Catatan Hukum (1): Siapa Berhak Atas “Waduk Sepat” Kota Surabaya?

Kamis, 22 Maret 2018 | 06:02 WIB
0
1117
Catatan Hukum (1): Siapa Berhak Atas “Waduk Sepat” Kota Surabaya?

Kasus sengketa tanah Waduk Sepat yang terletak di Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, kembali mencuat. Pasalnya, belakangan Polda Jatim mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Tanah Waduk Sepat mulanya merupakan Tanah Kas Desa (TKD) atau bondho deso yang merupakan hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat. Tanah tersebut berupa tanah waduk seluas sekitar 66.750 m2 terletak di wilayah RW 03 dan RW 05 Dukuh Sepat.

Pada 2003 pernah ada perjanjian sewa-menyewa waduk antara pengembang dan warga yang berakhir pada 2008. Waduk Sepat digunakan pengembang sebagai tempat penampungan air dan saluran pembuangan dari perumahan Citraland (PT Ciputra Surya Tbk).

Sampai sekarang ini pembuangan itu masih terus berjalan meskipun pengembang tidak lagi membayar kepada warga. Pada 2011 pihak Ciputra Surya Tbk pernah melakukan pembagian dana CSR (corporate social responsibility) Rp 3 miliar melalui Panitia 16.

Panitia 16 adalah sebagian orang dari warga Dukuh Sepat sendiri yang mengklaim mewakili warga untuk mengambil dana tersebut dan membentuk panitia yang disetujui Lurah Lidah Kulon (Ahmad Supriyadi) dan Camat Lakarsantri (Minun Latif), berjumlah sekitar 16 orang.

Warga Dukuh Sepat RW 03 dan RW 05 tak mengakui panitia, sebab proses pembentukannya dipaksakan, tidak transparan, tidak melalui rapat warga, dan tidak melibatkan perangkat RT dan RW.

“Pembagian ini menuai konflik, sebab warga sudah curiga jika dana CSR itu ada tendensinya dengan pelepasan waduk,” ungkap Subagyo, SH, penasihat hukum warga Dukuh Sepat dari kelompok warga yang tidak menyetujui tukar guling Waduk Sepat.

Panitia 16, Kelurahan, dan pihak Kecamatan menjelaskan kepada warga bahwa pembagian dana itu adalah dana CSR yang tidak ada hubungannya dengan pelepasan Waduk Sepat. Tapi, ini berbeda dengan penjelasan Ciputra Surya.

Dalam pertemuan warga dengan pihak pengembang Ciputra Surya yang difasilitasi DPRD Kota Surabaya menjelaskan bahwa dana itu memang bukan dana CSR, melainkan dana kompensasi pelepasan Waduk Sepat.

Pemkot Surabaya memang telah melepaskan tanah tersebut kepada PT Ciputra Surya, Tbk dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008, atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008.

Tanah waduk warga Dukuh Sepat itu termasuk menjadi objek tukar guling yang dilakukan Pemkot Surabaya (saat itu Walikota Bambang DH) dengan Ciputra Surya ini berdasarkan Perjanjian Bersama antara Pemerintah Kota Surabaya dengan PT Ciputra Surya, Tbk Nomor 593/2423/436.3.2/2009/Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, pada 4 Juni 2009.

“Padahal, warga Dukuh Sepat sejak semula menyatakan menolak peralihan hak atas tanah waduk itu. Mereka tidak pernah dimintai persetujuan,” ujar Subagyo kepada PepNews.com. Keterangan warga ini seperti yang disampaikan pihak Ciputra Surya.

Menurut pihak Ciputra Surya, tanah Waduk Sepat tersebut merupakan bagian dari tanah tukar guling antara Ciputra Surya dengan Pemkot Surabaya, yakni ditukar tanah untuk membangun Surabaya Sport Centre (SSC) di Pakal.

Saat itu, Pemkot Surabaya kekurangan lahan sekitar 20 ha. Sementara, tanah 20 ha di sekitar SSC adalah milik PT Ciputra Surya, Tbk. Setelah tukar guling tersebut pihak Ciputra Surya memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah Waduk Sepat tersebut.

Berdasarkan informasi warga, dalam sertifikat tersebut dijelaskan bahwa tanah Waduk Sepat itu merupakan “tanah pekarangan”. Pada 4 Juli 2011, pihak Ciputra Surya dibantu Kepolisian akan melakukan pemagaran lahan waduk Sepat, namun ditolak oleh warga.

“Pada waktu itu penolakan warga dikriminalisasi Polrestabes Surabaya. Namun, karena protes warga dan mediasi yang dilakukan Komnas HAM, maka kriminalisasi ini dihentikan,” ungkap Subagyo.

Pada 14 April 2015 pihak Ciputra Surya dibantu oleh pasukan Kepolisian melakukan eksekusi atau pengosongan paksa lahan Waduk Sepat tersebut, sehingga beberapa warga mengalami luka-luka dan terdapat barang-barang milik warga di lokasi yang dirusak.

Selanjutnya lahan waduk Sepat tersebut dipagar. Padahal, “Di dalamnya masih ada bangunan mushola atau masjid kecil milik warga Dukuh Sepat,” lanjut Subabyo. Sebenarnya ada solusi-solusi yang pernah ditawarkan warga, yaitu:

Pemkot Surabaya mewacanakan menawarkan membeli kembali lahan Waduk Sepat tersebut dari Ciputra Surya, namun perusahaan itu menolak.

Komnas HAM melalui komisionernya Imdadun Rahmat pernah menyampaikan ide: tanah Waduk Sepat tetap menjadi hak Ciputra Surya, namun pengelolaannya ada pada warga, tapi warga menolaknya.

Ciputra Surya memberikan opsi: disisakan sekitar 6.000 m2 untuk waduk yang akan dikelola warga, namun warga tetap menolak.

Terhadap dugaan keterangan palsu dalam Sertifikat HGB milik PT Ciputra Surya, Tbk, maka warga Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya sepakat untuk melaporkan pidana masalah itu ke Polda Jatim.

Warga yang ditunjuk untuk melapor adalah seorang pemuda bernama Dian Purnomo. Pada  10 Agustus 2016 sebagai Pelapor, melaporkan adanya dugaan peristiwa pidana pemalsuan surat otentik.

Yakni, memalsukan keterangan data fisik Waduk Sepat dalam Sertifikat No 4057/Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, Surat Ukur pada 21-12-2010 Nomor 641/Lidah Kulon/2010, Luas 59.857 M2 atas nama Ciputra Surya yang tertulis sebagai “tanah pekarangan”.

“Padahal dalam kenyataannya Waduk Sepat sejak dari dulu hingga saat ini masih berupa waduk,” jelas Dian Purnomo dalam laporannya. Terhadap laporan tersebut diterbitkan Tanda Bukti Laporan Polisi Nomor : LPB/911/VIII/2016/UM/JATIM, pada 10 Agustus 2016.

Selanjutnya Polda Jatim melakukan penyelidikan dan pernah diterbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) ke-1 No: B/1057/SP2HP-1/VIII/2016/Ditreskrimum pada 30 Agustus 2016.

Penyelidik Polda Jatim memberitahukan bahwa laporan Dian Purnomo tersebut telah diterima di Unit III Tanah Subdit II Harda Bangtah Ditreskrimum Polda Jatim dan selanjutnya akan dilakukan penyelidikan.

Pada 06 Maret 2017 diadakan gelar perkara awal di Ruang Kasubdit II Harda Bangtah dengan hasil, terhadap perkara sebagaimana Laporan Polisi Nomor:  LPB/911/VIII/2016/UM/JATIM, pada 10 Agustus 2016 tersebut dapat ditingkatkan dari proses penyelidikan menjadi proses penyidikan.

“Selanjutnya, pada 8 Maret 2017 tersebut Polda Jatim menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/520/III/2017.Ditreskrimum, pada 8 Maret 2017,” kata Dian Purnomo yang didampingi Advokat Subagyo.

Selanjutnya Dian Purnomo menerima SP2HP Ke-8 (delapan) Nomor: B/843/SP2HP-8/V/2017/Ditreskrimum, pada 29 Mei 2017, yang pada pokoknya Penyidik memberitahukan kepada Dian Purnomo selaku palapor.

Isi suratnya: “bahwa proses penyidikan tindak pidana pemalsuan surat/memalsukan surat dan menggunakan sebagaimana dimaksud Pasal 263 KUHP yang diduga dilakukan oleh Sdr. Ir. Muh. Adi Dhramawan, M.Eng.Se adalah sebagai berikut:

melengkapi administrasi penyidikan, melaksanakan pemeriksaan saksi sebanyak 8 (delapan) orang saksi, melaksanakan gelar perkara, dari hasil penyidikan diperoleh fakta hukum bahwa perkara yang saudara laporkan bukan merupakan tindak pidana sebagaimana unsur pasal yang disangkakan.

Maka untuk kepastian hukum, proses penyidikannya dihentikan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Nomor: SPPP/520.A/V/2017/Ditreskrimum, tanggal 29 Mei 2017 dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Nomor: S/Tap/71/V/2017/Ditreskrimum, tanggal 29 Mei 2017”.

Terhadap SP3 yang diterbitkan oleh Polda Jatim tersebut, maka Dian Purnomo yang diwakili Tim Hukum dari LBH Surabaya dan WALHI Jatim mengajukan permohonan praperadilan ke PN Surabaya pada 28 Februari 2018 dengan register perkara nomor 14/Pid.Pra/2018/PN.Sby.

***

Editor: Pepih Nugraha