Cak Imin dan Deklarasi Cawapres 2019, Upaya "Fait Accompli"?

Kamis, 15 Maret 2018 | 21:27 WIB
0
764
Cak Imin dan Deklarasi Cawapres 2019, Upaya "Fait Accompli"?

Ada sosok menarik di antara politisi kita saat ini, di saat para pimpinan parpol tampak seperti pungguk merindukan bulan, menunggu kapan dirinya dipinang Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi pendampingnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, malah dengan penuh percaya diri mendeklarasikan dirinya menjadi cawapres yang belum diketahui kepada siapa capres yang dimaksudnya.

Hampir tak pernah ada deklarasi cawapres tetapi belum ada pasangannya, kecuali deklarasi capres yang tinggal menunggu pasangannya. Upaya Cak Imin ini sebenarnya unik, karena mungkin baru pertama kali dalam sejarah kepolitikan Indonesia, ada salah satu pimpinan parpol yang mendeklarasikan dirinya sebagai cawapres, bukan capres.

Jika yang diharapkan Cak Imin agar Jokowi kelak memilih dirinya sebagai cawapres, sepertinya PKB mem-fait accompli parpol pendukung Jokowi agar mereka juga mempertimbangkan Cak Imin untuk menjadi pendamping Jokowi di pilpres 2019.

Menarik memang, karena Cak Imin sepertinya merasa kedekatan Jokowi dengan ormas NU, akan lebih mempertimbangkan calon pendampingnya juga dari kalangan NU, dan PKB adalah satu-satunya parpol yang representatif bagi warga nahdliyyin. Tidak hanya itu, Cak Imin juga mengingatkan Jokowi agar tak salah memilih cawapres, karena jika salah,  dirinya bisa kalah, sebagaimana pernyataannya di acara Mata Najwa, 14 Maret 2018.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan ekspektasi Cak Imin bisa menjadi pendamping Jokowi nanti, hanya saja kesan terburu-buru dan prinsip jangan sampai kesalip orang lain, tentunya menjadi dasar pertimbangan dirinya.

Bukan tidak mungkin, perjalanan Jokowi ke Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat beberapa waktu yang lalu, dan tampak akrab dengan Ketua Umum PPP M Romahurmuziy, juga memiliki kesan politis sendiri bagi Cak Imin. Romi—panggilan akrab Romahurmuziy—juga adalah kader NU dan sepertinya terus melakukan pendekatan kepada Jokowi agar dirinya juga berkesempatan dilirik Jokowi mendampinginya di Pilpres 2019 mendatang.

Saya kira, kedekatan Jokowi dengan kalangan NU melalui kunjungannya yang begitu intensif ke pesantren-pesantren, tampak menjadi ajang “rebutan” para kader NU untuk menyodorkan diri mereka sebagai sosok yang paling pantas menjadi pendamping Jokowi. NU tampaknya memang sedang diatas angin di era pemerintahan Jokowi saat ini, bahkan tampak mencolok dibandingkan cara perlakuan pemerintahan Jokowi dibanding kepada ormas Islam lainnya.

[irp posts="12631" name="Cak Imin Jauh Lebih Berani Dibanding Romy, Zulkifli atau Sohibul"]

Para santri yang berasal dari pesantren, seperti terus diistimewakan, bahkan diberi kesempatan khusus dalam banyak hal di luar identitas kesantriannya yang mempelajari keagamaan Islam. Baru-baru ini, Kementrian Perhubungan membuka beasiswa bagi para santri untuk menjadi calon penerbang (pilot) sebagai apresiasi pemerintahan Jokowi terhadap dunia pesantren.

Saya menilai, NU dan pesantren tampaknya semakin lekat dengan dunia politik, bahkan politik dalam tataran praksis, di mana para santri semakin digiring untuk menduduki atau mempromosikan dirinya dalam jabatan-jabatan struktural yang bersifat politis. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa kunjungan-kunjungan resmi kenegaraan yang dilakukan Jokowi ke daerah-daerah di seluruh pelosok negeri, tak luput dari persinggahannya dengan mengunjungi berbagai pesantren.

Setiap ke daerah, saya selalu berkunjung ke pesantren, entah satu, dua, atau tiga, untuk melihat langsung problem-problem yang sering disampaikan para pemimpin pondok pesantren, para kiai,” demikian kutipan pernyataan Jokowi yang ditulis dalam laman Koran Tempo, 12 Maret 2018.

Keinginan Cak Imin agar menjadi calon pendamping Jokowi, saya kira, juga terkait dengan kenyataan bahwa Jokowi sedang melakukan penjaringan kandidat cawapres yang berasal dari luar kader parpol. Banyak kader non parpol yang berasal dari dunia pesantren—dan tentu saja warga NU—yang kemungkinan besar akan dilirik Jokowi untuk menjadi pendampingnya di Pilpres mendatang.

Lagi-lagi, Jokowi pasti akan mempertimbangkan banyak hal, terutama dipastikan akan menggandeng kalangan Islam moderat untuk menjadi cawapresnya, meskipun kandidat yang dipilihnya adalah berasal dari luar parpol pengusung. Tidak menutup kemungkinan, kunjungan Jokowi ke pesantren-pesantren NU, bertemu para kiai dan berdialog soal masalah-masalah kebangsaan, merupakan salah satu penjajakan dirinya mengetahui sejauh mana dukungan dunia pesantren terhadap pencalonannya kelak.

Sudah menjadi suatu tradisi di NU, dimana setiap kadernya yang akan maju menjadi kandidat dalam suatu kontestasi politik, akan terlebih dahulu meminta pertimbangan para kiai. Namun, dalam deklarasinya sebagai cawapres, Cak Imin nampaknya tak perlu berlama-lama menunggu restu para kiai NU, karena pada akhirnya Jokowi-lah yang nanti akan meminta restu para kiai NU dan Cak Imin sudah secara otomatis akan “direstui”.

Cak Imin seakan sedang menganut filosofi Dilan yang diubah maknanya, “jangan jadi presiden, presiden itu berat, kamu gak akan kuat”, tentu saja sulit bagi Cak Imin untuk langsung mendeklarasikan dirinya sebagai capres dengan tentu saja banyak pertimbangan politik—termasuk persentase presidential treshold yang tidak memenuhi syarat—sehingga cawapres tampaknya secara kalkulasi politik, tampak lebih masuk akal.

Sebagai warga NU, Cak Imin juga tampaknya percaya dengan kaidah ushul fiqh yang sedemikian terkenal dalam budaya politik NU, “ma laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu” (jika tidak bisa meraih semuanya, jangan tinggalkan semuanya). Dengan konsep ini, Cak Imin tak ingin melepaskan begitu saja kesempatan untuk meraih kekuasaan politik lebih besar, apalagi Jokowi dipandang sebagai sosok yang memiliki kedekatan dengan kalangan NU dan juga pesantren.

[irp posts="12611" name="Menyaksikan Kontes Nasionalis Religius dari Sekarang"]

Tentu saja, NU tak mungkin meraih semuanya—untuk bisa menjadi presiden—tetapi minimal dapat memperoleh sebagiannya—menjadi cawapres—mengingat elektabilitas Jokowi di antara kandidat capres lainnya tampak lebih moncer. Melakukan pendeklarasian lebih dulu adalah langkah taktis Cak Imin untuk meyakinkan pihak lain, bahwa yang paling siap menjadi cawapres adalah dirinya.

Jokowi memang sudah seharusnya tidak salah dalam memilih siapa kandidat cawapresnya nanti, karena salah memilih bisa dipastikan kekalahan telak bagi Jokowi. Dalam hal ini, saya percaya dengan pernyataan Cak Imin yang juga seakan mem-fait accompli Jokowi dalam soal penentuan siapa yang bakal menjadi pendamping dirinya kelak agar jangan salah pilih, karena kesalahan bisa jadi kekalahan.

Saya kira, setelah pendeklarasian Cak Imin sebagai cawapres, bisa saja kemungkinan akan ada kandidat lain yang segera menyusul, entah mendeklarasikan sebagai cawapres atau bahkan juga capres. Pilpres 2019 memang semakin menarik, terutama banyak kandidat alternatif yang mencoba menawarkan dirinya sebagai calon pemimpin masa depan diluar dua kandidat yang telah lebih dahulu populer: Jokowi dan Prabowo.

Bangsa ini tentu saja merindukan pemimpin yang dapat mengambil simpati rakyat, berjuang bersama rakyat dan mengangkat kesejahteraan mereka. Bukan sekadar tokoh politik yang mementingkan kelompok dan golongannya apalagi hanya melampiaskan ambisi kekuasaannya di tengah maraknya kecenderungan ke arah pragmatisme.

***

Editor: Pepih Nugraha