Penipuan Umrah dan Tuduhan “Bangsat” Wakil Rakyat

Jumat, 30 Maret 2018 | 07:14 WIB
0
664
Penipuan Umrah dan Tuduhan “Bangsat” Wakil Rakyat

Kisruh soal travel nakal umrah yang belakangan mencoreng nama baik pemerintah, khususnya Kementrian Agama, membuat salah satu anggota Komisi III Fraksi PDIP, Arteria Dahlan meluapkan emosinya dengan melontarkan kalimat yang sangat tak pantas bagi seorang wakil rakyat.

Dalam sebuah rapat Komisi III DPR dengan Jaksa Agung, M Prasetyo, Arteria sebagaimana dikutip laman Detik.com mengucapkan kata yang tidak pantas sama sekali. "Yang dicari jangan kayak tadi bapak lakukan inventarisasi, pencegahannya, Pak. Ini Kementerian Agama bangsat, Pak, semuanya, Pak!" tuding Arteria.

Saya kira, seburuk apapun sebuah kasus, pihak kementrian terkait atau pemerintah  dan DPR adalah mitra kerja yang sudah seharusnya mencari solusi, bukan malah memaki-maki.

Sejauh ini, saya melihat, soal penipuan umrah tidak sebatas pada perihal perizinan yang keseluruhannya menjadi tanggungjawab kementrian agama, tetapi karena memang banyak travel nakal yang “mengakali” biaya umrah semurah mungkin agar dapat menarik calon jamaah lebih banyak. Semakin banyak jamaah, maka biaya dapat ditekan sedemikian rendah, apalagi melalui penetapan masa tunggu yang seringkali dijadikan akal-akalan para travel umrah bermasalah.

Kasus First Travel, PT SBL dan Abu Tours merupakan contoh nyata dari praktik umrah murah bermasalah dengan model masa tunggu dengan menjaring sekian banyak jamaah. Saya kira, upaya pemerintah dengan mematok biaya umrah Rp 20 juta adalah solusi nyata mengatasi benang kusut kekisruhan travel umrah yang menentukan harga umrah secara bervariasi.

Saya tidak begitu memahami, apa dasar Arteria Dahlan sebegitu emosinya menuding pihak Kementrian Agama dengan kalimat “bangsat”, padahal seorang wakil rakyat tentu saja memahami benar soal etika politik karena mereka tentu saja “pilihan” terbaik diantara jutaan rakyat yang ada. Bukankah belum tentu yang memaki atau merendahkan itu lebih baik dari mereka yang dimaki atau direndahkan?

Entah apakah ini terkait soal DPR yang senantiasa disoroti publik soal banyaknya kasus korupsi, pembangunan gedung baru yang dipersoalkan dan persoalan-persoalan lain yang tak sepi dari kritik publik, sehingga emosi wakil rakyat tampak tak terbendung, menghantam siapa saja karena memang “aji mumpung”?

Saya jadi merenung dan teringat salah satu ayat dari kitab suci Al-Quran, “Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman” (QS Al-hujarat: 11).

Bagi saya, menuding “bangsat” kepada mitra kerja sama saja dengan mencela dirinya sendiri, karena bagaimanapun “wajah” mitra kerja DPR adalah DPR itu sendiri, bukan pihak lain. Sejauh ini, wajah wakil rakyat sudah seringkali tercoreng dan baru-baru ini malah menunjukkan lebih banyak bopeng sehingga sulit sekali menutupinya.

Saya kira publik lebih tahu dan pandai menilai—tanpa ada pretensi politik didalamnya—apa yang dimaksud kata itu yang terlontar dari mulut wakil rakyat yang sedemikian terhormat.

Saya kira, persoalan apapun pasti akan selalu muncul ditengah masyarakat dan perlu dicari solusinya dengan duduk bersama, minum kopi atau teh dengan suasana penuh kehangatan dan kedewasaan berpikir. Emosi bukanlah solusi, tetapi lebih banyak berdampak citra buruk, tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi lembaga dimana dia bernaung dan mitra kerja yang sejauh ini bekerjasama.

Memang, saat ini pihak Kementrian Agama baru merilis ada 4 travel umrah yang izinnya dicabut, yaitu PT Amanah Bersama Ummat (Abu Tours), Solusi Balad Lumampah (SBL), Mustaqbal Prima Wisata, dan Interculture Tourindo. Untuk kasus First Travel saya kira sudah bangkrut, jadi tinggal persoalan penyelesaian secara hukum saja di pengadilan.

[irp posts="13424" name="Yakinilah, Arteria Dahlan Itu Anggota DPR Terhormat, Bukan Bangsat"]

Soal anggota DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan yang memaki-maki Kementrian Agama, tetaplah menjadi contoh yang tidak baik dan sudah semestinya mendapat teguran keras dari partainya. Meskipun dirinya tak terima soal Kemenag yang seolah-olah menyalahkan masyarakat yang tertipu umrah travel bodong. Dengan dalih “sakit hati”, Arteria kemudian mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak patut apalagi disaksikan dan didengar jutaan orang.

Sulit untuk tidak mengatakan dalam kasus ini, bahwa publik juga terlampau naif dengan iming-iming harga murah perjalanan umrah, padahal dengan memahami prosedural travelling, dari mulai harga tiket pesawat, perihal biaya hidup dan penginapan dalam berumrah, tentu akan curiga dengan perbedaan harga yang mencolok.

Asumsi saya, siapapun akan geram dengan kasus penipuan umrah ini dan mungkin lebih geram lagi bagi mereka yang jelas-jelas telah menyetorkan dananya kepada pihak travel, tetapi gagal diberangkatkan dan uang mereka hangus. Namun demikian, tak sedikit pula jamaah yang menganggap ini adalah keteledoran dirinya sendiri dan sadar bahwa itu memang musibah, sehingga enggan melaporkan atau membuka aib travel bodong yang telah menipunya.

Saya tetap memberikan apresiasi kepada pihak pemerintah—dalam hal ini Kemenag—yang terus berupaya memperbaiki sistem haji dan umrah agar berjalan lebih baik, meskipun memang terkesan lamban karena mungkin terbentur prosedural kebijakan hukum yang juga berliku-liku.

Alangkah lebih baiknya, seluruh komponen bangsa ini bersinergi, bukan malah menyalahkan atau mencaci-maki, karena peradaban yang kuat jelas dibangun oleh adat dan prilaku yang bermartabat. Saya jadi teringat goresan bait seorang penyair terkenal Mesir, Ahmad Syauqi yang menuliskan, “Sungguh bangsa ini kuat karena mereka menjunjung tinggi prilakunya yang bermartabat, namun jika itu hilang, maka hancur pula bangsa itu”.

Akhlak dan prilaku yang bermartabat tentu saja membahagiakan sehingga lebih mudah membangun peradaban. Itulah sebabnya, PBB merilis negara paling bahagia dalam World Happiness Report tahun 2017 dan menempatkan Indonesia pada urutan ke 81 dari 155 negara yang masih jauh dari harapan kebahagiaan. Indonesia nampaknya kurang bahagia, karena masih banyak para elit dan masyarakatnya yang melabrak soal etika.

Lagi pula, salah satu indikator yang diterapkan dalam konteks “negara bahagia” salah satunya adalah faktor “good governance” yang tentu saja sangat besar pengaruh dari para elit politik dalam pemerintahan. Elit politik akan melahirkan sebuah sistem pemerintahan yang baik dan bermartabat, jika masing-masing bersinergi dalam suasana membahagiakan, sehingga berimbas pada masyarakat di bawahnya untuk mendorong terciptanya penguatan good governance yang bahagia.

Jika sudah terbangun sinergi, maka “mutual trust” akan terbangun dengan sendirinya, tak perlu lagi masing-masing pihak menyimpan kecurigaan yang mendalam karena masing-masing memahami untuk “saling mempercayai” bahwa negeri ini akan hebat, maju, bukan hancur di tahun 2030 mendatang.

Mau bahagia? Lihatlah Norwegia, Denmark, dan Islandia, sebagai negara paling bahagia di dunia dengan memilili tingkat “mutual trust” paling tinggi diantara elit dan rakyatnya.

***

Editor: Pepih Nugraha