Dosa Politik Amien Rais dan Ancaman Demokrasi Luhut Binsar Panjaitan

Kamis, 22 Maret 2018 | 09:46 WIB
0
637
Dosa Politik Amien Rais dan Ancaman Demokrasi Luhut Binsar Panjaitan

Barangkali, istilah “dosa politik” ini belakangan mulai populer setelah ungkapan kritik politisi senior PAN, Amien Rais ditanggapi secara berlebihan oleh pemerintah, melalui pernyataan Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Pernyataan menarik LBP banyak dilansir media, walaupun tanpa menyebutkan nama, namun seolah-olah bernada ancaman akan membongkar dosa-dosa siapa saja yang mengkritik pemerintah.

Jangan asal kritik saja. Saya tahu track recordmu kok. Kalau kau merasa paling bersih kau boleh ngomong. Dosamu banyak juga kok, ya sudah diam saja lah. Tapi jangan main-main, kalau main-main kita bisa cari dosamu kok. Emang kau siapa?" tegasnya, sebagaimana dilansir laman Detik.com.

Dalam sebuah iklim yang demokratis, budaya kritik tentu saja hal yang sangat wajar, apalagi kritik sama halnya dengan proses komunikasi dua arah: rakyat dan pemerintah atau sebaliknya sehingga terwujud nuansa dialogis. Jika tak mau menerima kritik, terlebih yang berhak mengkritik hanyalah penguasa, itu sama saja dengan “monolog” dan itu sama sekali tak dikenal dalam dunia demokrasi.

Proses komunikasi politik dalam kerangka negara demokratis tentu saja harus memenuhi dua unsur: top down dan bottom up. Kedua proses ini harus saling memperkuat dan berkelindan, sehingga tak muncul sikap kesewenang-wenangan atau otoritarianisme salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

Demokrasi memungkinkan banyak hal, termasuk menekan unsur otoritarianisme yang bisa saja muncul dari sekelompok orang yang merasa dirinya berkuasa. Hal ini dikarenakan, dalam sebuah sistem yang demokratis, terdapat pembagian kekuasaan yang diatur sedemikian rupa melalui jalur-jalur kepartaian yang merupakan perpanjangan tangan dari setiap kepentingan yang ada dalam masyarakat.

Kunci dari berjalannya sistem demokratis tentu saja terbiasa dengan budaya kritik yang membangun, tanpa harus mengungkit “dosa-dosa politik” masa lalu antarberbagai pihak, karena pengungkapan dosa politik hanya akan timbul saling “klaim” atas kebenaran dan tak akan pernah muncul “pengakuan” atas kesalahan. Padahal, komitmen agar menjadi negara demokratis, tentu saja sama-sama mampu menutupi kekurangan dan menghapus dosa-dosa politik siapapun, sehingga terbangun iklim komunikasi antarpihak secara dialogis dan konstruktif.

[irp posts="12900" name="Amien Rais, PKI, dan Gubernur Anies Baswedan"]

Dalam sebuah masyarakat politik (policy), negara semestinya memang hadir sebagai “penengah” jika ada pihak-pihak lain yang berkonflik, entah itu terkait masalah sosial maupun politik. Negara—dalam suasana demokrasi—tentu saja harus bersikap “netral”, karena negara dibangun tidak berdasarkan sistem elitis atau kelas, tetapi perwujudan citra demokrasi berdasarkan pilihan rakyat mayoritas.

Jika masih ada yang dalam negara merasa sebagai “elitis” dan pihak diluar negara sebagai “non elitis”, sulit untuk tidak terjadi suasana kesewenang-wenangan. Kelompok-kelompok elitis dalam negara, bisa saja melakukan “kooptasi” terhadap kelompok diluar dirinya.

Ini barangkali yang seringkali timbul masalah, ketika lontaran kritik dari pihak diluar konteks elit negara, kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh negara. Suasana demokrasi yang dibangun dengan budaya kritik, justru bisa tumbang karena ulah segelintir elit yang menunjukkan arogansinya mengatasnamakan negara.

Budaya kritik yang sudah terbangun, pada akhirnya tak boleh terlepas dari kerangka beretika. Etika politik dalam suasana berbangsa dan bernegara patut dikedepankan untuk merajut suasana sosial-politik lebih baik. Saya justru teringat ucapan Nabi Muhammad, “siapapun yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir, berkatalah yang baik atau jika tidak bisa, diamlah”.

Ungkapan Nabi ini serasa menyentak diri saya sendiri, karena berkata baik bukan saja sebatas “kebenaran” yang harus disampaikan, tetapi kebaikan tentu tidak menimbulkan reaksi yang bermacam-macam dari pihak lain. Nabi Muhammad dalam hal hubungan sosial, tidak menyebutkan agar manusia berkata “benar”, tetapi bertutur kata “baik” dalam konteks kemaslahatan masayarakat lebih luas.

Kritik adalah budaya baik, bukan membudayakan saling klaim kebenaran. Kritik lebih bermaksud untuk mengingatkan satu sama lain, bukan mengungkap kesalahan atau keburukan salah satu pihak. Hal itulah kemudian dalam kitab suci Al-Quran disebutkan, “Janganlah merasa diri kalian paling suci, karena Dia-lah Yang Maha Tahu siapa diantara kalian yang paling bertakwa” (QS. An-Najm: 32).

[irp posts="12988" name="Bukan Kancil Pilek, Sepenggal Kisah dari Amien Rais"]

Ketakwaan, bagi saya adalah ciri yang melekat karena kemampuan seseorang berkarya secara lebih baik, bahkan lebih banyak, gampangnya “mereka yang banyak bekerja, bukan yang banyak bicara”, itulah yang disebut dengan takwa. Bukankah BJ Habiebie pernah mempopulerkan istilah “imtak” dan “iptek”? Ya, membangun masyarakat saat ini harus terkait dengan kemampuan “melek” teknologi dan diperkuat oleh fondasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bukan suatu kebetulan, bahwa pasal 29 UUD 1945 juga secara tegas menyebutkan, bahwa “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, artinya pemaknaan keimanan dan ketakwaan juga seharusnya diperluas dan bukan klaim “kebenaran” atas salah satu pihak. Indonesia ini merupakan negara unik, dimana “Ketuhanan” selalu menjadi acuan pokok yang paling fundamental dalam segala urusan-urusan sosial-politik-kenegaraan.

Prinsip Ketuhanan sejauh ini hanya berhasil menjadi fakta simbolik dalam urusan-urusan kenegaraan, tetapi belum meresap dalam pikiran dan pribadi setiap orang untuk mengimplementasikannya dalam konteks bersosial dan berpolitik. Oleh karena itu wajar, jika muncul klaim-klaim sepihak atas “kebenaran” sendiri yang menganggap pihak lain salah.

Dalam level kenegaraan, pengungkapan “dosa politik” yang dilakukan satu pihak ke pihak lainnya, tentu saja ancaman dalam sebuah negeri demokrasi. Terlepas dari adanya upaya “penjegalan” atau pemanfaatan situasi politik yang seringkali menjadi peluang untuk sekadar menjatuhkan pihak lain yang menjadi lawan politik, itu sama saja dengan praktik “claim of truth” yang lebih banyak menimbulkan suasana konflik.

Negara, semestinya dapat menjamin, menjadi satu-satunya pihak yang mampu menetralisir setiap upaya yang mengarah konflik lebih besar, bukan malah ikut terlibat atau bahkan mendukung salah satu pihak. Disisi lain, pihak pengkritik semestinya lebih mengedepankan etika, bukan hanya menyuarakan klaim kebenaran, tetapi sudah semestinya mengkritik dalam suasana kebaikan, tidak menohok salah satu pihak.

Pada akhirnya, rakyat yang terkontaminasi suhu politik, menjadi tidak kondusif, saling klaim kebenaran yang tumpah ruah dalam suasana konflik. Mereka yang merasa dirinya sebagai kelompok “elitis” terus mengumbar nuansa kebencian yang mungkin saja negeri ini bubar sebagaimana ungkapan provokatif yang ramai menuai kritik belakangan ini.

Anehnya, suhu panas tahun politik ini, tidak diredam oleh negara, tetapi tampak cenderung dibiarkan, bahkan lebih aneh lagi, elit-elit negara justru menanggapi beragam kritikan bukan memberikan contoh yang patut diteladani masyarakat.

Jadi, jika memang benar seluruh dosa-dosa politik ini akan diungkap ke publik oleh masing-masing kelompok elit, maka siap-siap saja negeri ini terus menerus berada dalam suasana konflik dan semakin rentan disusupi pihak asing yang telah lama tergiur Nusantara ini.

***

Editor: Pepih Nugraha