Puisi, Kitab Suci, dan Deklamasi

Karya terakhir HB Jassin sebelum meninggal adalah tafsir atau terjemahan Kitab Suci Al Qur'an yang dipuisikan. Sebagai Paus Sastra Indonesia, untuk menunjukkan ketekunan, kesabaran, dan kegigihannya mendokumentasikan karya-karya sastra Indonesia sejak masa Balai Pustaka, Pujangga, baru, Angkatan 45 hingga terakhir Angkatan 66.

Mungkin bosen hanya membuat catatan, resensi dan kritik terhadap karya sastra, lalu beliau mengakhiri karier panjangnya itu dengan membuat puisi panjang (mungkin terpanjang, tertebal karena materinya adalah Kitab Suci), dengan materi yang bahkan hingga hari ini kontroversial: Al Qur'an.

Untunglah ia mengakhiri masa tua dalam kurun senja Orde Baru, sehingga karya artistik tersebut bisa selesai. Kalau mengacu hal ini, siapa juga gak boleh bilang "toleransi" pada masa Orde Baru tidak jauh lebih baik. Kontroversi yang terjadi memang luar biasa, tapi berhenti pada diskusi yang hangat.

Yang keras mengkritik pada dasarnya, seyogyanya Al Quran harus tetaplah ditafsirkan oleh para ahlul bait yang mengerti hal ihwal sejarah setiap ayat dan surat, juga konteks sebuah ayat suci itu lahir dan manfaatnya bagi kehidupan. Bukan oleh seniman yang hanya cari titik artistiknya.

Tapi, kontroversi tersebut tidak membuat HB Jassin menjadi Salman Rusdie yang dianggap menghina dan merendahkan Islam, sehingga darahnya jadi halal, nyawanya jadi buruan. HB Jassin hanya ingin meninggalkan jejak karya sastra, yang mungkin dia pikir orang lain pasti gak mau (dan juga tak mampu) melakukannya.

Namun sepanjang saya tahu, Al Quran yang dipuisikan tersebut tidak pernah saya dengar di-deklamasi-kan: dibacakan di depan publik. Yang justru seolah dideklamasikan adalah ketika Al Quran disaritilawahkan oleh sekolompok anak muda di Jogja dengan cengkok tembang Jawa. Keduanya bernilai sama, dihujat tapi kemudian berakhir sama: dilupakan ceritanya.

[irp posts="13661" name="Mempertanyakan Puisi Ibu Indonesia" Sukmawati Soekarnoputri"]

Dari kedua kasus ini, sebenarnya tak salah bila dikatakan masyarakat kita memang gila kasus, suka ribut. Setiap hari cari masalah, membesar-besarkannya, tapi kemudian melupakannya begitu saja. Dengan cara pandang yang sama semestinya kita menanggapi kontroversi karya puisi "Ibu Indonesia" yang dideklamasikan oleh Sukmawati (tentu dengan nama belakang Soekarnoputri).

Apakah bila tanpa nama belakang itu, akan terjadi kehebohan yang sama. Rasanya tidak!

Dan seorang sahabat bahkan mendramatisasikan kehebohan, bahwa Sukmawati telah mencelakai Ane Avanti si pemilik acara yang mengundang dan memberinya panggung. Byuh, byuh, kadohan mbakyu!

Puisi ini sejenis puisi pamflet, yang di Indonesia rajanya adalah WS Rendra. Mungkin karena bosan membuat puisi liris, yang salah-salah cuma dianggap penyair salon. Rendra kemudian ikut dalam dunia pergerakan mahasiswa, jadi kompor dan inspirator dengan puisi-puisinya yang sarat mengkritik apa saja, tidak sekedar pemerintah, tapi juga institusi keluarga, pendidikan, dunia usaha, bahkan agama.

Mungkin kalau kita "picik", di dalam buku kumpulan puisinya "Potret Pembangunan Dalam Puisi", kita akan seolah beranggapan semua sudah rusak dan tak akan bisa diperbaiki lagi. Namun demikianlah kritik yang puitik itu bekerja, dramatik dan membikin merah telinga....

Puisi karya Sukmawati ini, sebenarnya sudah benar dibacakan dalam forum terbuka tapi terbatas. Bahwa ia ingin menunjukkan bahwa pakaian karya Ane Avantie yang khas Indonesia itu punya harga. Apa yang disebutnya bagian dari bumi Indonesia yang juga suci.

Dan bagian terpenting dari karyanya itu: ia jujur mengaku tidak tahu apa itu Syariat Islam. Dan ia gelisah tentu saja!

Kegelisahannya itu yang ia deklamasikan. Semacam declare yang menunjukkan keprihatinannya dan lalu publik heboh. Dua point terpenting yang dianggap keberatan publik adalah perbandingan antara cadar (bukan hijab loh!) dengan konde, dan bagian lainnya antara adzan (yang pakai TOA memekakkan itu) dengan kidung. Teks dan konteks inilah yang publik yang mengecamnya tidak membacanya secara cermat, hati-hati, dan santai (sambil bergolek minum es degan di pantai).

Lalu muncul hujatan dan surat-surat terbuka, yang justru menunjukkan rasa memprihatikan yang lebih pedih: terburu-buru, gampang menghujat lalu menjadi para hakim yang suka menghukum. Apakah hal ini khas publik zaman kiwari? Tidak, bahkan berpuluh tahun yang lalu untuk menjembatani dan mewadahi rasa tidak suka seorang penyair atau kritikus terhadap karya seorang penyair yang lain diadakan event "Pengadilan Puisi".

[irp posts="13702" name="Mengapa Sukmawati Soekarnoputri Mesti Meminta Maaf?"]

Apakah ini sekedar lelucon? Tidak, ini acara serius karena ada terdakwa dengan karyanya tentu saja, jaksa penuntut, dan hakimnya dan tentu saja penonton yang rewo-rewo sebagai penikmat maupun juga ikut menyanggah. Artinya syahwat untuk mengadili puisi itu bukan hal yang baru, walau tentu norak sekali!

Lalu apa sikap kita? Cobahlah tengok tiga orang yang berbeda: Sukmawati konon sudah minta maaf, Guruh adiknya menganggap biasa saja, namun Guntur kakaknya malah menyayangkan. Belum terdengar reaksi dua kakaknya yang abadi berseteru: Megawati dan Rachmawati, tapi keduanya punya ciri sama suka ngamuk.

Perbedaan pendapat itu biasa saja, selera hidup masing-masing yang membedakannya. Apakah kita memilih jadi rumput kering atau rumput segar?

Puisi, ayat suci, deklamasi itu tak pernah salah bila dilihat dari berbagai sudut pandang, tentu dengan nalar dan kebesaran jiwa. Ia suatu wacana yang jujur, simbol interpretasi dari sang pembuatnya.

Yang selalu berlebihan adalah reaksi publiknya, yang gampang naik pitam, tapi juga kemudian mudah lupa. Jangan (juga) lupa ketika kita meributkannya, suka atau tidak, menunjukkan sebagai sebuah karya puisi itu sangat berhasil!

***

Editor: Pepih Nugraha