Mengapa Kita Harus Mengingat Lagi Supersemar?

Senin, 12 Maret 2018 | 18:47 WIB
0
646
Mengapa Kita Harus Mengingat Lagi Supersemar?

Pada hari Minggu, 11 Maret 2018, seluruh bangsa Indonesia mengingat kembali sejarahnya tentang peristiwa yang tidak dapat dilupakan, tentang dikeluarkannya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) pada tahun 1966.

Memang pada tahun 1998, saya menulis buku berjudul: "Jenderal TNI Anumerta (ANM) Basoeki Rachmat dan Supersemar," yang diterbitkan PT. Gramediawidiasarana Indonesia, Jakarta, salah satu penerbitan yang dikelola wartawan senior Harian "Kompas," Jacob Oetama. Pada waktu itu, kita mengenal pula beberapa wartawan senior, seperti B.M Diah, Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis.

Buku "Jenderal TNI (ANM) Basoeki Rachmat dan Supersemar," ini diterbitkan dua kali. Pertama, tahun 1998 dan kedua, tahun 2008. Buku setebal hampir 150 halaman ini dimulai ketika Jenderal Saksi Penandatanganan Supersemar itu meninggal dunia pada hari Jumat, 10 Januari 1969. Saya menggambarkan suasana pemakaman di Jalan Besuki 11, Jakarta. Menurut data yang saya peroleh, ada sekitar 300 kendaraan dan ratusan pengunjung datang silih berganti.

"Basoeki Rachmat, yang lebih akrab dengan panggilan 'Pak Bas' itu telah tiada.Beliau meninggal pada hari Kamis, 9 Januari 1969 dalam usia 47 tahun. Beliau meninggal saat melantik Badan Pusat Penggunaan Dana PBB untuk Pembangunan Irian Barat di kantornya, Departemen Dalam Negeri, Jalan Veteran, Jakarta"  (halaman xiv).

[irp posts="11003" name="Awas Bahaya Laten Soehartoisme!"]

Pada halaman xxii dan xxiii, saya mengutip pidato Presiden RI Soeharto dan komentar media massa. Juga di halaman terakhir terangkum beberapa komentar, di antaranya dari Yoga Soegomo (Kepala Badan Intelijen RI 1968-1969), Soegih Arto (Mantan Jaksa Agung RI), Soemitro Djojohadikusumo (Menteri Perdagangan RI 1968-1973) dan Harun Zain (Gubernur Sumatera Barat 1967-1977).

Khusus tentang Supersemar dijelaskan di Bab VIII halaman 80-97 dengan judul: "Bung Karno, Pak Bas dan Supersemar." Di halaman berikutnya dijelaskan di antara tiga jenderal yang diutus Pak Harto menghadap Bung Karno di Istana Bogor, Pak Bas yang memimpin, karena ia lebih senior dari M.Jusuf dan Amirmachmud.

Ketika kita berbicara tentang Supersemar, saya sepakat bahwa tidak perlu lagi kita masalahkan di mana Supersemar Asli berada. Tetapi jika mengingat penerus bangsa yang akan mengganti kepemimpinan bangsa di masa depan, maka perlu juga dipertegas, misalnya Supersemar Asli itu hilang dan sebagainya.

Untuk apa?

Surat asli itu akan menjadi bahan penelitian generasi selanjutnya. Ketika saya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ada satu mata kuliah, yaitu Ilmu Perundang-undangan. Di disiplin ilmu itulah generasi selanjutnya meneliti. Sekarang bagaimana kita akan meneliti, karena Supersemar yang ada sekarang, terutama yang ada di Arsip Nasional, tidak asli?

Sebelumnya ketika Megawati menjadi Presiden RI pernah terkatakan akan mencari Supersemar Asli. Pun mantan Kepala Arsip Nasional Dr Mukhlis Paeni mengucapkan hal senada. Akan mencari. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah juga menyinggung hal ini.

Salah seorang Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Warnan Adam pernah menulis bahwa dalam kasus Supersemar 1966, Soeharto telah memakai tangan orang lain untuk keluar dari kesulitan.

"Ia telah menerapkan strategi 'ngluruk tanpa bala' yang kemudian secara konsisten dipergunakan," ujarnya.

Terakhir ia menyarankan agar Supersemar Asli dicari di Jalan Cendana.

Tulisan pernah dimuat di wartamerdeka.net