Abaikan Permintaan Wiranto, Giliran Walikota Malang Jadi Tersangka KPK

Minggu, 25 Maret 2018 | 11:41 WIB
0
725
Abaikan Permintaan Wiranto, Giliran Walikota Malang Jadi Tersangka KPK

Akhirnya KPK membuktikan janjinya yang akan mengumumkan calon kepala daerah yang menjadi tersangka.

Di mulai dari Maluku Utara, yaitu calon gubernur Ahmad Hidayat dijadikan tersangka oleh KPK, terkait posisi Ahmad Hidayat sebagai bupati Kepulauan Sula.

Calon gubernur Ahmad Hidayat ini diduga melakukan korupsi kasus pembesasan lahan bandara Bobong, pengadaan bandara ini fiktif dan KPK juga menetapkan Ketua DPRD sebagai tersangka, yaitu Zainul Mus. Keduanya “kongkalikong” dalam pengadaan bandara Bobong tersebut.

Selang satu Minggu KPK mengumumkan dan menetapkan calon kepala daerah kota Malang, yaitu Mochamad Anton, walikota atau petahana dan Ya’qud Ananda sebagai tersangka.

Mochamad Anton adalah seoarang walikota Malang dan mencalonkan lagi sebagai walikota untuk periode kedua.

Sedangkan Ya’qud Ananda adalah anggota DPRD dua periode dari partai Hanura, ia sangat terkenal di kota Malang karena mempunyai wajah yang cantik dengan gelar Doktor dan mudah bergaul atau supel dengan masyarakat sebagai wakil rakyat.

KPK menetapkan 18 anggota DPRD kota Malang terkait dengan korupsi atau menerima suap soal pembahasan APBD-Perubahan.

Jadi, yang jadi penyuap adalah walikota Malang Mochamad Anton dan sebagai penerima suap adalah anggota DPRD yang berjumlah 18 0rang.

Ini namanya korupsi atau menerima suap bersama-sama atau berjamaah. Jooss tenan.

[irp posts="12700" name="Cakada Maluku Utara Ditetapkan Tersangka KPK, Siapa Menyusul?"]

Jumlah anggota DPRD kota Malang adalah 45 anggota, kalau 18 anggota jadi tersangka, hampir 40% anggota DPRD menyandang status tersangka.

Tentu ini sangat mengganggu kinerja pemerintah kota Malang karena setiap pembahasan anggaran harus ada persetujuan anggota DPRD.

Hampir semua kasus korupsi atau suap yang ditangani KPK dilingkungan pemerintah daerah adalah soal pengesahan APBD, baik tingkat kabupaten/kotamadya dan provinsi. Karena APBD harus mendapat persetujuan oleh DPRD,seakan ini menjadi aji mumpung oleh para anggota DPRD untuk memeras pihak eksekutif, dalam hal ini seorang walikota. APBD harus ada persetujuan anggota DPRD,tanpa persetujuaan DPRD anggaran yang telah disusun oleh eksekutif tidak bisa berjalan.

Kasus di provinsi Jambi,yang menetapkan gubernur Zumi Zola menjadi tersangka juga terkait pembahasan APDB.

Sebenarnya hampir setiap pengesahan APBD di kabupaten/kotamadya dan provinsi beraroma suap, hanya ada yang terendus oleh pihak KPK dan tidak terendus oleh KPK. Bayangkan saja kalau ada 340 kabupaten/kota dan 34 provinsi tentu pihak KPK tidak bisa memantau atau menjangkau semua.

Kasus-kasus seperti ini sudah lama terjadi atau jadi modus karena seorang kepala daerah ingin APBD-nya disetujui atau disahkan oleh anggota DPRD dan anggota DPRD secara bersama-sama menjadikan pembahasan atau pengesahan APBD menjadi sumber pendapatan selain gaji bulanan.

Bahkan kadang disertai ancaman kalau tidak diberi uang, maka anggaran tidak akan disahkan atau mengulur-ulur waktu, biasanya dengan cara tidak ikut hadir dalam rapat pembahasan atau pengesahan. Supaya tidak tercapai kuorum.

Terkadang kepala daerah, baik bupati/walikota dan gubernur merasa tersandera oleh DPRD karena terkatung-katungnya pembahasan atau pengesahan APBD, mau tidak mau,akhirnya mengikuti permintaan anggota DPRD dengan menyuap, di satu sisi ini juga tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Apalagi kalau ketangkep sama KPK habis sudah karier politiknya.

Bahkan di Papua ada 44 anggota DPRD menjadi tersangka terkait pembahasan atau pengesahan anggaran.

[irp posts="12626" name="Jangankan Pak Wiranto, Presiden Jokowi Pun Tak Bisa Intervensi KPK"]

Hanya kasus-kasus anggota DPRD yang menjadi tersangka, kalau yang menangani dari Kejaksaan biasanya lolos atau bebas dari hukuman. Tahu sendiri, para anggota DPRD yang tersangkut korupsi biasanya pinter melobi supaya terbebas dari jerat hukuman.

Tetapi kalau kasus korupsi anggota DPRD dan kepala daerah yang menangani adalah KPK,hampir pasti tidak ada lolos atau terbebas dari jerat hukuman.

Belum pernah ada tersangka atau terdakwa yang bebas dari tuntutan jaksa KPK di pengadilan, hampir 100% diputus bersalah dan menjalani hukuman.

Dengan berkaca dari kasus-kasus di atas, harusnya KPK selain sebagai Tim Penindakan, Tim Pencegahan dan ada satu lagi merangkap sebagai ”konsultan”. Kenapa dikatakan sebagai “konsultan”? Karena KPK memberikan masukan kepada presiden untuk menerbitkan Perppu terkait calon kelapa daerah yang menjadi tersangka. Supaya calon kepala daerah yang menjadi tersangka bisa digantikan oleh calon lain.

Kasu-kasus suap terkait pengesahan APBD ini akan terulang terus menerus kalau tidak ada solusi atau trobosan aturan. Memang ada undang-undang atau aturan, kalau suatu pembahasan anggaran atau pengesahan terjadi kebuntuan atau “Deadlock” sampai batas waktu yang sudah ditentukan, maka rancangan anggaran yang dipakai adalah Anggaran tahun sebelumnya. Tentu ini akan mengganggu program-program kepala daerah yang sudah dijanjikan dalam kampanye.

Apakah KPK bisa mengsulkan kepada pemerintah,dalam hal ini Kementerian dalam negeri, apabila ada kebuntuan atau “Deadlock” terkait pengesahan APBD sampai batas waktu yang ditentukan? Misal, yang mengesahkan APBD adalah Kementerian Dalam Negeri,ini misal lho. Tentu harus merubah undang-undang terlebih dahulu, tidak bisa main asal.

Ini dilakukan supaya tidak terjadi “sandera menyandera” terkait pembahasan atau pengesahan APBD. Dan kepala daerah tidak menjadi sapi perah, para pencoleng-pencoleng uang rakyat. Selama tidak ada solusi atau trobosan, maka suap-menyuap soal pengesahan APBD akan terjadi terus-menerus, hanya caranya semakin hati-hati, supaya tidak tercium oleh penegak hukum, KPK.

Dan uang suap yang dipakai oleh kepala daerah,biasanya saweran dari para pengusah yang mendapat proyek dilingkungan pemprov atau pemerintah daerah itu. Ini saling terkait, tidak mungkin suap itu pakai uang pribadi para kepala daerah.

Memang menjadi orang bersih sebagai seorang pejabat itu tidak mudah, banyak godaannya, kalau uang sudah di depan mata, biasanya suka khilaf atau lupa diri.

***

Editor: Pepih Nugraha