Jika PSI Terbukti Partai Korupsi, Kita Ramai-ramai Kuliti

Minggu, 1 April 2018 | 06:33 WIB
0
864
Jika PSI Terbukti Partai Korupsi, Kita Ramai-ramai Kuliti

Seperti halnya sebuah produk, sebuah partai pun harus cermat dan kuat dalam hal positioning di antara partai lainnya. Positioning merupakan kegiatan bagaimana persepsi yang diinginkan terbangun dalam benak orang. Hal ini merupakan salah satu komponen dasar dari sebuah strategi pemasaran.

Pada dasarnya, partai-partai yang ada di Indonesia melakukan positioning berdasarkan platform aliran politiknya yang terbagi ke dalam 3 kelompok besar yakni Agama (PKS, PPP, PKB, PAN, dll), Nasionalis (Golkar, Demokrat, PSI, dll) dan Nasionalis Soekarnois (PDIP, Gerindra, dll).

Di antara ketiga positioning di atas, partai yang mengusung platform agama sangat rentan untuk limbung saat salah satu pimpinan atau kadernya terkena kasus korupsi. Ini sangat dipahami karena secara psikologis masyarakat sangat menaruh harapan yang sangat besar dibanding kepada partai di luar parta agama.

Masyarakat menaruh banyak harapan kepada partai yang mempunyai nilai moral sekaligus simbol suci ini supaya partai ini selalu ada di jalan yang baik dan benar, tidak tergoda oleh setan terkutuk, terbebas dari praktik politik yang busuk. Sungguh berat sekali beban moralnya, bukan?

Sehingga ketika terbukti partai yang berbasis agama itu terjerat kasus korupsi, maka kekecewaan masyarakat jauh lebih besar berkali-kali dibanding jika yang terkena kasus korupsinya itu berasal dari partai di luar partai agama. Hal ini bukan berarti sikap kompromis atau standar ganda terhadap partai lain, namun lebih kepada efek psikologis masyarakat.

Untuk lebih menancapkan persepsi produk di benak konsumen, sekedar positioning saja tidaklah cukup. Harus diikuti oleh usaha-usaha pembeda (differensiasi) yang berkaitan dengan konten produknya.

Contoh itu bisa dilihat dengan apa yang dilakukan oleh partai baru, Partai Solidaritas Indonesia atau PSI. Mereka melakukan pembeda dengan menekankan pada perjuangan melawan korupsi (anti korupsi) dan merawat keragaman (anti intoleransi).

Penentuan diferensiasi PSI ini seperti menemukan momentumnya ketika hampir semua partai terlibat korupsi dan di saat yang sama pun banyak sekali kejadian-kejadian intoleransi yang merebak di tanah air. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa nilai diferensiasi ini punya relevansi yang kuat.

Bukan tanpa resiko dengan memproklamirkan diri sebagai partai anti korupsi ini, karena seperti semua orang tahu, hampir tidak ada partai di Indonesia yang bersih dari kasus korupsi ini, baik kader atau pimpinannya. Sekali terkena kasus korupsi, bisa dipastikan kepercayaan masyarakat akan langsung jatuh sejatuh-jatuhnya terhadap partai ini.

Diferensiasi yang mereka lakukan ternyata tidak dalam satu sisi saja, mereka pun kerap membuat hal-hal yang seakan melawan kemapanan. Misalnya, untuk menjadi kader PSI, salah satu syaratnya calon kader tersebut tidak pernah sebelumnya menjadi pengurus di partai lain untuk menghindari beban gerbong politik lama. Penentuan usia kader pun dibatasi tidak lebih dari 45 tahun. Hal-hal seperti ini jelas mempunyai keunikan tersendiri.

Namun di sisi lain, partai baru ini juga sudah dikenal sebagai partai yang mempunyai karakter brand yang kuat sebagai partai anak muda dan kaum perempuan. Dalam politik, sifat eksklusif yang ditampilkan partai terkadang justru akan menjadi penjara kecil untuk membuka dan melebarkan sebaran calon pemilih.

[irp posts="12879" name="Berharap Karakter PSI Mirip Dilan-Milea, Eh... Malah Mirip Galih-Ratna!"]

Bisa jadi, para generasi tua merasa tidak mempunyai relevansi untuk mendukungnya, demikian juga dari kalangan kaum pria. Untuk itu, kegiatan komunikasi di sisi ini perlu dilakukan PSI secara khusus.

Sehingga --terlepas dari keunikan partai itu-- bukan sesuatu yang aneh jika serangan-serangan politik datang tidak saja dari lawan politik yang merasa gerah, tetapi serangan pun bisa datang dari kaum anak muda sendiri.

Sebagai contoh, saat PSI yang terasosiasi sebagai partai anak muda yang kemudian mendukung sang penguasa, maka menurut sebagian anak muda itu adalah sesuatu yang lucu. Karena dalam perspektif mereka, anak muda itu identik dengan perlawanan terhadap penguasa sembari membandingkan perjuangan anak muda angkatan 66 dan angkatan 98.

Atau ketika mereka bermain simulasi tentang calon wakil presiden dan susunan kabinet, maka sebagian dari kita akan melihatnya sebagai sebuah keluguan bahkan mungkin kelucuan.

Ya, persepsi itu akan terbangun secara kolektif karena pikiran kita akan mengaitkan secara subyektif bahwa mereka adalah anak muda yang secara adat ketimuran tidak pantas untuk memberikan ‘nasehat’ mendahului para seniornya. Bisa kita bayangkan, jika yang melakukannya itu adalah partai kawakan sekelas Golkar, maka kita akan melihatnya sebagai sesuatu yang biasa bahkan sangat pantas.

Beberapa tahun yang lalu, lembaga survei Poltracking Indonesia merilis sebuah hasil yang menyatakan bahwa institusi seperti DPR, Parpol dan Polri adalah 3 institusi yang mendapat tingkat kepuasan publik paling rendah. Data empirisnya adalah banyaknya masyarakat yang tidak percaya bahkan muak dengan apa yang dilakukan oleh partai, terjadi generalisasi dalam melihat dan menilai sebuah partai politik.

Keberadaan PSI dengan segala diferensiasi seperti disebutkan di atas tetap akan menghasilkan 2 respon dari publik, menganggap PSI sama saja dengan partai lama lainnya atau justru ada sebuah harapan baru dari partai ini dan publik akan memberikan kesempatan kepadanya.

Terkait dengan tema kampanye anti korupsi di atas, PSI jangan sampai mengulang sejarah dari Partai Demokrat di mana hampir semua “bintang iklan” jargon KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI, malah semua masuk jeruji besi.

Bagi kita yang masih percaya demokrasi, gunakan hak pilih kita, berikan kesempatan kepada mereka untuk berkarya dengan caranya mereka sendiri.

Jika terbukti korupsi, kita kuliti.

***

Editor: Pepih Nugraha